Analisa

Lalai Menjalankan Tugas, Pengawas Ketenagakerjaan Bisa Dipidana?

Situasi perburuhan Indonesia belum  menunjukkan tanda-tanda membaik. Sudah lebih satu dekade sejak UU No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan lahir, masih saja nasib buruh banyak diabaikan. Semisal beberapa waktu lalu, di Binjai terjadi peristiwa memilukan, sekitar 30 pekerja korek api mati terpanggang. Peristiwa ini seolah menggenapi cerita buruk, sepanjang tahun 2018 menurut BPJS ada sekitar 157.93 kasus kecelakaan kerja.

Peran Dinas Ketenagakerjaan dan Kementrian Tenaga Kerja patut dipertanyakan dalam hal ini. Tugas dan kewenangan sebagai intitusi yang ditunjuk oleh UU No. 13 tahu 2003 dan perangkat peraturan lain harusnya dijalankan dengan baik. Kenyataannya, baru setelah ada kasus yang viral institusi tersebut bertindak.

Ketidaksigapan dinas maupun kementerian dalam meminimalisir masalah perburuhan yang mengakibatkan kematian merupakan persoalan serius. Sangat jarang dinas dan kementerian dipersoalkan atau setidaknya mendapat sanksi indisipliner dalam hal ini. Dalam kajian tata negara, ada cabang ilmu yang mengatur persoalan penyelenggaraan yaitu hukum administrasi negara. Hal tersebut terkadung dalam asas-asas umum pemerintahan yang baik. Asas-asas tersebut juga dijadikan sebuah produk UU No. 30 tahun 2014 tentag Administrasi Negara.

Kita  ambil contoh asas untuk kepentingan umum dan asas profesionalitas, disana termaktub penjelasan:

“Asas kepentingan umum menurut UU AP 2014 adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan dan kemanfaatan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, selektif, dan tidak diskriminatif”.

dan,

“Asas profesionalitas menurut UU ASN 2014 adalah mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan.”

Saat melihat asas-asas tersebut, dinas dan kementerian ketenagakerjaan sebagai institusi yang ditunjuk oleh peraturan perundang-undangan mempunyai kewajiban dan tanggung jawab. Maka bagaimana bila pegawai dinas dan kementerian ketenagakerjaan tidak melakukan tugas dan kewenangannya?

Dari diskusi dengan beberapa praktisi dan merujuk ke ragam referensi, muncul pendapat bahwa apabila pegawai pengawas ketenagakerjaan tidak menjalankan/melalaikan tugas, kewajiban dan kewenangannya yang termuat dalam Peraturan Pemerintah No. 53 Tahun 2010 tentang disiplin pegawai negeri sipil paling berat pada pasal 7 ayat (4), maka selain sanksi administratif, mereka dapat dikenakan pemberhentian tidak hormat. Selain itu, pegawai pengawas ketenagakerjaan bisa dilaporkan dengan pasal kelalaian sebagaimana merujuk pasal 359 KUHP yang berbunyi;

“Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.”

Bila pegawai pengawas ketenagakerjaan yang sudah diberi wewenang secara hukum tidak menjalankan wewenang tersebut dengan baik, maka pegawai tersebut lalai, melakukan kesalahan secara umum dan bertindak tidak sesuai arah. Penjelasan tersebut seperti tafsir Jan Remmelink dalam bukunya yang berjudul Hukum Pidana (hal. 177) mengatakan bahwa pada intinya, “culpa” mencakup kurang (cermat) berpikir, kurang pengetahuan, atau bertindak kurang terarah. Menurut Jan Remmelink, culpa atau kealpaan merujuk pada kemampuan psikis seseorang dan karena itu dapat dikatakan bahwa culpa berarti tidak atau kurang menduga secara nyata akibat fatal dari tindakan orang tersebut, padahal itu mudah dilakukan dan karena itu seharusnya dilakukan.

Kewajiban pengawas ketenagakerjaan sudah dicantumkan pada Pasal 8 Permenaker No. 33 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Pengawasan Ketenagakerjaan menyatakan,

“Pengawas Ketenagakerjaan wajib menyusun dan melaksanakan rencana kerja pemeriksaan paling sedikit 5 (lima) perusahaan setiap bulan”.

Apabila Pengawas Ketenagakerjaan tidak melaksanakan kewajiban diatas dan karena itu mengakibatkan terjadinya kecelakaan kerja yang mengakibatkan kematian orang lain, maka terhadapnya dapat diminta pertanggung jawaban pidana sesuai Ps. 359 KUHP.

Selain itu unsur pasal 55 KUHP juga bisa dijadikan sebagai dasar untuk menindak pegawai pengawas ketenagakerjaan yang berbunyi;

“(1) Dihukum sebagai orang yang melakukan peristiwa pidana:

1e. Orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan, atau turut melakukan perbuatan itu;

2e. Orang yang dengan pemberian, perjanjian, salah memakai kekuasaan atau pengaruh, kekerasan, ancaman atau tipu daya atau dengan memberi kesempatan, daya upaya atau keterangan, sengaja membujuk untuk melakukan sesuatu perbuatan.

(2) Tentang orang-orang yang tersebut dalam sub 2e itu yang boleh dipertanggungjawabkan kepadanya hanyalah perbuatan yang dengan sengaja dibujuk oleh mereka itu, serta dengan akibatnya.”

Apabila pengawas ketenagakerjaan sudah melakukan pengecekan dan pengawasan di pabrik dengan bukti dokumen laporan, namun tidak dengan tegas menyuruh menjalankan bahkan “bermain mata” dengan perusahaan, pengawas ketenagakerjaan bisa saja masuk dalam unsur pasal 55 KUHP.

R. Soesilo dalam bukunya yang berjudul “Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal”, menjelaskan mengenai apa yang dimaksud dengan “orang yang turut melakukan” (medepleger) dalam Pasal 55 KUHP. Menurut R. Soesilo, “turut melakukan” bermakna “bersama-sama melakukan”. Sedikit-dikitnya harus ada dua orang, ialah orang yang melakukan (pleger) dan orang yang turut melakukan (medepleger) peristiwa pidana.

Tafsir tersebut memperkuat apabila bila kejadian tindak pidana itu dilakukan oleh dua orang atau lebih, apalagi ada orang yang sudah diberi kewenangan perundang-undangan terlibat dalam memberi kesempatan.

Dari rangkaian penjelasan pasal-pasal tentang unsur yang bisa dikenakan untuk memproses pihak pengawas ketenagakerjaan, merupakan delik biasa. Sehingga pihak kepolisian tidak lagi perlu menunggu laporan atau aduan untuk memprosesnya. Pihak kepolisian bisa langsung memperoses pengawas ketenagakerjaan tersebut agar setiap peristiwa ketenagakerjaan yang mengakibatkan kematian atau cacat permanen tidak terus disepelekan dengan alasan kurangnya pegawai.

Pihak kepolisian harus memegang teguh prinsip perlakuan sama didepan hukum (equality before the law). Sehingga tidak memandang siapa yang telah melakukan tindak pidana tersebut. Meskipun kenyataannya, yang sering terjadi bila buruh melakukan kesalahan penegak hukum dengan sigap memprosesnya, lain bila aparatur dan pengusaha yang melakukan tindak pidana maupun pelanggaran norma ketenagakerjaan.

****

 

Penulis: Muhammad Imam Muzaqqi (FBTPI)

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Back to top button