Pekerja Lepas: Yang Muda Yang Rawan

Ilustrasi “Freelancer Lyfe” oleh Tim Media KPBI

‘Mending nganggur daripada tak bahagia’. Ungkapan ini mungkin terdengar ganjil di telinga kebanyakan orang tua, tapi tidak untuk sebagian Gen Z dan Milenial. Bagi mereka kebahagiaan di tempat kerja merupakan isu krusial. Fakta ini ditunjukkan dalam survei Randstad Workmonitor 2022. Survei dilakukan terhadap 35.000 pekerja berusia 18-67 tahun di Eropa, Asia Pasifik dan kawasan Amerika. 

Kira-kira ada 41% Gen Z bersetuju dengan pendapat ‘lebih baik nganggur daripada tidak bahagia di tempat kerja’ dan sebanyak 38% Milenial mengiyakannya. Tiap generasi memiliki sudut pandangnya terkait pekerjaan. Tiap zaman melahirkan tabiat angkatan kerja. Seorang HRD lanjut usia di sebuah pabrik tekstil mungkin akan terlihat bak ‘om-om’ kuno yang sukar dimengerti generasi ini.

Sudut pandang yang berbeda juga mengantarkan generasi ini pada pengertian unik tentang kebebasan. Mereka menyukai ikatan yang lebih longgar, alih-alih dikte ritme kerja ‘nine to five’ yang lazim diamini angkatan pendahulunya. The Deloitte Global Millennial Survey 2019, menyebut, sejumlah 84 persen Milenial dan 81 persen Gen Z mempertimbangkan menjadi pekerja lepas (freelancer). 

Kerja freelance lalu menjamur. Jenis pekerjaan dimana mereka bisa mengatur waktunya sendiri. Kapan serius bekerja, kapan nongkrong di cafe, atau menghabiskan serial Netflix, mereka ingin atur sendiri. Sebagian freelancer bekerja di bawah konsep ‘work from anywhere’, kerja dimanapun. Kerja dari rumah bukan saja terdengar mengasyikkan, bahkan dirayakan.

Tetapi freelancer adalah profesi yang genting. Model kerja di ruang domestik membuatnya tidak terlihat oleh publik dan lebih sulit dimonitor, sehingga memiliki kerentanan tersendiri. Tidak ada banyak aturan, kecuali kesepakatan cair dua belah pihak. Mereka ini disebut dengan beragam nama selain freelancer seperti: gig workers atau independent contractor.

Freelancer bekerja menyelesaikan proyek yang diberikan klien. Kadang-kadang hubungannya dibungkus dengan istilah ‘kemitraan’, sebuah istilah yang sesungguhnya lebih mewakili pengertian relasi bisnis dibandingkan hubungan ketenagakerjaan. Kata ‘kemitraan’ dalam praktiknya adalah jebakan, untuk mengapungkan kesan setara, walau faktanya kerap berbeda.

Pekerjaan freelancer umumnya berjangka pendek dan tanpa jaminan. Otoritas utama berada di tangan pemberi kerja, yang bisa mengubah apapun, termaksud aturan, secara unilateral. Bila dalam hubungan industrial konvensional dikenal outsourcing, industri freelancer dekat dengan term ‘crowdsourcing’.

Dalam outsourcing kontrak terjadi dengan vendor khusus yang mengerjakan pesanan dari perusahaan. Pada crowdsourcing pesanan kerja dari perusahaan ini dialihkan kepada kerumunan (crowd), yaitu para pekerja bebas. Pembentukan kerumunan ini terfasilitasi oleh internet, termaksud media sosial dan aplikasi pencari kerja. Sederet pemikir kemudian menyebut crowdsourcing sebagai gelombang kedua dari alih daya. Sebuah gelombang yang akan menyapu kelas pekerja muda untuk terjerembab ke jurang ketidakpastian nasib.

Lebih dari satu dekade silam, Guy Standing, memunculkan istilah ‘Precariat’. Guy Standing merupakan ekonom perburuhan (labour economist) yang bergelar profesor dan mengajar di Universitas London. Precariat ialah akronim dari ‘precarious’ dan ‘proletariat’. Mudahnya, ia berarti buruh yang rawan. Freelancer, gig workers atau independent contractor masuk dalam definisi ini.

Precariat hidup dalam pasar tenaga kerja fleksibel, dan sebagian mereka mempercayai model tersebut. Di waktu yang sama mereka juga terganggu dengan jam kerja tanpa batas, ketidakpastian pendapatan dan lenyapnya jaminan sosial. Mereka tidak memiliki ikatan sosial selayaknya buruh-buruh di pabrik. Tidak hidup dalam pertalian identitas kelas pekerja, oleh karenanya jauh dari definisi dan praktik solidaritas.

Saat ini diperkirakan terdapat 1,2 milliar freelancer di dunia. Diantara mereka, 50%-nya merupakan Gen-Z, sisanya Milenial. Sementara cuma 26% Baby Boomers (kelompok demografi yang lahir diantara 1946-1964) yang melakukannya. Menurut BPS, sampai Agustus 2020 saja, terdapat 33,34 juta orang bekerja sebagai freelancer dan pengelola bisnis kecil di Indonesia. Ada lima kota utama pemasok freelancer di Indonesia: Bandung, Jakarta, Surabaya, Bekasi dan Bali.

Serikat Buruh berkepentingan menemukan cara untuk berbicara dengan kaum global baru ini. Gen Z dan Milenial. Menawarkan dialog, menemukan jawaban dan menarik mereka ke dalam barisan merupakan tantangan serius di tengah laju informalisasi hubungan kerja. Sejarah mencatat, mereka yang gagal berbicara dengan kaum muda, biasanya akan gagal menulis hari depan.


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.