Media sosial sudah semakin mengemuka sebagai sebuah ranah penting untuk memengaruhi opini massa mengambang. CambridgeAnalytica, sebagaimana diceritakan documenter The Great Hack, menceritakan bagaimana data-data pribadi diambil untuk menggiring opini massa dalam banyak pemilu, termasuk Brexit dan Pemilu AS 2016. Melalui pemilu AS, kita juga belajar bagaimana sekelompok akun Reddit (semacam Kaskus) yang membahas isu-isu aktual di negeri paman Sam itu ternyata dijalankan dari Rusia dan ada lebih 100 website berita palsu soal Amerika Serikat diproduksi dari Makedonia. Indonesia juga tidak imun dari tren global tersebut. Lantas, bagaimana buruh mesti bertindak agar kampanye gerakannya dapat meyakinkan rakyat di tengah caru-marut isu di media sosial?
Di Indonesia, persoalan pasukan siber ini sempat mencuat di jagad maya pada pemilu elakangan. Kedua kubu seperti menjalankan perang proxy kotor di media sosial. Nama-nama seperti JASMEV dan Muslim Cyber Army dikenal bergerak memengaruhi opini. Namun, patut diduga kelompok-kelompok terorganisir masih tetap bergerak di jagad media sosial untuk mendukung narasi-narasi kelompok politik tertentu.
Dalam isu omnibus law, berbagai gerak muncul mendukung upaya pengesahan, mulai dari Lembaga survey LSI yang mengarahkan opini dengan survey yang bias hingga bot dan polybot di berbagai akun media sosial. Akun-akun itu gencar menyebarkan propaganda abu-abu (mencampur fakta dengan kesimpulan sendiri) untuk mengajak mendukung omnibus law. Contohnya, banyak postingan itu menyebutkan buruh akan diuntungkan dengan omnibus law karena mendapatkan bonus, tanpa menyebutkan syarat sulit dari bonus itu dan besaran bonus. Omnibus law juga disebut menciptakan lapangan kerja dengan menarik investasi tanpa disebutkan bahwa pasal-pasalnya berisikan kemudahan-kemudahan melakukan PHK.
Lantas bagaimana gerakan buruh menyikapi? Gerakan buruh merupakan satu dari sedikit gerakan sosial yang memiliki peluang untuk menapis dan membeberkan fakta-fakta serta opini alternatif di media sosial. Pertama, gerakan buruh memiliki jumlah yang cukup banyak. Satu pabrik bisa memiliki ribuan hingga belasan ribu buruh. Kedua, gerakan buruh termasuk kelompok yang sedikit beruntung ketimbang mayoritas rakyat yang masih berjibaku di dunia-dunia informal. Dengan kata lain, buruh memiliki penghasilan tetap dan, maka dari itu, sumber daya berupa telepon pintar dan kuota Internet. Ketiga, meskipun baru belakangan muncul, organisasi serikat buruh mulai melengkapi dengan departemen-departemen kampanye dan mengajak bergerak di media sosial.
Namun, tantangan yang muncul agar buruh terkordinir dalam pusara konflik opini di jagad maya ini tidaklah mudah. Secara gender, mayoritas buruh yang aktif dalam isu-isu gerakan masih sangat didominasi laki-laki (sekitar 80 persen). Selain itu, banyak buruh yang dalam posisi rentan (kontrak atau buruh harian) takut tercium postingan-postingan terkait dengan serikat. Pasalnya, mereka terus diteror oleh PHK akibat status kerja yang lemah itu.
Lebih lanjut lagi, buruh-buruh yang terorganisir meski mulai aktif, masih kesulitan terkordinir untuk menembus ruang-ruang gema algoritma media sosial. Ketika muncul ajakan untuk membuat tagar tertentu, sangat sulit untuk mengkompakan langgam posting dari akun-akun anggota serikat. Sebaliknya, organisasi tampak sering gagap menyerap dan menjadi katalisator dalam aspirasi-aspirasi atau gagasan-gagasan akar rumput yang acapkali brilian membahasakan kegelisahan.
Di tengah kendala-kendala itu, gerakan buruh perlu untuk terus bergerak, melakukan belajar sambil jalan untuk terus dan menerus mengkordinasikan akar rumput dalam langgam perjuangan bersama di media sosial.