Jakarta – Sidang perdana gugatan dengan nomor perkara 116/Pdt.G/2022/PN JKT.SEL, yang dilayangkan oleh Serikat Pekerja PLN Indonesia (SP-PLNI), terhadap PT. PLN Persero, Serikat Pekerja PLN, Kementerian Badan Usaha Milik Negara, dan Kementerian Ketenagakerjaan dan Transmigrasi, hari ini (19/12) digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Pihak pengadilan pun akhirnya menunda jalannya persidangan hingga tanggal 9 Januari 2023. Karena dua pihak tergugat, yakni PT PLN Persero dan Serikat Pekerja PLN, serta satu pihak turut tergugat, yaitu Kementerian BUMN tidak menghadiri persidangan tersebut.
“Alhamdulillah hari ini Senin 19 Desember 2022, terlaksana sidang pertama. Namun disayangkan hanya penggugat dan turut tergugat II, Persidangan gugatan kami ditunda hingga tanggal 9 Januari 2023, nanti pihak pengadilan akan mengundang kembali pihak-pihak tergugat untuk mengikuti persidangan bulan depan”, kata Ketua Umum Serikat Pekerja PLN Indonesia, Eko Sumantri.
Eko juga menjelaskan bahwa hari ini ditunda karena yang datang hanya pihak turut tergugat II yakni, Oloan Nadeak perwakilan staf dari Direktorat Jenderal Perselisihan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja, Kementerian Ketenagakerjaan.
“Kawan-kawan dari Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia, Serikat Pegawai PLN dan Laskar PLN juga turut bersolidaritas dalam sidang kami hari ini”, Lanjut Eko. Solidaritas ditunjukan melalui poster-poster tuntutan yang dipegang oleh massa solidaritas depan ruang persidangan.
Eko juga mengenakan masker dengan simbol X berwarna merah, yang menyiratkan tentang tertutupnya ruang demokrasi. Bagi tiga serikat pekerja PLN yang tidak diakui oleh Perusahaan dalam perumusan Perjanjian Kerja Bersama (PKB).
“Padahal serikat kami memiliki legalitas resmi sesuai UU No. 21 Tahun 2000 tentang serikat pekerja/serikat buruh. Namun pihak PT. PLN Persero tidak menganggap serikat kami ada karena kami konsisten dengan tegas menolak pembentukan holding-subholding di PLN”, kata Eko.
Menurut Eko, SP-PLNI menggugat karena terjadi praktik Union Busting atau Pemberangusan Serikat terhadap SPPLNI. Apalagi PKB ini dinilai memberi ruang terjadinya Tugas Karya bagi Pegawai PLN ke Anak Perusahaan Swasta atau Subholding PLN.
“Jadi jelas PKB 2022 ini melanggar ketentuan Konvensi ILO No.111 mengenai Diskriminasi Dalam Pekerjaan dan Jabatan serta melanggar Pasal 28 huruf c UU 21/2000 ttg Serikat Pekerja/Serikat Buruh”, lanjut Eko.
Menurut Eko, pihak-pihak tergugat diduga telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum yang merugikan SPPLNI beserta dua serikat lain dilingkungan PLN. Hal tersebut membuat perlu adanya evaluasi kembali terhadap isi PKB. Dengan melibatkan keempat serikat pekerja dilingkungan PT. PLN Persero dalam perundingan dan penandatanganan PKB baru.