Lula adalah pemimpin tua. Umurnya sudah 76 tahun. Gayanya sangat ‘old school’. Pemimpin ternama gerakan kelas pekerja ini bahkan tak memakai ponsel pintar. Tetapi Oktober depan, pria yang jari tangannya hanya sembilan karena putus akibat kecelakaan kerja, akan menghadapi Pemilu. Dia akan maju sekalilagi sebagai kandidat presiden.
Terakhir kali Lula duduk di tampuk kekuasaan Brazil terjadi di tahun 2010. Tahun penutup yang menandai dua periode kekuasaannya sebagai presiden terpilih dari Partindo dos Trabalhadores alias Partai Buruh (PT). Dalam dua periode kekuasaan itu, Lula meninggalkan ‘legacy’ penting. Tak kurang 30 juta lapisan terbawah negeri samba diangkat dari jurang kemiskinan. Bagi banyak orang, Lula adalah ayah, paman, kakak, saudara lelaki, atau kekasih kaum yang terpinggirkan.
Tapi 2022 tentu berbeda dengan 2006, tahun terakhir Lula menang pemilihan presiden. Saat itu dia memenangkan 58 juta suara pada putaran kedua atau setara 60% lebih total populasi pemilih. Sekarang dia harus menghadapi lanskap anyar politik Brazil, wajah baru pertarungan politik di era mutakhir. Wajah yang sangat dipengaruhi peran Internet dan media sosial.
Dalam konteks ini, sebagian pengamat mengajukan kritik, betapa membosankannya model komunikasi PT. Komunikasi yang ‘ketinggalan jaman’, yang hanya berbicara ke kalangan PT sendiri, alih-alih menembus khalayak luas. Hingga pertengahan tahun, Lula memang masih unggul dalam berbagai jajak pendapat, melampaui petahana Bolsonaro. Tetapi musuhnya ini sangat kuat di jagat internet. Bolsonaro adalah raja kegelapan di media sosial.
Lula lantas meluncurkan Lulaverso pada bulan Maret. Pria tua sadar dia harus sangat hadir di jagat media sosial. Lulaverso merupakan web yang menawarkan materi khusus untuk setiap jaringan: Instagram, TikTok, WhatsApp dan Telegram. Di sana ada gif, stiker, dan meme. PT tampaknya ingin menyapa anak muda. Memperlihatkan wajah politik kelas pekerja secara lebih segar dan kekinian. Kita bisa belajar dari sana juga.
Selain itu, grup WhatsApp dan Telegram di Lulaverso dimaksud membentuk pasukan digital Lula, sesuatu dimana ia masih sangat tertinggal dengan rivalnya. Bolsonaro memiliki 1,3 juta milisi digital di platform Telegram. Pasukan raksasa yang mendorong pengagum kedikatoran militer ini meraup kursi kepresidenan. Mereka dijuluki ‘Tentara Bolsonaris’.
Sementara di awal peluncurannya Lulaverso cuma menampung 1.006 anggota di beberapa grup WhatsApp, itu pun dinilai tidak cukup ekspresif. Di Telegram hanya ada 2.595 pengguna. Lula sedang berada dalam masalah besar. Dia unggul dalam survei, walau angkanya terus terkoreksi, tapi diantara warganet Brazil, pahlawan kelas pekerja ini tak cukup kondang. Namanya jarang meluncur di lini masa. Wajahnya hanya muncul di kalangan terbatas. Diantara akun-akun pendukungnya semata.
Masih sulit memprediksi apa yang akan terjadi di bulan Oktober. Pertarungan Lula versus Bolsanoro disebut-sebut sebagai laga politik terpanas dalam sejarah Pemilu Brazil. Pelajaran yang bisa kita petik kembali adalah, betapa pentingnya pertarungan di jagat media sosial dalam politik dunia dewasa ini. Belakangan, Partai Buruh membentuk Perhimpunan Jurnalis Rakyat. Sebuah detasemen kampanye partai. Detasemen yang juga akan ikut menentukan dimana posisi akhir Partai Buruh dalam gelanggang elektoral 2024.
Jika Lula yang tua, tak memakai ponsel pintar, memaksa diri untuk adaptif dengan media sosial, tak ada alasan untuk kita berlaku sebaliknya. Kita boleh tidak bersetuju dengan teori evolusi Darwinian, tetapi Charles Dawrin benar ketika mengatakan, “bukan yang paling pintar yang akan bertahan; bukan juga yang terkuat yang bertahan; tetapi yang bertahan adalah yang paling mampu beradaptasi dan menyesuaikan diri dengan perubahan.”