Perjalanan Brazil pasca Kediktatoran Militer
Pada tahun 1985 Brazil merebut kembali demokrasinya dari pemerintah kediktatoran militer yang berkuasa selama 20 tahun (1964-1984). Berdasarkan data ekonominya pada tahun 1985, 25,8 persen dari populasi warga Brazil hidup dalam kemiskinan (pendapatan dibawah $ 2 perhari), 57 persen warga tidak memiliki septic tank, 44 persen tidak mendapatkan akses air bersih yang mengalir, dan 33 persen tidak mendapat akses ke listrik. Sepuluh persen populasi Brazil menguasai 51 persen pendapatan nasional, sementara 50 persen kalangan bawah hanya menguasai 12,6 persen pendapatan nasional. Pendapatan perkapita warga Brazil tahun 1985 adalah sebesar $ 1.648.
Tiga tahun kemudian, 1988, ditetapkan konstitusi “Republik Baru” Brazil. Konstitusi 1988 mengatur mulai dari masalah dari hak dan kewajiban individu dan kolektif, hak politik, partai politik, organisasi pemerintahan dan cabangnya, pertahanan dan keamanan, prinsip umum perekonomian, sistem keuangan, perpajakan dan anggaran, pendidikan, Kesehatan, jaminan sosial, kebijakan perkotaan, pertanian, reforma agraria, tentang anak remaja dan orang tua, teknologi, lingkungan hidup, hingga tentang warga Indian.
Yang paling menarik adalah tentang partai politik. Disebutkan setiap aktivitas partai politik dibiayai oleh Pemerintah Brazil melalui “Dana Partai” (Special Fund for Political Assistance for Political Parties/the Partisan Fund) dan “Dana Kampanye” (Special Fund for Campaign Financing). Selain itu setiap partai politik dapat berkampanye melalui radio dan televisi dengan gratis (yang akan diganti Pemerintah dengan pengurangan pajak/tax waiver pada perusahaan radio dan televisi tersebut). Entitas bisnis dilarang menyumbang dana untuk kampanye. Sumbangan dari individu sangat dibatasi maksimal 10 persen dari penghasilan si individu penyumbang.
Pada akhir tahun 1988 dilaksanakan pemilihan kepala daerah (municipal) sebagai pengawal sebelum dilaksanakan pemilihan presiden setahun berikutnya, 1989. Jumlah partai politik yang ikut serta ada sebanyak 22 partai politik. Hasil dari pemilihan di 4.276 daerah, sebanyak 1.593 (37,3 persen) kepala daerah dimenangkan oleh PMDB (Partai Gerakan Demokratik Brazil) yang merupakan partai oposisi pemerintah yang sejak akhir kediktatoran merupakan partai terbesar kedua, sementara partai pro pemerintah PDS (Partai Demokratik Sosial) -yang sejak masa kediktatoran merupakan partai terbesar- hanya berhasil memenangkan 444 kepala daerah ( 10,4 persen). Sementara PT (Partai Buruh) yang dipimpin Lula Da Silva hanya berhasil meraih 38 kepala daerah (0,9 persen).
Tapi hasil pemilihan kepala daerah ternyata tidak mencerminkan hasil dari pemilihan presiden yang digelar secara langsung pada tahun 1989. Dari 22 kandidat calon presiden yang dicalonkan masing-masing partai politik, pada putaran pertama hanya dua kandidat yang meraih suara terbesar yang berhak maju ke putaran kedua, yaitu Fernando Collor dari PRN (Partai Rekonstruksi Nasional) yang mendapatkan 30,5 persen suara dan Lula da Silva dari PT (Partai Buruh) mendapatkan 17,2 persen suara. Sementara kandidat calon presiden dari PMDB, yang menguasai pemilu kepala daerah sebelumnya, hanya mendapatkan 4,7 persen suara. Kandidat capres dari PDS, partai terbesar di era kedikatoran, hanya mendapat 8,8 persen suara. Akhirnya pada putaran kedua, Fernando Collor dari PRN memenangi pilpres
dengan 53 persen suara mengalahkan Lula da Silva dari PT dengan 47 persen suara.
Setahun kemudian, 1990, dilaksanakan pemilu legislatif untuk memilih 503 anggota parlemen (deputi). Hasilnya PMDB (Partai Gerakan Demokratik Brazil) menjadi pemenang dengan 19,2 persen anggota, diikuti oleh PFL (Partai Front Liberal) di tempat kedua dengan meraih 12,4 persen anggota. Sementara PT (Partai Buruh) pimpinan Lula da Silva ada di tempat ketiga dengan 10,2 persen anggota. PRN (Partai Rekonstruksi Nasional) yang berhasil memenangi pilpres setahun sebelumnya, pada pemilu legislatif ini hanya menempati posisi ketujuh dengan 8,3 persen suara. Pada pemilu-pemilu berikutnya hingga saat ini, pemilu legislatif dan pilpres di Brazil diselenggarakan pada tahun yang sama.
Yang terdekat, tahun 1994, Pilpres dimenangkan oleh Fernando Cardoso dari PSDB (Partai Sosial Demokrasi Brazil, pecahan PMDB) dengan hanya`satu putaran karena meraih 54,2 persen suara. Pada posisi kedua ditempati oleh Lula da Silva dari PT (Partai Buruh) dengan 27 persen suara. Sementara di parlemen, pemenangnya masih PMDB (Partai Gerakan Demokratik Brazil) sebanyak 20,3 persen anggota, padahal capres dari PMDB hanya mendapatkan 4 persen suara di posisi ke-4 pada pilpres. Sementara PT (Partai Buruh) Lula da Silva mendapat 12,8 persen anggota di parlemen, menempati posisi ke-4. PSDB (Partai Sosial Demokrasi Brazil), partai pengusung Presiden Cardoso, menjadi yang terbesar kedua di parlemen dengan 13,9 persen anggota.
Pada tahun 1996, diperkenalkan sistem pemungutan suara elektronik (e-voting), yang didesain sesederhana telepon umum di Brazil. Mesin pemilihan elektronik ini melalui 3 tahapan dalam sekali proses: 1) identifikasi pemilih; 2) mengamankan suara, dan 3) penghitungan suara. Tujuan dari sistem elektronik ini adalah untuk menghilangkan kecurangan yang berbasis pada pemalsuan dokumen surat suara. Partai-partai politik diberikan akses untuk mengaudit program mesin e-voting sebelum dimulainya pemilu.
Tahun 1998, Pilpres di Brazil kembali dimenangkan Fernando Cardoso dari PSDB (Partai Sosial Demokrasi Brazil) dalam sekali putaran karena meraih 53 persen suara. Kali ini PSDB berhasil menguasai parlemen dengan 17,5 persen anggota. Lula da Silva dari PT (Partai Buruh) kembali di peringkat kedua Pilpres dengan 31,7 persen suara. Sedangkan di parlemen, PT (Partai Buruh), tetap di peringkat ke-4 dengan 13,2 persen anggota.
Sampai akhirnya pada pemilu berikutnya di tahun 2002, akhirnya Lula da Silva dari PT (Partai Buruh) berhasil memenangkan pilpres dengan dua putaran (61,2 persen suara). Dan partainya, PT (Partai Buruh) menjadi partai terbesar parlemen dengan 18,4 persen anggota. Dominasi PT (Partai Buruh) Brazil terus berlanjut di Pilpres dan Pemilu Legislatif berikutnya: 2006, 2010, dan 2014. Saat Lula da Silva tidak dapat maju kembali di Pilpres, penerusnya Dilma Rousseff yang menggantikan maju. Total lama waktu PT (Partai Buruh) berkuasa di Brazil adalah 18 tahun. Sampai akhirnya dihentikan pada tahun 2018 oleh Jar Bolsonaro dari PFL (Partai Front Liberal).
Dengan sistem politik demokrasi seperti demikian, perekonomian warga Brazil mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Pada tahun 2002, akhir pemerintahan Fernando Cardoso, pendapatan perkapita warga Brazil adalah sebesar $ 2.829. Tingkat kemiskinan (pendapatan di bawah $ 2 perhari) berada di 11,7 persen. Setelah Lula da Silva menjabat Presiden, selama delapan tahun, pendapatan perkapita warga Brazil pada tahun 2010 meningkat sangat pesat menjadi sebesar $11.286- atau sudah masuk kategori sebagai negara maju. Bandingkan peningkatan pendapatan perkapita dari tahun 1985 ke 2002 yang sebesar 71 persen, dengan peningkatannya dari tahun 2002 ke 2010 yang sebesar 318 persen! Tingkat kemiskinan pada tahun 2010 sudah turun ke level satu dijit di 5,3 persen. Maka wajar bila banyak yang memandang bahwa masa keemasan perekonomian Brazil terjadi pada masa Lula da Silva sebagai Presiden (2002-2010).
Pelajaran untuk Indonesia
Apa yang terjadi di Brazil, merupakan pengalaman baik dimana demokrasi benar-benar bekerja untuk mayoritas masyarakatnya. Demokrasi berhasil mendorong peningkatan pendapatan dan pengurangan kemiskinan. Bila coba disimpulkan, pelajaran berharga dari demokrasi Brazil sejak 1985 hingga kini adalah:
- Pemilihan Tanpa Ambang Batas
Pemilihan Presiden secara langsung di Brazil dilaksanakan tanpa ambang batas, alias setiap partai politik di Brazil berhak mencalonkan calon presidennya masing-masing. Dengan sistem tanpa ambang batas ini, setiap partai dengan masingmasing corak ideloginya, dapat menampilkan figurnya untuk menjadi calon Presiden. Sehingga dengan muncul banyak calon dari banyak partai, masyarakat diberikan
banyak pilihan, perdebatan tentang ideologi dan program kerja menjadi semakin dalam- masyarakat pun makin cerdas dan tercerahkan.
Bandingkan dengan Indonesia. Karena ada ambang batas 20 persen untuk mencalonkan Presiden, maka setiap pemilu dan pilpres hanya ada 2 calon saja. Partaipartai politik tidak lagi fokus untuk memunculkan kandidat dari partainya yang dapat menyuarakan ideologi dan program partainya, melainkan menjadi pengikut (follower) dari kandidat partai politik lain yang ideologinya belum tentu sama. Jadi pilpres belum
mulai saja, para pemimpin parpol di Indonesia sudah dipaksa untuk kompromi. Akhirnya ideologi partai-partai menjadi tidak jelas. Sehingga pemimpin partai-partai ini hanya mengejar kepentingan sesaat saja, semisal uang mahar puluhan sampai ratusan miliar Rupiah dari cukong/taipan, plus jabatan Menteri nanti dari capres yang didukungnya. Bukankah kalau mereka mau kaya raya sebaiknya berdagang saja yang
benar, jangan mendagangkan suara partai untuk penuhi ambang batas 20 persen! Kalau cuma mau jadi Menteri ya tidak perlu partai politik, tanpa parpol juga bisa. Seharusnya bila berani bikin partai, harus juga berani mencalonkan Presiden sendiri. Inilah bobroknya sistem kepartaian dengan ambang batas, yang lahir hanya dealer (pedagang), bukan leader (pemimpin). Berpolitik dihitung dengan untung rugi, bukan kalah menangnya ideologi.
Dan yang paling penting dari tiadanya ambang batas ini, calon-calon alternatif yang berasal dari luar sistem elit-oligarkis dapat muncul dan ikut bertarung. Bagaimana mungkin seorang aktivis buruh metal yang berasal keluarga miskin dapat menjadi capres dalam sistem dengan ambang batas yang berbiaya sangat tinggi ini. Jelas yang dapat ikut dalam sistem berbiaya tinggi ini adalah para elit kaya raya saja, mereka yang masuk ke dalam 100 orang terkaya di Indonesia saja (contoh: Prabowo, Sandiaga Uno, Jusuf Kalla). Kalaupun ada calon di luar elit 100 terkaya, dari pengusaha kecil atau intelektual, mereka harus sowan ke para taipan minta restu dan tentu saja minta dibiayai untuk bisa membayar ketua-ketua partai agar berkumpul mencapai ambang batas 20 persen. Akibatnya ya jelas, calon manapun adalah calon
yang dikendalikan oleh para taipan. Sehingga nanti bila terpilih, Presiden harus berada di bawah kaki para taipan, mengabdi pada kepentingan taipan dan kalangan elit terkaya saja. Sistem inilah yang disebut sebagai oligarki. Orang luar, calon alternatif, yang membawa program untuk rakyat banyak (bukan program taipan) selamanya tidak akan masuk ke dalam arena pilpres.
- Partai Politik dan Kampanye dibiayai Negara
Rumusnya sederhana. Semakin mahal biaya politik, maka semakin para aktivis politik bergantung kepada uluran tangan dan belas kasihan para taipan. Pernah salah seorang taipan di Indonesia mengaku, bahwa grup usahanya membiayai kampanye dari 144 anggota DPR RI dari lintas partai politik. Sebelumnya kita tahu pemimpin partai politik bergantung pada mahar dari taipan untuk penuhi ambang batas 20 persen, kini para calegnya pun bergantung pada taipan untuk membiayai kampanye. Sebagian partai politik bahkan sejak berdirinya memang bergantung pada sumbangan taipan. Sangat jelas, kendali oligarki kepada partai politik sudah terlalu dalam dan menyeluruh. Tidak aneh bila UU yang berpihak kepada oligarki (seperti UU Cipta Kerja dan revisi UU Minerba) selalu sangat cepat disahkan, sementara UU yang penting bagi masyarakat umum (seperti UU PRT, UU masyarakat adat) sangat lambat disahkan, bahkan ada yang sampai belasan tahun tidak kunjung disahkan.
Di Brazil, partai politiknya dibiayai oleh Negara. Dari operasional partai hingga aktivitas kampanye semua dibiayai menggunakan anggaran Negara dan dipublikasi secara terbuka serta diaudit secara ketat. Sumbangan dari grup bisnis dilarang sama sekali, sumbangan pribadi pun dibatasi hanya maksimal 10 persen dari pendapatan si pribadi tersebut. Partai-partai politik di Brazil juga tidak perlu mengeluarkan biaya apapun untuk berkampanye di radio dan televisi, lamanya waktu mengudara tentu diatur, dan sebagai kompensasi Negara akan memberikan keringanan pajak kepada perusahaan-perusahaan media tersebut. Bandingkan dengan di Indonesia, untuk bisa tampil saat prime time beberapa puluh menit saja biayanya miliaran Rupiah. Beberapa partai politik yang dibangun taipan memang punya perusahaan media sendiri, sehingga kader-kader partai mereka dapat berkampanye seenaknya di media sendiri. Jelas ini merupakan ketidak adillan bagi para partai politik peserta. Ada partai politik yang sanggup muncul setiap hari di media, ada yang tidak pernah muncul di media karena tidak sanggup bayar.
- Penerapan e-voting dalam Pemilu dan Pilpres
Kecurangan sangat rentan terjadi dalam sistem pemilu yang masih sangat manual – memerlukan tenaga pembawa (aparat polisi) dokumen, terlebih hanya disimpan dalam kotak kardus. Apalagi aparat yang diserahi tugas untuk mengamankan kotak suara dalam pemilu adalah kepolisian, yang kita tidak perlu banyak bicara lagi tentang fenomena-fenomena yang ramai belakangan ini. Jelas tidak ada jaminan pemilu dan pilres Indonesia tidak dicurangi.
Karena itu tidak ada cara lain untuk menuntut suatu sistem penghitungan suara yang lebih maju bagi Indonesia. Brazil sudah memulai sejak 26 tahun yang lalu menggunakan mesin pemungutan suara elektronik atau e-voting. Landasan diterapkannya e-voting di Brazil dimulai oleh TSE (Superior Electoral Tribunal), Lembaga tertinggi yang ditugaskan untuk menerapkan aturan pemilu, adalah: a) Melawan kecurangan endemis (!) yang terjadi dalam proses tabulasi kota suara. Karena aturan Brazil pada masa lalu yang kompleks, sehingga para pemilih harus mencoblos/memilih ribuan foto dan nama caleg, sehingga tabulasi dari suara menjadi kompleks dan problem yang berlarut-larut. Pada Pemilu Brazil tahun 1994 misalnya, tabulasi kotak suara memerlukan 170 ribu orang. Melakukan tabulasi suara juga merupakan tantangan logistic yang besar, melibatkan ratusan ribu bilik suara yang sering merupakan pegawai BUMN kantor pos. Karena skala dari tugas tersebut, penghitungan suara dapat makan waktu berminggu-minggu, dan saat-saat pasca pemilihan adalah saat yang tidak pasti dan menegangkan.
Yang terpenting, panjangan masa tabulasi suara meningkatkan kesempatan untuk para petugas penghitung suara berkolusi dengan caleg atau capres untuk memanipulasi perhitungan suara. Panjangnya masa penghitungan suara membuatkan susah untuk anggota-anggota parpol memantau proses secara utuh. Kecurangan yang paling sering terjadi adalah manipulasi lembar-lembar tabulasi, di
mana para petugas penghitung suara berkolusi dengan caleg atau capres akan mengurangi suara dari caleg atau capres lawannya dan menambahkannya ke penghitungan untuk memenangkan pihak yang membayarnya.
Berdasrkan laporan dari badan internasional pemantau pemilu, mesin-mesin pemungutan suara elektronik (e-voting) telah mampu menghilangkan sebagian besar dari masalah-masalah yang signifikan tersebut. Juga menyampaikan hasil-hasil jauh lebih cepat (tidak perlu waktu berminggu-minggu) dan menghapuskan banyak kecurigaan atas dimanipulasinya penghitungan suara.
Penutup
Pada akhir tahun 1998, Suharto meninggalkan Indonesia dengan angka kemiskinan 49,5 juta jiwa. Terima kasih kepada Presiden Abdurachman Wahid yang berhasil menurunkan menjadi 38 juta jiwa di tahun 2001- kemiskinan turun sebanyak 10 juta orang dalam 2 tahun. Laju pengurangan kemiskinan di era ini adalah yang paling tinggi. Sayang masa pemerintahan Gus Dur tidak lama. Seandainya diberikan waktu memerintah sepanjang Lula da Silva dan PT (Partai Buruh), mungkin Indonesia dapat lebih baik lagi, tidak akan ketinggalan dari Vietnam saat ini. Gus Dur juga satu-satunya Presiden di Indonesia yang berhasil menurunkan indeks gini ke 0,31 (terendah sepanjang masa), hampir serendah negara-negara Welfare State (Indeks Gini: 0,2-0,3). Pada masa ini juga Indonesia berhasil menaikkan pertumbuhan ekonomi dari minus menjadi positif, dengan mengurangi utang secara signifikan (menjadi pelopor dari debt swap dan debt to nature swap), tapi tetap menaikkan gaji pegawai negeri berkali lipat. Satu-satunya rezim pemerintahan yang berhasil mengurangi utang secara akumulatif adalah pemerintahan Gus Dur.
Indonesia mengalami kediktatoran militer selama 32 tahun, 12 tahun lebih lama dari apa yang terjadi di Brazil. Mungkin inilah alasan yang lain mengapa banyak orang Indonesia saat ini ingin kembali lagi ke masa itu. Apalagi banyak tokoh Orde Baru yang Kembali mendapat kekuasaan saat ini. Sementara orang-orang yang dahulu berdarah dan bernanah memperjuangkan demokrasi saat Reformasi, kini tidak diberikan tempat. Ada Presiden yang tidak pernah memperjuangan demokrasi, dan mengambil untung dari demokrasi, tapi kini dia sendiri yang menutup kran demokrasi. Korupsi bertambah luas,bahkan banyak yang bersaksi lebih gawat dibanding era Orde Baru. Kolusi dan nepotisme sudah diizinkan dan dipamerkan oleh keluarga Presiden sendiri. Media-media massa saat ini takut untuk memberitakan apapun yang mengganggu Presiden dan keluarganya, ancamannya si wartawan kehilangan pekerjaan. Hukum diinjak-injak sampai sehancur-hancurnya oleh penegak hukum. Pembantaian dan korban jiwa dianggap angka belaka, Kebebasan telah menjadi barang langka.
Freedom House – Lembaga yang didirikan oleh Eleanor Roosevelt pada tahun 1941 untuk melawan fasisme, yang di tahun 1948 dirinya menjadi pemimpin dalam merumuskan Deklarasi Hak Asasi Manusia di PBB- menerbitkan skor kebebasan yang sudah dimulai sejak tahun 1973 di seluruh Negara. Kebebasan di Indonesia saat ini diberikan lembaga itu skor sebesar 59 dari 100, dengan status “setengah bebas (partly free)”. Sementara Brazil, skornya lebih tinggi, 73 dari 100, dengan status “bebas (free)”. Inilah mungkin pelajaran terpenting yang harus Indonesia kejar dari Brazil: memperjuangkan kebebasan.
Artikel ini ditulis oleh :
Gede Sandra
Komite Politik – Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia