Analisa

Menuju Politik Elektoral di Indonesia yang Inklusif

Alur kepemimpinan dari atas ke bawah yang kerap identik dengan model pemfiguran dan penokohan untuk mendapatkan kepercayaan dan dukungan dari masyarakat masih menjadi hal yang lumrah. Pemanfaatan media massa dan media sosial sebagai instrumen untuk mengenalkan diri kepada publik, kemahiran dalam permainan retorika kata, serta dibumbui dengan aksi peduli masyarakat yang bersifat periodik; masih menjadi tren dalam strategi pemenangan para calon wakil rakyat.

Kontestasi pesta demokrasi menjadi sebuah momentum bagi masyarakat untuk berkompetisi dalam memperebutkan kursi di pemerintahan. Berbagai macam janji dan jargon mengatas-namakan keadilan sosial dan kemakmuran rakyat ditawarkan. Pajangan iklan dipinggir jalan besar yang menampilkan figuritas dari calon wakil rakyat dengan slogannya yang ‘kreatif’ mengundang rasa penasaran publik untuk membaca. Fenomena pengeluaran biaya sejumlah jutaan bahkan miliaran untuk membiayai serangkaian agenda kampanye dan pemenangan diri sudah menjadi konsekuensi logis dari pencalonan diri dalam politik elektoral.

Lahirnya Sistem Parlementer Sebagai Embrio dari Demokrasi Politik

Struktur sosial masyarakat yang terjadi di masa kini tidak lepas kaitannya dengan kejadian sosial-politik di masa lalu. Masyarakat bukanlah sekumpulan dari subyek-subyek manusia, yang dengan keinginannya dapat mengukir sejarahnya sendiri. Menurut George Ritzer dalam Teori Sosiologi (2012:362), masyarakat merupakan suatu struktur dengan bagian-bagian yang saling berhubungan dan terintegrasi dengan elemen-elemen konstituennya; seperti: Norma, adat, tradisi, dan institusi. Teori sosiologis ini biasa dikenal dengan fungsionalisme struktural.

Demokrasi di Indonesia dan sebagian besar negara di dunia memiliki jejak histori yang sama. Lahirnya demokrasi politik erat kaitannya dengan sejarah pergolakan masyarakat Eropa menentang model pemerintahan monarki absolut pada abad ke-18. Di akhir masa feodalistik, masyarakat Eropa mengalami perkembangan signifikan dalam intelektualitas dan perekonomian. Perkembangan tersebut melahirkan kelas sosial baru dalam masyarakat yaitu; para intelektual, produsen, dan pedagang.

Kelas sosial ini menjadi pemimpin dalam pengorganisiran masyarakat untuk menumbangkan sistem monarki absolut di berbagai negara. Sebut saja seperti gerakan Renaissance di Italia, gerakan Enlightment di Inggris, dan gerakan Affclaro di Jerman. Puncak dari gerakan rakyat ini melahirkan sebuah Revolusi Politik di Prancis pada tahun 1789-1799. Dengan tumbangnya sistem pemerintahan monarki, maka lahirlah sistem parlementer sebagai aktualisasi dari demokrasi politik dengan prinsipnya yaitu Liberté, égalité, fraternité (kebebasan, persamaan, dan persaudaraan).

Demokrasi Parsial dan Relasi Kuasa Antara Negara Dengan Masyarakat

Soekarno dalam Dibawah Bendera Revolusi (2005: 169) menjelaskan bahwa demokrasi politik harus diikuti dengan demokrasi ekonomi. Ketika demokrasi ekonomi masih belum dijalankan, demokrasi politik yang sejatinya terbuka untuk seluruh elemen masyarakat tanpa memandang kelas dan kedudukan sosial hanyalah bualan semata. Partisipasi masyarakat terutama masyarakat kecil untuk menjadi aktor dalam politik elektoral semakin terbatasi. Realitas empiris yang ada, politik elektoral justru dimanfaatkan oleh kelompok masyarakat untuk melanggengkan kekuasaannya melalui instrumen negara.

Negara secara historis merupakan produk fiksi hasil revolusi kognitif manusia. Menurut Yuval Noah Harari dalam Sapiens (2017: 31) negara berakar dari mitos kebangsaan bersama. Negara muncul dari imajinasi kolektif masyarakat untuk menciptakan struktur sosial yang menciptakan keharmonisan dan keteraturan sosial dalam masyarakat. Negara sebagai kontruksi sosial dalam masyarakat merupakan produk dari bayangan atas realitas yang dipercaya setiap orang. Sepanjang kepercayaan tersebut tersebut tetap eksis di masyarakat, negara mendatangkan kekuatan di dunia. Dan kekuatan ini sering kali dimanfaatkan secara tidak bertanggung-jawab oleh oknum tertentu.

Badan-badan pemerintahan yang merupakan struktur pemerintahan publik yang merepresentasikan kepentingan masyarakat telah berubah menjadi institusi privat yang mengedepankan kepentingan kelompok. Pragmatisme dalam perpolitikan menyebabkan anggota pemerintahan terjebak dalam kacamata kuda yang tidak dapat membaca dan menganalisa kondisi masyarakat dengan perspektif yang lebih luas secara kritis. Seperti contohnya, keengganan anggota dewan untuk menganalisa kondisi empiris masyarakat dan memberikan rekomendasi kebijakan kepada lembaga eksekutif yang semakin meningkatkan ketidak-percayaan masyarakat kepada para anggota dewan.

Gramsci melalui karyanya yang berjudul Selections from the Prison Notebooks (1976: 144) menjelaskan bahwa dalam masyarakat ada yang menguasai dan ada yang dikuasai. Gramsci menggunakan istilah hegemoni untuk menyebutkan bagaimana kelas kapitalis membangun kesukarelaan pada kelas tertindas untuk mereka pimpin. Kerelaan ini dibangun agar kelas tertindas seolah-olah tidak merasakan kontradiksi kepentingan tertindas dan penindas. Kontradiksi kepentingan antara lembaga pemerintahan, meminjam istilah filsuf Perancis Louis Althusser, sebagai aparatus negara ideologis dengan rakyatnya yang tertindas merupakan salah satu contoh dari adanya hegemoni yang dibangun melalui mekanisme konsensus melalui institusi dalam masyarakat.

Ketimpangan dalam struktur sosial yang ada (ada yang menguasai dan ada yang dikuasai), tidak disadari oleh masyarakat akibat hegemoni. Dengan memanfaatkan dominasi yang dimiliki, tugas dari lembaga pemerintahan adalah menggiring masyarakat agar menilai dan memandang problematika ini sebagai suatu kewajaran atau bahkan keniscayaan dalam praktek politik kenegaraan. Sosialisasi ini dilakukan untuk melanggengkan kekuasaan pejabat publik agar masyarakat tidak mengusik kepentingan yang telah mereka susun.

Realitas pada struktur sosial ini dilanggengkan oleh media sebagai wadah propaganda yang menyajikan dramaturgi perpolitikan nasional yang hanya melibatkan golongan elit politik sebagai aktor, namun masyarakat hanya mampu sebatas menonton sajian drama tersebut. Tontonan yang terus-menerus disajikan oleh media kepada masyarakat secara tidak langsung akan dianggap oleh sebagian  besar masyarakat sebagai sebuah kewajaran.

Pemilihan Umum: Sebuah Refleksi

Momentum pemilihan umum yang tidak mengijinkan seluruh elemen masyarakat untuk berkesempatan menjadi aktor didalamnya dan cenderung diisi oleh masyarakat dari kalangan atas menimbulkan skeptisisme pada banyak elemen masyarakat. Transformasi pejabat pemerintahan menjadi kapitalis birokrat yang menjadi penghubung antara pemerintah dengan investor menjadi salah satu lahan basah bagi para pejabat pemerintahan untuk memperkaya diri.

Fenomena masuknya pengusaha dalam politik elektoral mengindikasikan kepentingannya untuk memperlancar bisnis dengan memangkas rantai birokrasi untuk mempermudah proses ekspansi. Paradigma yang justru terjadi di masyarakat, pebisnis yang masuk dalam politik elektoral pasti mementingkan kepentingan rakyat. Karena mereka sudah kaya, dan karena mereka kaya kemungkinan mereka untuk korupsi semakit sedikit.

Masih hidupnya paradigma masyarakat mengenai kuantitas kepemilikan modal sebagai basis material yang harus dimiliki oleh seseorang yang ingin menjadi aktor pada politik elektoral mengindikasikan ketidak-pahaman masyarakat mengenai makna demokrasi sesungguhnya. Adanya anggapan bahwa kursi parlemen sebaiknya diisi oleh orang yang sudah kaya untuk menghindari terjadinya korupsi, termasuk kekeliruan logika (logical-fallacy) yang masih sering dijumpai. Pada dasarnya, manusia (Homo Sapiens) merupakan spesies yang memiliki dorongan ketidak-puasan dalam psikis mereka. Kecenderungan untuk mencapai titik yang lebih tinggi, termasuk kekayaan merupakan naluri manusia untuk mempertahankan eksistensi individu dalam masyarakat.

Demokrasi bukan demokrasi sejati ketika masih adanya kesenjangan dalam partisipasi masyarakat kecil untuk berkontribusi menjadi pemenang dalam pemilihan umum. Ketika partisipasi masyarakat kecil semakin terbatas karena minimnya modal dan mengharuskan mereka untuk menghentikan pergerakan, maka demokrasi politik hanya milik masyarakat bermodal, dan penyelenggaraan pemilihan umum tidak lagi demokratis.

Marwah inklusifitas politik elektoral terletak pada proses pemilihan umum yang benar-benar demokratis bagi seluruh rakyat Indonesia. Urgensi dari aktualisasi demokrasi ekonomi adalah sebagai tonggak keadilan dalam partisipasi seluruh elemen masyarakat untuk menjadi aktor dalam kontestasi pemilihan umum. Modal bukanlah insturumen penting sebagai prasyarat utama dalam memenangkan kontestasi pemilihan umum, melainkan kejujuran dan kredibilitas pribadi.

 

Penulis: Rizky Pratama Lianto Putra, Mahasiswa Politeknik Elektronika Negeri Surabaya

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Back to top button