Serba-Serbi

Peringanti Hari HAM Se-Dunia, SMI Serukan Pembangunan Alat Politik Rakyat

Serikat Mahasiswa Indonesia (SMI) menggelar mobilisasi nasional dalam rangka menperingati Hari Hak Asasi Manusia (HAM) se-Dunia. Aksi mengambil sasaran kantor Kemenristek Dikti yang bertempat di bilangan Jalan Sudirman. Dalam kesempatan ini, SMI menyoroti penanganan kasus HAM yang buruk, masalah perburuhan, arah kebijakan ekonomi dan isu terkait pendidikan.

Demonstrasi yang digelar SMI, dimulai dari titik kumpul di LBH pada pukul sembilan pagi. Selain ke Kemenristek Dikti, massa juga akan berdemonstrasi di depan Istana Negara. SMI menilai hingga hari ini, sudah ada lima pemerintahan sejak Reformasi lahir. Masing-masing dari mereka memiliki agenda penegakan hak asasi manusia, namun dalam praktiknya, dari era BJ Habibie hingga Jokowi, agenda penegakan HAM dilaksanakan setengah hati. Kalah prioritas dengan program pembangunan ekonomi yang kapitalistik, dalam jerat skema penyelamatan krisis global.

Upaya penyelamatan kapitalisme dari kebangkrutan telah mengerek sejumlah pertemuan dan perjanjian kerjasama ekonomi baik skala regional maupun skala global.  Dari perjanjian WTO, UEI Cepa, MEA hingga varian perjanjian Free Trade Area, secara signifikan telah melemahkan peran Negara. Kedaulatan Negara menjadi kabur, bahkan regulasi ekonomi dengan mudahnya diintervensi kepentingan kapitalisme global. Pada akhirnya, Negara lebih banyak mewakili dan memperjuangkan kepentingan pemegang otoritas (korporasi) daripada kepentingan rakyatnya.

Ambisi pembangunan infrastruktur Pemerintahan Jokowi-JK yang termaktub dalam Nawacitanya, justru menjadi jalan mulus bagi praktik-praktik pelanggaran HAM di sektor agraria. Penggusuran demi penggusuran lahan produktif terus terjadi di Tanah Air.

Kemudian di pelanggaran HAM sektor ketenagakerjaan, dapat dilihat dari implementasi politik upah murah semakin dipertegas dengan keluarnya PP 78/2015. Regulasi tersebut, mengatur sistem penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) dan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) dengan formula berdasarkan tingkat pertumbuhan ekonomi/ produk domestik bruto (PDB) dan inflasi nasional.

Kemnakertrans mengeluarkan keputusan bahwa UMP tahun 2019 dibatasi maksimal naik sebesar 8,03 persen. Mengacu pada skema rezim upah murah tersebut, maka dapat dipastikan kenaikan upah buruh akan sangat kecil sekali. Jutaan keluarga buruh-tani yang merupakan representasi mayoritas keluarga miskin Indonesia, akan semakin tercekik karena tidak bisa menyesuaikan kecilnya upah dengan beban kebutuhan rumah tangga yang semakin mahal.

Apalagi semenjak era kepemimpinan rezim Jokowi-JK, kebijakan anti rakyat seperti pencabutan subsidi BBM dan listrik, komersialisasi sektor publik (kesehatan, pendidikan, transportasi, dll) serta kenaikan tarif pajak rakyat yang cukup tinggi, akan memukul ekonomi keluarga buruh Indonesia.

Sekjend SMI Sulton Umar memaparkan, pelanggaran HAM khususnya sektor pendidikan bukan hanya persoalan kekerasan fisik oleh aparat militer. Persoalan pendidikan, juga bukan hanya soal pembangunan infrastruktur pendidikan dan meningkatkan angka partisipasi pendidikan.

Hari ini, sistem pendidikan tak lebih sekedar instrumen yang memproduksi ketimpangan sosial. Sasarannya bukanlah untuk memperbaiki standar hidup manusia, melainkan untuk meningkatkan efisiensi dan tingkat keuntungan perusahaan-perusahaan, tanpa peduli dengan kerusakan ekologis dan manusiawinya.

Kapitalisasi pendidikan telah mengkomodifikasi tak hanya pada pelepasan tanggung jawab Negara, namun melalui pemberlakuan hak kekayaan intelektual, mendesain kurikulum pendidikan agar sesuai dengan kepentingan bisnis, memperpendek waktu kuliah yang diikuti kenaikan biaya pendidikan, hingga membuat skema “kontrol politik kampus” melalui regulasi NKK/BKK gaya baru, misalnya PP 55/2018.

Praktik kapitalisasi pendidikan ini jelas merupakan masalah besar kita bersama. Pendidikan harus dikembalikan ke tujuannya semula: pembebasan manusia dari kungkungan lingkungannya yang menindas.

Ketua Umum SMI Nunung Lestari menambahkan, momentum Hari HAM yang menjadi momen deklarasi politik Mobilisasi Nasional SMI membawa tuntutan persoalan pendidikan dan seruan membangun persatuan gerakan untuk melawan kebijakan-kebijakan anti rakyat.

Riak perlawanan terhadap kebijakan-kebijakan anti rakyat seperti upah murah, perampasan lahan rakyat oleh korporasi, drop out mahasiswa sepihak disambut dengan represifitas dari bentuk fisik (pemukulan, penculikan) hingga terwujud dalam kriminalisasi gerakan rakyat. Oleh karena itu, gerakan mahasiswa bersama gerakan rakyat menegaskan tekad untuk memperkuat persatuan semua sektor kerakyatan, serta terus mengupayakan pembangunan kekuatan alternatif, sebagai senjata untuk merebut kedaulatan ekonomi-politik kembali ke tangan kelas pekerja.

Aksi SMI kali diikuti delegasi dari 21 kota, diantaranya Yogya, Pekalongan, Malang Tangerang, Maluku, Mataram,  Bima, Sumbawa, Makasar,  Luwuk, Lampung dan Medan. Aksi SMI juga turut dihadiri Kesatuan Perjuangan Rakyat (KPR) dan beberapa federasi buruh, organisasi pemuda serta organisasi masyarakat.

***

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Back to top button