Menurut rilis International Labour Organization (ILO) pada tahun 2019, terdapat 169 juta orang pekerja migran idi dunia. Mereka merupakan 4,9 persen dari angkatan kerja global. Keputusan menjadi pekerja migran tentu saja beragam. Tidak menyangkut satu faktor tunggal.
Bila dibedah lebih jauh, pendorong utama yang berkontribusi terhadap pertumbuhan mobilitas pekerja mencakup aneka faktor. Diantaranya: kurangnya pekerjaan dan kondisi kerja dan upah yang layak serta ketimpangan pendapatan yang melebar di dalam dan antar negara.
Faktor lainnya, meningkatnya permintaan akan pekerja terampil pun berketerampilan rendah di negara tujuan migran, juga terjadinya ‘kekurangan’ tenaga kerja domestik. Dan terakhir, perubahan demografis negara-negara dengan angkatan kerja yang menurun dan populasi yang menua.
ILO memberikan gambaran lebih jauh menyangkut tren pekerja migran. Perempuan merupakan 41,5% dan laki-laki 58,5% dari komposisi pekerja migran (ILO, 2021). Lainnya, 66,2% pekerja migran bekerja di sektor jasa, 26,7% di industri, dan 7,1% di pertanian. Diperkirakan dari 169 juta pekerja migran internasional, 67,4% berada di negara berpenghasilan tinggi dan 19,5% di negara berpenghasilan menengah ke atas.
Riset ILO juga menunjukkan bahwa pekerja migran dunia tersebar di wilayah-wilayah utama sebagai berikut: Eropa dan Asia Tengah, 37,7%; Amerika, 25,6%; Negara Arab, 14,3%; Asia dan Pasifik, 14,2%; dan hanya 8,1% di Afrika.
Belakangan, isu buruh migran kembali mencuat seiring persiapan helatan Piala Dunia. Pada bulan Februari tahun lalu, surat kabar terkemuka Inggris, The Guardian mengunggah reportase mencengangkan. 6500 pekerja migran meninggal sejak Qatar mempersiapkan diri sebagai tuan rumah 10 tahun lalu.
6.500 pekerja migran itu berasal dari India, Pakistan, Nepal, Bangladesh, dan Sri Lanka. Rata-rata 12 pekerja migran dari lima negara Asia Selatan ini meninggal tiap minggu sejak malam di bulan Desember 2010, ketika jalan-jalan di Doha dipenuhi oleh warga yang merayakan kemenangan Qatar sebagai tuan rumah Piala Dunia.
Di Indonesia masalah buruh migran juga terus bergulir. Berdasarkan data pengaduan Crisis Center Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) tahun 2022, beberapa permasalahan yang dihadapi sepanjang 2019-2021 mencakup: gaji tidak dibayar, gagal berangkat, perdagangan orang, pekerjaan tidak sesuai perjanjian kerja, tindak kekerasan dari majikan, depresi/sakit jiwa, penipuan peluang kerja, dan sebagainya.
Pada bulan Juni silam, Indonesia digemparkan oleh peristiwa dipenjaranya dan meninggalnya lebih dari 100 buruh migran di Sabah. Berdasarkan data dari Koalisi Buruh Migran Berdaulat (KBMB), setidaknya ada 149 buruh migran yang meninggal di lima Depot Tahanan Imigresen (DTI) di Sabah dalam kurun 2021 hingga Juni 2022.
Partai Buruh telah bersikap di momen itu. Mengecam keras tragedi Sabah dan melihatnya sebagai kejahatan HAM. Dan hari ini kita memperingati Hari Buruh Migran Internasional. Agak susah mengucapkan selamat, karena masih banyak air mata berlinang. Saudara-saudari kita, kelas pekerja. Kita ingin menulis sejarah, sejarah kelas pekerja yang damai, makmur dan sentosa, dengan pekerja migran sebagai salah satu subjek utamanya.
Ditulis:
Adityo Fajar
Yang tiga bibinya dan sepasang pamannya juga pekerja migran.