Waspadalah, Ketika Whatsapp Semakin Merajai Komunikasi Buruh


Buruh.co, Jakarta – Terjadi pergeseran penggunaan media sosial di buruh dalam beberapa tahun belakangan. Meski Whatsapp tetap menjadi media sosial yang paling banyak digunakan, ia memiliki trend penggunaan yang semakin dominan.
Berdasarkan sebuah jajak pendapat, sebanyak 75 persen responden menganggap Whatsapp sebagai media sosial yang paling kerap digunakan. Whatsapp bahkan mengalahkan Facebook dengan hanya 19 persen responden menganggapnya sebagai media sosial kedua yang paling kerap digunakan.
Hal ini merupakan temuan dari survei sederhana yang dilakukan Tim Media Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia bersama dengan Tim Informasi dan Komunikasi Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia dan Konfederasi Serikat Nasional. Survei yang disebarkan pada awal hingga pertengahan Maret 2018 itu disusun oleh Tim Media KPBI dan turut disebarkan oleh Tim Infokom KSPI serta KSN dan sejulmah individu dari berbagai organisasi seperti KSPSI dan SEDAR.
Survei tersebut melibatkan 434 responden. Sebanyak 57 persen responden berasal dari KSPI sementara 25 persen lainnya dari KPBI, 2,5 persen tidak berorganisasi, dan sisanya buruh dari organisasi-organisasi lain.
Angka ini menunjukan angka penggunaan Whatsapp yang semakin menguat dibandingkan survei serupa. Pada Januari 2017, survei Tim Penelitian dan Pengembangan Media Perdjoeangan KSPI sudah menemukan Whatsapp menjadi media sosial yang paling banyak digunakan. Namun, angka penggunaan Whatsapp baru mencapai 53 persen. Sementara, Facebook masih cukup mendominasi dengan 43 persen.
Whatsapp semula muncul sebagai penyedia layanan percakapan. Namun, setelah raksasa komunikasi Facebook membelinya, Whatsapp semakin melengkapi diri dengan layanan sosial media, seperti menu status. Selain itu, grup-grup Whatsapp, dengan anggota maksimal 256 pengguna.

Lingkaran Sosial yang Semakin Sempit
Teoritikus komunikasi Marshal McLuhan menyebutkan bahwa penggunaan media menentukan jenis pesan. Ia secara ekstrim menyebut phrasa “Medium is the message” atau “media itulah pesannya.” Gagasan ini disebut juga sebagai determinisme media yang menekankan bahwa alat mempengaruhi pesan yang dibawa. Sebagai contoh sederhana, media Internet membentuk penggunanya untuk memperpendek fokus perhatian ketimbang buku atau televisi. Ketika melihat serial di televisi, generasi lama dapat mengkonsumsi hingga 1 jam tanpa banyak beranjak sementara anak zaman now mungkin hanya tertarik melihat pesan vide selama 5 menit di Youtube. Begitulah kurang lebih alat media mempengaruhi pola konsumsi dan pesan.
Konsekuensi dari menguatnya Whatsapp berdasarkan teori di atas adalah menyempitnya lingkaran sosial para buruh. Dibandingkan dengan Facebook, Whatsapp sangat terbatas keanggotaan dan jangkauan. Grup Facebook dapat mencapai ribuan orang, dan seringkali terdiri dari buruh yang berasal dari berbagai organisasi. Menu pertemanan juga memungkinkan buruh membaca pandangan dari organisasi lain.
Dengan begitu, buruh lebih terbiasa memahami, meski tidak lantas menyetujui, pandangan-pandangan atau sikap yang lebih beragam baik dari individu maupun organisasi lain. Buruh semakin terhindarkan dari sikap cupet atau sempit dalam berpikir.
Sementara, Whatsapp group sangat terbatas dalam jangkauan. Sebuah grup tidak mampu lebih dari 256 pengguna dan ini menyebabkan buruh semakin kecil lingkaran sosialnya dan semakin sedikit mengenal buruh dari kelompok-kelompok lain. Beberapa grup Whatsapp lintas orgnisasi mungkin ada dan berhasil diorganisir di kawasan-kawasan industri seperti Cikarang dan Bekasi. Namun, keterbatasan jumlah ini mengakibatkan juga keterbatasan keberagaman pandangan. Dengan kata lain, buruh diarahkan untuk berada seperti katak dalam tempurung.
Tidak hanya itu, Whatsapp group juga tidak memacu pembahasan yang bersifat tematis dan cenderung lebih dangkal ketimbang Facebook. Dalam satu postingan Facebook, mungkin saja ada berbagai pro-kontra dan perdebatan. Perdebatan ini terorganisir berdasarkan satu tema yang menjadi isu dalam postingan tersebut, meski bisa saja melenceng. Sebuah perdebatan juga bisa memakan waktu beberapa hari dan mungkin mencuat kembali ketika ada yang “menyundulnya.”
Tidak seperti Facebook, percakapan di Whatsapp seringkali datang dan pergi. Pembahasan satu isu mungkin belum kelar ketika isu lain menubruk ruang group chat. Tidak hanya itu, pengguna agak sulit untuk menemukan rekaman-rekaman perdebatan lama yang bertumpuk-tumpuk dan tidak teratur. Alhasil, satu tema semakin dangkal dibahas ketika menggunakan media Whatsapp group.
Solidaritas dan Kedalaman
Meski bukan menjadi faktor utama, saya beranggapan bahwa pergeseran penggunaan media itu turut bersumbangsih pada melemahnya solidaritas buruh yang bersifat lintas organisasi. Intensitas pertemuan, meski secara virtual, dengan anggota dari organisasi lain mendorong saling memahami dan mungkin dalam beberapa tataran, seperti kasus PHK, memungkinkan adanya saling mendukung.
Selain itu, pertemuan secara virtual dengan organisasi lain mendorong buruh untuk mampu berpikir secara beragam. Ketika buruh hanya bertemu dengan rekan-rekan satu organisainya saja yang memiliki kultur dan pemikiran yang tidak jauh berbeda, maka buruh tidak terlatih untuk menganalisa. Selain itu, ini juga membahayakan buruh karena rentan memunculkan fanatisme sempit pada organisasi dan berimplikasi memandang remeh dan salah organisasi lain.
Sementara, keterbatasan kedalaman sebagaimana dibahas sebelumnya juga menimbulkan dampak tersendiri. Buruh semakin jarang berpikir secara jernih dan mendalam tentang satu isu. Yang ada, buruh melompat-lompat perhatian dari satu isu ke isu lain ketika belum memantapkan gagasan pada isu tertentu.
Ini jelas jauh lebih buruk ketimbang metode lama ketika Internet belum muncul. Saat itu, buruh membaca buku secara bersama-sama dan membahasnya. Medium buku memungkinkan adanya pembahasan satu isu secara mendalam, analitis, dan abstraktif ketimbang Internet yang hanya sepenggal-sepenggal, terlebih dengan medium Whatsapp yang melompat-lompat.
Kedalaman pemahaman ini juga berimplikasi pada kekuatan buruh untuk bertindak. Pasalnya, pengetahuan yang mantap dibutuhkan untuk memunculkan tindakan-tindakan yang membutuhkan militansi dan pengorbanan tinggi. Pengetahuan yang kuat merupakan senjata yang meyakinkan buruh untuk bertindak dan menjadi alasan kuat atas tindakan tersebut.
Dengan kondisi tersebut, organisasi tampaknya perlu mengimbangi dengan memperkuat forum-forum diskusi. Forum diskusi, bertemu secara tatap muka, dapat membantu untuk memperdalam dan memantapkan gagasan-gagasan. Terbitan-terbitan singkat atau bahkan buku akan menjadi alat yang membantu kedalaman berpikir. Sementara, diskusi-diskusi akan semakin baik jika sesekali menghadirkan pemantik atau peserta dari organisasi lain dengan pandangan yang tidak harus sama. Pandangan-pandangan berbeda tersebut akan mengasah pemikiran buruh untuk tidak jatuh pada fanatisme sempit dan dogma-dogma yang seolah-olah 100 persen benar.