Pembangunan Bandara New Yogyakarta Internasional Airport (NYIA) atau bandara Kulon Progo di Kecamatan Temon yang dianggap menjadi solusi atas pengembangan bandara Adi Sucipto nyata telah menggusur lahan produktif dan ruang hidup warga di lima desa yakni Glagah, Kebonrejo, Palihan, Sindutan dan jangkaran.
Tahapan pembangunan bandara NYIA yang sudah dimulai sejak groundbreaking atau peletakan batu pertama oleh Presiden RI jokowi pada jumat 27 Januari 2017 lalu semakin mempersempit gerak ruang hidup warga terdampak pembangunan bandara, sebab kini banyak lahan warga sudah dikeliling pagar besi oleh PT. Angkasa Pura 1 (Persero). Warga merasa terintimidasi dan susah akses jalan menuju lahan.
Padahal pemerintah telah menyadari jika kawasan pesisir selatan kabupaten Kulon Progo khususnya kecamatan Temon merupakan daerah pertanian produktif yang dapat menghasilkan komuditas-komuditas unggulan seperti padi, cabai, semangka, terong, dan tanaman holtilkultura lainya yang dapat membantu kebutuhan bahan pangan nasional.
Katanya pembangunan bandara ini mengatasnamakan kepentingan umum, lantas kita bertanya apakah hasil pertanian di kecamatan Temon bukan untuk kepentingan umum? Apakah hasil yang kami produksi tidak untuk kepentingan umum? Padahal tidak semua masyarakat memerlukan transportasi udara, tapi semua masyarakat memerlukan nasi untuk makan.
Selain itu warga yang pro pembangunan bandara kondisinya masih terkatung-katung. Proses relokasi masih belum juga menemukan kejelasan hidup di tempat yang baru. Selain itu jaminan untuk mendapatkan sertifikat tanah dengan status hak milik sampai sekarang belum juga mendapatkan kepastian. Gubernur belum juga memberikan izin pemanfaatan tanah kas desa untuk tempat relokasi. Padahal warga telah mengeluarkan uang banyak untuk mendapatkan ruang baru ditempat relokasi. Lebih parahnya lagi, pihak Angkasa Pura dan Pemerintah Daerah menjanjikan pekerjaan pada mereka, namun sampai detik ini hal tersebut juga tidak ada tindak lanjutnya.
Tak hanya itu, proses pembangunan bandara NYIA yang dipaksakan harus jadi pada tahun 2019 masih banyak titik janggalnya. Seperti tidak adanya izin lingkungan namun sudah menerbitkan IPL melalu SK Gubernur nomor 68/KEP/2015. Saat warga mengajukan keberatan dan gugatan hukum, warga justru dikriminalisasi. Lebih-lebih gugatan yang dimenangkan warga di PTUN sengaja digagalkan kelanjutannya oleh Mahkamah Agung (MA), selain itu tidak ada transparansi proses pengerjaan Amdal yang kabarnya saat ini sudah dalam bentuk Draft Dokumen Amdal dan melalui proses persidangan.
Konsep pembangunan NYIA yang menggunakan direncanakan akan ditunjang dengan skema kota bandara (aerotropolis) ini kami nilai sangat bersiko untuk keseimbangan pulau jawa. Sebab kawasan pesisir selatan DIY termasuk kawasan lingdung geologi yang jikalau dipaksakan pembangunanya akan bersiko pada keselamatan alam dan warga.
Meilhat lebih detail, Kota bandara ternyata akan memunculkan penggusuran baru, sebab ada upaya untuk melahirkan gedung tinggi, rel kereta, pelabuhan dan jalan bebas hambatan yang sudah bisa dipastikan akan berdiri dia atas lahan pertanian dan pemukiman warga. Tentu saja dampaknya tidak hanya di kawasan Temon. Namun mencakup wilayah pesisir pantai selatan secara keseluruhan bahkan sampai pada perbukitan Menoreh.
Ancaman ini sangat serius, tidak ada yang tidak terdampak, semua warga di Kulon Progo dan sekitarnya akan merasakan kerugian atas pembangunan NYIA. Menyadari akan hal tersebut, kami Paguyuban Warga Penolak Penggusuran Kulon Progo (PWPP-KP) dan Paguyuban Petani Lahan Pantai Kulon Progo (PPLP-KP) menyatakan sikap bersama dengan tegas bahwa:
- Kami menolak segala bentuk upaya pembangunan bandara New Yogyakarta Internasional Airport (NYIA) dan kota bandara di kawasan Kulon Progo.
- Kami menolak dengan tegas lahan kami dirampas, karena kami menyadari lahan kami adalah ruang hidup kami untuk anak cucu dan segenap warga DIY.
Siaran Pers Paguyuban Warga Penolak Penggusuran Kulon Progo (PWPP-KP) dan Paguyuban Petani Lahan Pantai Kulon Progo (PPLP-KP) Minggu, 2 Juli 2017.