Usut Tuntas dan Adili Segala Bentuk Pelanggaran HAM

Siaran Pers, Aliansi Mahasiswa Malang Bersatu dalam Aksi Momentum Hak Asasi Manusia 10 Desember 2018
Berbagai kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Republik Indonesia yang telah 73 tahun merdeka ini ternyata masih marak di depan mata. Kasus Trisakti tahun 1998 yang belum tuntas hingga kini, kasus Lumpur Lapindo yang menyengsarakan ribuan rakyat tak berdosa masih berlarut-larut, penyerobotan lahan warga oleh aparat militer, perilaku brutal oknum aparat kepolisian yang memasuki ruang-ruang demokrasi rakyat, tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh ormas reaksioner, penghilangan orang secara paksa, kekerasan terhadap perempuan, diskriminatif terhadap kaum divabel dan sederetan kasus lainnya, menandakan masih sangat buruknya penegakkan HAM di Indonesia. Sejatinya urgensi dari adanya penyelesaian kasus pelanggaran HAM. Pelanggaran HAM harus diselesaikan karena untuk menjamin kepastian hukum, terpenuhinya rasa keadilan, dan terbukanya kebenaran. Harapannya di masa depan, peristiwa serupa tidak terjadi lagi.
Represifitas Ruang Demokrasi Rakyat
Kebebasan berserikat, berkumpul dan berpendapat di muka umum jelas merupakan suatu hal yang di jamin oleh negara kita. Bukti akan hal itu tercantum dalam UUD 1945 Pasal 28 E Ayat (3) yang berbunyi: “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Sehingga sudah menjadi tanggungan negara untuk mewujudkan hal tersebut kepada setiap warga negaranya. Indonesia meratifikasi atau mengesahkan perjanjian internasional dalam bentuk UU No. 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan Hak-Hak Sipil dan Politik. Artinya ini merupakan penegasan bagi negara demi mewujudkan demokrasi bagi setiap warga negaranya, dan bukan hanya Indonesia, pengesahan produk hukum ini merupakan instrumen atau perintah dari dunia Internasional untuk memberikan setiap umat manusia hak-hak tersebut.
Kondisi demokrasi (Kebebasan berserikat, berkumpul dan berpendapat di muka umum) di Indonesia saat ini mengalami permasalahan yang cukup signifikan dalam artian masih adanya bentuk-bentuk pembatasan untuk memperoleh hak tersebut. Pembatasan yang dilakukan ini bukan hanya dari pihak aparat negara saja ormas raksioner Pada tanggal 29 September 2018, Tirto Id merilis berita tentang pembubaran aksi kamisan di malang dan di surabaya. Aksi kamisan ini di bubarkan di sertai dengan dengan ujaran kebencian dan juga tuduhan seperti “PKI”. Aksi ini juga di tuduh tak memiliki surat izin dan karenanya di anggap ilegal. Padahal, menurut Risal Ariawan (salah satu peserta aksi kamisan) setiap bulan sekali pihaknya selalu mengirim surat kepada pihak kepolisian dan karenanya aksi kamisan mereka itu seharusnya legal karena masih di bulan september. Tidak Cuma di surabaya, aksi pembubaran aksi kamisan ini pun juga terjadi di kota malang. Rico Tude (salah satu peserta aksi kamisan) menuturkan kejadian pembubaran aksi kamisan ini. Menurut ceritanya, pada pukul 16:30 WIB segerombolan massa ormas mendatangi aksi kamisan. Sempat ada dorong-dorongan dari pihak masing-masing. Aksi ini pun sempat di warnai dengan kelucuan. Menurut pengakuan Rico, sempat ada yang menanyakan tentang agama yang di anut nya. Pertanyaan ini di balas dengan pertanyaan oleh Rico mengapa harus menanyakan agama seseorang yang jelas tidak ada hubunganya dengan aksi kamisan?[1] Suatu pertanyaan yang sangat amat tidak penting tentunya.
Pada senin 8 Mei 2017, Detikcom melaporkan terkait dengan pembubaran pameran kesenian di Daerah Istimewa Yogyajarta (DIY). Pameran seni ini menampilkan karya-karya seni seniman andreas Iswanarto. Menurut pengakuan Andreas, dia dengan kawan-kawanya sedang mempersiapkan karya sampai akhirnya datang 30-an anggota ormas yang kemudian membubarkan pameran kesenian bertema “Aku masih utuh dan kata-kata belum binasa”. Bukan Cuma itu, pembubaran ini pun di warnai dengan penyitaan dan perampasan beberapa karyua Andreas dan beberapa lembar puisi Wiji Thukul di ambil. Menurut informasi dari tempo, pada 9 Mei 2017, ormas yang membubarkan acara kesenian ini adalah Pemuda Pancasila
Isu yang masih hangat – hangat di telinga kita dan di kalangan masyarakat, itu mengenai aksi yang dilakukan oleh kawan-kawan Aliansi Mahasiswa Papua dimana masih adanya tindakan repsresif yang dilakukan oleh pihak aparat tersendiri. Un News sendiri mengatakan “Kami prihatin tentang banyaknya penangkapan – lebih dari 500 – selama demonstrasi damai yang diadakan untuk memperingati Hari Nasional Papua Barat di berbagai lokasi di seluruh Indonesia pada tanggal 1 dan 2 Desember. Kami telah menerima laporan pasukan keamanan yang menggunakan blokade untuk mencegah demonstran melakukan aksi damai di Jakarta, Nusa Tenggara Timur, Maluku Utara, Merauke dan mengganggu layanan doa yang diselenggarakan oleh siswa asli Papua untuk mengakhiri peringatan, yang mengakibatkan beberapa orang ditangkap dan ditahan. Kami memahami bahwa sebagian besar penangkapan terjadi di kota Surabaya di Jawa Timur di mana kami telah menerima laporan yang mengkhawatirkan tentang penggunaan kekuatan dan kekerasan yang berlebihan oleh pasukan keamanan selama protes di mana pertempuran meletus di antara para demonstran dan orang-orang yang meneriakkan slogan anti-Papua.”[2]
Kemudian ditambah dengan Penangkapan terhadap 85 orang Papua saat perayaan ibadah pemuluhan bangsa Papua 1 Desember 2018 di Jayapura dilakukan tidak sesuai prosedur dalam KUHAP, 7 orang mengalami tindakan kekerasan oleh aparat keamanan saat ditangkap. Dimana berdasarkan kronologis[3] terjadinya empat kali penangkapan dan membawa secara paksa yang dilakukan oleh aprat kepolisian di Papua.
Ini menadakan bahwa hak kebebasan berkumpul, berserikat dan menyatakan pendapat dimuka umum hari ini ternodai oleh tindakan-tindakan yang sewenang-wenangan dari pihak aparat maupun organisasi – organisasi yang bersifat reaksioner saat ini. Tindakan-tindakan semacam itu dapat berfungsi sebagai alat untuk menahan praktik sah dari hak atas kebebasan berserikat, berkumpul secara damai, kebebasan berekspresi dan risiko merusak hak asasi manusia yang fundamental ini bagi penduduk secara luas.
Diskriminasi dan Kekerasan Terhadap Perempuan
Indonesia, meski sudah memasuki era reformasi hampir selama 20 tahun lamanya, kenyataanya bentuk-bentuk diskriminasi dan kekerasan pada perempuan tetap saja terjadi. Misalnya, peneliti dari CEDAW (The Convetion on the Elimination of all Forms of Discrimination Againts Women), Estu Fanani menyatakan bahwa diskriminatif terhadap perempuan kenyataanya hari ini msasih sering samgat sering terjadi. Diskriminasi tersebut terjadi hampir pada semua lini kehidupan masyarakat, mulai dari tataran politik, ekonomi, sosial, budaya, dan sipil. Diskriminasi ini pun berbentuk macam-macam, mulai dari domestifikasi, marginalisasi, stigma negatif, kekerasan baik fisik maupun psikis[4].
Beberapa contoh kasus diskriminasi dan juga kekerasan pada perempuan misalnya adalah kasus Baiq Nuril dan juga Agni yang di UGM. Misalnya, dalam kasus Baiq Nuril, Baiq Nuril kenyataanya mendapatkan pelecehan seksual secara verbal, namun anehnya Baiq Nuril justeru di jerat UU ITE sedangkan sang pelaku, namanya muslim, berlenggang bebas di luar. Kasus ini bermula saat Baiq Nuril merekam percakapanya via telpon dengan Muslim, percekapan yang di duga terdapat unsur pelecahan seksualnya. Namun justeru yang terjadi, Muslim melaporkan Nuril dengan menggunakan UU ITE. Pada akhirnya, Nuril tetap di jatuhi vonis enam bulan penjara dengan denda 500 juta[5].
Di sisi lain, terdapat kasus yang hampir sama yaitu kasus Agni di UGM. Agni (nama samaran) adalah seorang mahasiswa FISIPOL angkatan 2014 di UGM. Pada juli 2017, Agni mengikuti program KKN di pulau seram. Sayangnya, saat KKN inilah Agni mendapat musibah dengan menjadi korban kekerasan seksual dari kawan satu timnya sendiri. Anehnya, pihak kamus (yang seharusnya merepresentasikan rumah pengerahuan) justeru menganggap kasus Agni sudah selesai hanya dengan menarik izin KKn pelaku. Ketika kemudian korban hendak menuntut keadilan pada kampus, justeru yang terjadi adalah Agni mendapat nilai C, dan turut di salahkan atas kasus tersebut, sungguh, suatu sikap yang sangat amat ilmiah dari kampus ternama bernama UGM[6].
Pendidikan Gratis Dan Ilmiah
Menurut laporan dari BSI yang di terbitkan pada tahun 2017, menyatakan, bahwa sarana prasarana pendidikan indonesia masih sangat kurang, terutama pada tataran jenjang pendidikan dasar. Bukan Cuma itu, terkait dengan perpustakaan pun mengalami hal yang sama. Pada jenjang SD, ketimpangan antarprovinsi sangat amat kelihatan. Propinsi papua dan papua barat memiliki presentase kurang dari 40%, sedangkan propinsi lain sudah di atas 50%. Padahal, sarana prasarana dan juga perpustakaan adalah salah satu penunjang untuk mendapatkan pendidikan yang ilmiah[7].
Beberapa waktu yang lalu misalnya, Muhadjir Effendy Mendikbud, mengatakan bahwa pendidikan yang gratis itu tidak ada, itu omong kosong, kata dia. Menuurtnya, tidak ada pendidikan yang betul-betul gratis sebagaimana yang selama ini di gembar-gemborkan. Meski demikian, Mendikbud tidak sepenuhnya salah. Memang betul bahwa tidak ada pendidikan yang betul-betul gratis itu. Namun, salah juga kalo kemudian menganggap bahwa pendidikan yang gratis akan menghambat pembangunan pendidikan itu sendiri. Jerman, misalnya, menjadi salah satu negara dengan pendidikan yang maju justeru dengan menggratiskan pendidikan tinggi mereka, bukan cuma sebatas pada masyarakat Jerman asli, namun juga yang bukan masyarakat jerman[8].
Jika kita berbicara hukum, maka Hal ini dijelaskan dalam pasal 31 UUD 1945 amandemen mengatakan: “(1) Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan, (2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”. Berdasarkan pasal 31 ini, negara memiliki dua kewajiban yaitu: menyelenggarakan pendidikan bagi setiap warga negara, dan membiayai pendidikan bagi warga negara. Sayangnya negara tidak melakukan itu[9]. Jika mengacu pada aturan tersebut, ini adalah sebuah kewajiban negara dalam mewujudkan aturan tersebut.
Namun kondisi saat ini, pendidikan yang dicita-citakan masih belum dapat terpenuhi, dengan data-data terbaru yang masih hangat untuk diperbincangan tersebut diatas. Terlepas daripada kondisi itu, aspek pendidikan hari ini bukan hanya dilihat dari aspek undang-undang itu saja, permainan pasar yang dapat dilihat dari pengesahan GATS (General Agreements Trade Service) dimana didalamnya termuat penjelasan bahwa jasa pendidikan diperjualbelikan, sehingga dari pengesahan ini sebagai acuan UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional dan UU No. 12 Tahun 20013 Tentang Pendidikan Tinggi, dapat dilihat dari beberapa isi pasal, isinya tak jauh berbeda dengan yang diratifikasi atau yang ada dalam perjanjian internasional itu sendiri.
Kekerasan Bagi Kaum Difabel
Riset yang dilakukan oleh MAPPI FH UI mengkonfirmasi bahwa jenis Difabel yang paling banyak menjadi korban adalah Difabel mental intelektual yaitu sebanyak 59%, disusul dengan Difabel tuli 14%, triple Difabel (buta tuli sebanyak 9%, autis 5%, Difabel ganda (Difabel tuli dan mental / psikososial sebanyak 4%. Pelaku kekerasan seksual paling banyak adalah orang yang dikenal korban yaitu 50% adalah tetangga korban, sisanya dilakukan oleh orangtua tiri, saudara tiri dan asing.[10]
Kasus real yang terjadi pada tahun 2017 menurut Peneliti dari Masyarakat Pemantau Peradilan Fakultas Hukum Indonesia (MaPPI FHUI) Dio Ashar menyebut mayoritas pelaku kekerasan seksual terhadap difabel adalah orang terdekat korban. Bahkan, Dio menyebut 50 persen dari pelaku tersebut biasanya adalah tetangga korban. Selanjutnya meneerangkan bahwa “Pelakunya (kekerasan seksual) itu mayoritas adalah relasi horizontal. Relasi horizintal itu masuknya bisa teman, pelakunya 50 persen itu adalah tetangga korban, sisanya dilakukan oleh orang tua tiri, saudara tiri dan orang lain,” ucap Dio dalam diskusi ‘Disabilitas dan Kekerasan Seksual dalam Akses Keadilan’ di Warung Tjikini, Jakarta Pusat, Minggu (10/12/2017).[11]
Hal itu menjadikan perempuan menjadi subjek yang tidak berdaya. Di sisi lain, kurangnya keberpihakan masyarakat karena pemahaman keliru yang justru menjadikan perempuan difabel tidak dilindung.
Sedang kan, menurut Yayuk, seorang advokat dari YAPHI, hal inilah yang selalu menjadikan difabel sebagai korban menjadi lebih tidak berdaya. “Karena korban miskin, maka sering kali proses hukum tidak mau dilakukan dan cukup dengan kompensasi sejumlah uang yang dijanjikan untuk menghidupi keluarga si korban”, tukasnya. Keterbatasan difabel seperti tunarungu yang sulit berkomunikasi, serta tunagrahita yang mempunyai kemampuan daya pikir berbeda, ternyata juga menjadi hal yang menguntungkan pelaku. Artinya, keterbatasan tersebut, sebagaimana terungkap dalam diskusi, justru dimanfaatkan oleh pelaku untuk menjadikan difabel perempuan sebagai korban. Malangnya, ditambahkan oleh Purwanti, kasus-kasus seperti ini justru banyak terjadi di tempat-tempat yang seharusnya menjadi tempat aman bagi mereka. Menurutnya, tak jarang pemerkosaan atau pencabulan terjadi pada difabel perempuan di lingkungan rumahnya sendiri oleh ayah kandung, kakek, maupun anggota keluarga yang lain. Bahkan menurutnya, yang baru-baru ini terjadi, seorang tunarungu diperkosa hingga 6 kali oleh gurunya sendiri di salah satu SLB di Sukoharjo.[12]
Menurut data PUSDATIN dari Kementiran Sosial pada 2010 jemlah penyandang disabilitas di Indonesia adalah 11,580,1117 orang. Dari jumlah tersebut terdapat 3,474,035 (30%) penyandang disabilitas penglihatan, 3,010,830 (26%) penyandang disabilitas fisik, 2,547,626 (22%) penyandang disabilitas pendengaran, 1,389,614 (12%) penyandang disabilitas mental dan 1,158,012 (10%) penyandang disabilitas kronis.
Tentunya menjadi tanggung jawab negara untuk merealisasikan hak yang termuat dalam beberapa regulasi tersebut, kebiasaan dan Pratik-praktik yang diskriminatif terhadap penyandang disabilitas harus segera dirubah dan dihilangkan. Negara harus menjamin partisipasi penyandang disabilitas dalam segala aspek kehidupan demi tegaknya hak asasi manusia bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Kebebasan Pers
Kebebasan pers di Indonesia lahir setelah Orde Baru tumbang pada tahun 1998 dan munculnya pasal 28 F UUD 1945 melalui amandemen kedua yang berbunyi “ setiap orang berhak berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya,serta berhak untuk memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya setera berhak untuk mencari,memperoleh,memiliki,menyimpan,mengolah dan menyampaikan informasi dengan mengungkapkan segala jenis saluran yang tersedia”
Pasca demokrasi pemerintah mecabut sejumlah peraturan yang dianggap mengekang kehidupan pers. Peraturan antara lain :
- Peraturan Mentri Penerangan Nomor 1 tahun 1984 tentang Ketentuan-Ketentuan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP)
- Permenpen Nomor 2 Tahun 1969 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Wartawan
- Surat keputusan (SK) Menpen Nomor 214 Tentang Prosedur dan Persyaratan untuk Mendapatkan SIUPP
- SK Menpen Nomor 47 Tahun 1975 tentang Pengukuhan PWI dan Serikat Pekerja Surat Kabar Sebagai Satu-Satunya Organisasi Wartawan dan Organisasi Penerbit Pers Indonesia
Kemerdekaan pers diatur dalam Pasal 4 ayat (1) : Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga Negara Pasal 4 ayat (2) : Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran,pembredelan atau pelanggaran penyiaran Pasal 4 ayat (3) : Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari,memperoleh dan meyebarluaskan gagasan dan informasi
Walaupun demikian undang-undang menjamin kebebasan pers, tapi bukan berarti pers di Indonesia menempati peringkat tinggi dibanding negara lain . pada tahun 2017 indeks keberhasilan pers di Indonesia berada pada urutan 124 dari 180 negara. Menurut Lembaga internasional Reporter Sans Frontiers (RSF) kebebasan pers di Indonesia jauh di bawah negara Asia. Menurut Aliansi Jurnalis Independen, ada 75 kasus terhadap jurnalis indonesia dari mei 2017-awal mei 2018. Kasus tersebut, di dominasi oleh pihak kepolisian. Selain kepolisian, kasus kekerasan terhadap jurnalis pun juga di lakukan oleh pejabat pemerintah atau eksekutif yang mencapai 16 kasus. Selain itu, di kalangan ormas pun terdapat 8 kasus, warga 8 kasus, dan TNI 6 kasus.[13]
Pada tanggal 5 Februari 2018, Tempo merilis berita terkait dengan pengusiran jurnalis BBC dari Asmat. Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia menyatakan bahwa tragedi ini merupakan suatu serangkan terhadap kebebasan pers yang ada di indonesia. Korban, yaitu Rebbeca Hensckhe, salah seorang warga negara Australia, dan juga dua kontributor Dwiki dan Affan asal indonesia, di usir hanya karena alasan cuitan salah seorang di antara ketiga nya di twitter, sebuah alasan yang sangat tidak masuk di akal. Belum lagi, menurut informasi dari Bidang Advokasi Jurnalis Independen Indonesia, isi cuitanya pun adalah terkait foto-foto dan teks tentang bantuan untuk anak-anak di Asmat seperti mie instan, biskuit, dan minuman ringan. Suatu keanehan di negeri yang mengklaim demokrasi ini[14]
Bahkan, Tirto, pada 4 Februari 2018, pun menerbitkan tulisan tentang pembatasan kebebasan pers di wilayah papua. Wajarlah jika kemudian kita curiga bahwa ada sesuatu yang hendak di sembunyikan di papua dari perhatian public. Suatu intrik busuk tentunya. Bahkan, jangankan si rebbeca, seorang Dubes Inggris untuk indonesia, Moazzam Malik, pernah di protes juga hanya karena cuitan twitternya yang berkaitan dengan papua. Suatu ketidaktahuan yang absolut dari elite bangsa ini.
Menurut Indeks Kebebasan Pers 2018, indonesia berada dalam peringkat 125. Suatu peringkat yang buruk dan sudah sepantasnya menjadi suatu kartu merah bagi elite-elte bangsa ini[15]. Pada 6 Juni 2018, Tempo merilis sebuah berita tentang penganiayaan seorang wartawan yang meliput kebakaran di manokwari, papua. Adalah Novrianto Terok, wartawan koran radar papua. Insiden terjadi pada 5 juni 2018 pukul 14:15 WIT. Kejadian ini jelas sekali menunjukan suatu pembatasan terhadap kebebasan pers, sekali lagi, di Papua.
Keterlibatan Militer Di Ranah Sipil
UU No 34 tahun 2004 tentang Tentara nasional Indonesia dan UU no 31 tahun 1997 tentang pengadilan Militer. Telah mengatur tentang berbagai tugas dan tanggung jawab Militer dan dalam hal militer /TNI melakukan pelanggan. Untuk diatasi mengatur secara khusus apa yang seharusnya dilakukan. Akan tetapi hari ini ada berbagai peraturan baru yang melibatkan militer di beberapa urusan sipil. Hal ini sangat mengkhawatirkan beberapa pihak, dengan anggapan bahwa militer akan menjadi peraturan itu bertindak secara represif terhadap rakyat dan keyantaan pun telah terbukti di beberapa kasus. Ryamizard, Menteri Pertahanan (Menhan) menyatakan menyetujui penempatan unsur TNI dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Selain itu ada rumusan-rumusan Peraturan Presiden (Perpres) yang memperbesar militerisme. Imparsial menyebutkan draf Perpres tentang susunan organisasi TNI hendak mengembalikan porsi TNI seperti di Orba seperti dengan penambahan peran TNI sebagai alat keamanan negara, pelaksanaan pemberdayaan wilayah melalui pembinaan teritorial, serta pembentukan Komando Gabungan Wilayah Pertahanan (Kogubwilhan).
Dan dari sektor agraria data yang telah dipaparkan oleh KPA Sepanjang 2017, 13 warga tewas, enam tertembak. Sebanyak 612 warga jadi korban kekerasan, 369 dikriminalisasi dan ditahan, terdiri dari 351 laki-laki dan 18 perempuan. Konflik agraria, dilaporkan 224 orang dianiaya (170 laki-laki dan 54 perempuan). Dari 659 kasus, katanya, 289 konflik antara perusahaan swasta dengan masyarakat. Berikutnya konflik antara pemerintah dengan masyarakat 140, diikuti antarwarga 112. Tak sampai disitu peran negara yang seharusnya mampu melindungi rakyatnya malah berbalik menyerang dengan mengerahkan alat kekerasanya untuk membukam rakyat. Konflik masyarakat dengan BUMN 55 kasus dan antara aparat negara dengan masyarakat 28 konflik. Konflik antara aparat dengan masyarakat, biasa didominasi TNI terkait rencana pembangunan lapangan udara (Lanud) maupun komplek perumahan milik TNI yang tumpang tindih dengan tanah-tanah masyarakat. Aparat kepolisian masih jadi pelaku kekerasan bagi masyarakat di wilayah-wilayah konflik. Polisi jadi aktor utama di balik tindak kekerasan dan penangkapan rakyat. Dari seluruh konflik, polisi melakukan 21 kali kekerasan maupun penangkapan tanpa prosedural kepada masyarakat. Hal ini bisa dipahami bahwa pemerintah hari ini tak lain adalah pelayan setia dan boneka bagi para kaum pemodal.
Militerisme merupakan bagian hakiki dari rezim dan sistem penindasan kapitalisme. Secara hakikat militerisme adalah penggunaan kekuatan militer sebagai pendukung kekuasaan tirani kapitalisme. Dari waktu ke waktu kapitalisme akan berdialektika, saat kapitalisme mengalami booming ekonomi, maka militerisme secara formal hanya difungsikan sebagai penjaga tata tertib operasi bisnis kapitalisme dari ancaman eksternal, namun saat kapitalisme mengalami krisis, bahkan bilamana terancam oleh revolusi, maka kapitalisme tidak akan segan-segan mengayunkan militerisme ke pendulum tertingginya, yaitu mengobarkan perang imperialis atau mendirikan pemerintah militer untuk menyelamatkan kapitalisme itu sendiri.
Oleh karena itu keerlibatan militer di ranah sipil dan komado territorial harus dihapuskan, terutama keterlibatan aparat militer di ranah konflik perburuhan, sengketa agraria, dan penggusuran. Termasuk penindakan tegas terhadap oknum-oknum TNI yang menjadi centeng pengusaha/pemilik modal dengan berdalih mengamankan aset-aset namun menindas rakyat dengan cara intimidasi, represif, dan kekerasan.
Perampasan Tanah dan Pengusuran
Cerminan nyata permasalahan rakyat tak terkecuali kaum petani hari ini masih mengalami penderitaan yang sangat luar biasa. Problem perampasan tanah secara paksa, kriminalisasi, intimidasi dan bahkan lebih parahnya lagi mereka dijadikan tumbal atas keserakahan kaum pemodan yang juga berkaloborasi dengan pemerintah hari ini sebagai antek atau boneka bagi kaum pemodal. Kenyataan itu bisa kita lihat dari data yang telah dirilis oleh KPA Tahun 2017, KPA mencatat sedikitnya terjadi 659 konflik agraria di berbagai wilayah di dengan luasan 520.491,87 hektar. Konflik-konflik ini melibatkan sedikitnya 652.738 keluarga. Dibanding 2016, konflik tahun ini menunjukkan kenaikan siginifikan alias 50%. Dari semua sektor, perkebunan menempati posisi pertama. Sebanyak 208 konflik agraria sektor ini sepanjang 2017, atau 32% dari seluruh kejadian. Properti menempati posisi kedua dengan 199 atau 30% konflik. Ketiga infrastruktur dengan 94 (14%), disusul sektor pertanian 78 (12%). Sektor kehutanan ada 30 (5%), sektor pesisir dan kelautan 28 (4%), terakhir pertambangan 22 (3%).Untuk infrastruktur, konflik terjadi pada 52.607,9 hektar dan pertambangan 45.792,8 hektar. Sektor pesisir dan kelautan 41.109,47 hektar, sektor pertanian pangan 38.986,24 hektar. Luasan konflik sektor properti 10.337,72 hektar. Sedangkan, selama tiga tahun pemerintahan Jokowi–Jusuf Kalla (2015-2017), terjadi 1.361 konflik agraria. Dalam 10 tahun terakhir, data KPA mencatat, luas perkebunan sawit rata-rata naik 5,9% per tahun. Peningkatan kebun sawit tertinggi pada 2011, 7,24% jadi 8,99 juta hektar. Hingga 2016, luas perkebunan sawit Indonesia 11,67 hektar. Laju peningkatan itu, katanya, tak dibarengi sistem pemberian izin lokasi, izin usaha dan kajian dampak komprehensif.
Untuk itu, mendesak kaji ulang izin-izin sawit. Persoalan pelik lain, katanya, ketimpangan kepemilikan lahan. Dari total perkebunan sawit, 31% milik beberapa grub perusahaan besar seperti Sinar Mas, Salim Group, Jardine Matheson Group, Wilmar Group dan Surya Dumai Group. Secara khusus ini nampak didalam kasus seperti yang terjadi dalam rencana pembangunan Bandar Internasional Yogyakarta di Kulon Progo, Yogyakarta. Konflik ini mengancam dua desa hilang, yakni Desa Palihan dan Glagah. Lebih masif lagi, rencana pembangunan bandara di Jawa Barat di Kecamatan Kertajati, Majalengka. Sepuluh Desa hilang dan menyisakan satu desa bertahan karena menolak rencana pembangunan. Kemudian kasus lainya adalah pembangunan hotel The Rayja Resort milik PT Panggon Perkasa Sukses Mandiri. Warga di sekitarnya, di Dusun Cangar, Bulukerto, menolak keberadaan hotel itu karena memonopoli sumber mata air Umbul Gemulo. Setidaknya ada 9.000 orang yang terkena dampak. Mereka mengalami kekurangan air bersih sejak pendirian hotel tersebut.
. Tak hanya itu rezim jokowi-jk hari ini membuat suatu kebijakan populis untuk mengilusi rakyat. Kebijakan yang mereka sebut reforma agraria yang merupakan salah satu program nawa cita jokowi-jk yaitu secara garis besarnya pendistribusian 9 juta hektar tanah. Jika kita tinjau program ini hanya didominasi dengan pembagian sertifikasi tanah. Berdasarkan data dari Kementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional hingga per 24 Agustus tahun 2017 untuk program sertifikasi tanah transmigrasi target 600.000 hektar terealisasi 32.820 hektar (5,4%), program legalisasi aset target 3.900.000 hektar terealisasi 1.189.349 hektar (30,49%), program pelepasan kawasan hutan target 4.100.000 hektar terealisasi 707.346 hektar (17,25 %) dan program redistribusi tanah target 400.000 hektar terealisasi hanya 185.958 hektar (46,49 %),” papar Agus Ruli. Bisa kita saksikan bersama realisasi inipun masih tidak mampu menjangkau keselurahan sektor rakyat dan program ini hanya merupakn wujud dari kepalsuan atas makna reforma agraria.
Tolak Perampasan Tanah Adat Di Maluku
Konflik yang membenturkan masyarakat petani dengan aparat keamanan, pemerintah dan/atau perusahaan menurut Serikat Petani Indonesia terus terjadi disepanjang tahun 2011 mengakibatkan sebanyak 35 Petani menjadi kor- ban kriminalisasi, 273.888 tergusur dari tanahnya dan 18 orang tewas karena mencoba memperjuangkan tanahnya. Hal ini menurut Noer Fauzi dalam banyak kasus yang melibatkan perusahaan dipicu pemberian izin konsesi oleh pejabat publik serta diwarnai oleh penggunaan kekerasan, kriminalisasi tokoh, manipulasi, penipuan, pemaksaan persetujuan dilakukan secara sistematik dan meluas untuk menghilangkan ke- pemilikan rakyat.
Hal tersebut juga terjadi di Provinsi Maluku Utara, tipologi konflik pertanahan yang mun- cul terkait pemerintah dan investor vs masyara- kat pemegang hak yang dilatarbelakangi oleh kecendrungan keberpihakan pemerintah daerah dalam pemanfaatan/pengelolaan potensi sumber daya alam melalui kebijakan pemberian izin lokasi/izin usaha pertambangan untuk pena- naman modal yang mengakibatkan beralihnya fungsi tanah pertanian serta berkurangnya akses rakyat terhadap tanah, apalagi dalam prakteknya perolehan tanah untuk kepentingan tidak didasarkan pada prinsip kesejajaran dalam melakukan transaksi, akan tetapi menggunakan prinsip-prinsip pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum.
Pola konflik tanah yang sama juga terjadi di Provinsi Maluku Utara, hasil penelitian me- nunjukkan konflik tanah yang melibatkan masyarakat dengan Perusahaan dan/atau pemerintah daerah bersifat struktural maupun horizontal. Maluku Utara mengandung potensi pertambangan diperhadapkan pada konflik pembebasan lahan, serta hak masyarakat adat yang tidak terselesaikan.
Pola konflik tanah yang bersifat struktural terjadi hampir disemua wilayah pertambangan dengan eskalasi serta dinamika yang berbeda. Konflik yang terjadi antara PT. Nusa Halmahera Minerals (PT. NHM) dengan warga masyarakat Kao Malifut di Kabupaten Halmahera Utara, ter-kait hak atas tanah ulayat suku Pagu Kao di wilayah Kontrak Karya. Konsesi PT. NHM diberikan melalui kontrak karya yang ditandatangani oleh pemerintah Indonesia pada tanggal 19 Februari 1998 yang diwakili Menteri Pertambangan dan Energi, serta surat persetujuan Presiden Republik Indonesia Nomor B.53/Pres/I/1998 pada Pasal 4 menentukan bahwa dengan lahan seluas 70.610 ha untuk kuasa pertambangan golongan A (emas), mineral golongan C termasuk wilayah pertambangan rakyat dengan potensi 20 ribu ton deposit biji logam.23 Konsesi perusahaan juga diistimewakan dengan ditetapkannya Perpu No. 1 Tahun 2004 serta Kepres No. 41 Tahun 2004 yang telah memberikan izin pinjam-pakai kawasan hutan lindung kepada perusahaan per- tambangan NHM.
Pada konflik tanah ulayat/adat, tanah di gusur dengan menggunakan alasan “tanah negara” untuk dijadikan obyek penambahan devisa negara dan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Akar konflik berawal dari pengambilalihan tanah yang tidak mengormati kepentingan dan hak- hak masyarakat adat. Selain itu, konflik juga dipicu dari ganti rugi lahan hingga pelaksanaan Community Social Responsibility yang menimbulkan eskalasi konflik terbuka dimulai dari demo, konfrontasi, blokir akses jalan serta pintu gerbang perusahaan dengan menggunakan penanda/simbol adat hingga berperkara di pengadilan. Selain itu, konflik tanah yang melibatkan PT. NHM ini juga ditemukan pada pelaksanaan pembangunan jalan raya di desa lingkar tambang sebagai bagian dari implementasi Community Development yang berpangkal pada soal ganti rugi. Sengketa ganti rugi lahan dan peng- rusakan kebun kelapa dengan menggunakan Buldozer oleh PT. NHM untuk pembangunan jalan raya di Desa Peleri Kecamatan Malifut Kabupa- ten Halmahera Utara, menggunakan dasar hukum pembangunan untuk kepentingan umum. Sengketa ini diselesaikan secara litigasi melalui PN. Tobelo tanggal 28 Agustus 2008
Konflik pertanahan Kabupaten Halmahera Timur, terjadi antara perusahaan tambang yang melakukan pembebasan lahan antara lain oleh PT. Yudistira Bumi Bakti, PT. Kemakmuran Pertiwi Tambang, dan PT. Alam Raya Abadi terkait proses serta besar ganti rugi yang menggunakan dasar keputusan bupati tentang penetapan harga tanah dan tanaman untuk pembangunan bagi kepentingan umum. Ketidaksepahaman akan be- sar ganti rugi atas tanah oleh PT. Yudistira Bumi Bakti memunculkan konflik terbuka yakni blokir jalan ke areal perusahaan selama 4 (empat) hari hingga konfrontasi dengan aparat keamanan (Brimob). Demikian halnya PT. Alam Raya Abadi yang telah melaksanakan tahapan eksplorasi usaha pertambangan Nikel sejak tahun 2010-2011, belum menuntaskan ganti rugi lahan ka rena belum mendapatkan persetujuan sebanyak 47 pemegang hak lainnya.
Menurut data dari PT. WBN, proses pembebasan lahan untuk pembangunan industri telah dilakukan oleh perusahaan dan berdasarkan kesepakatan dengan pemilik tanah dengan harga sebesar Rp.8.000/m2. Namun terdapat 66 KK yang tidak menerima ganti harga tersebut dengan menawarkan harga baru diluar kesepakatan sebesar Rp. 50.000/m2. Berdasarkan data pembebasan lahan PT. WBN tahun 2012, Jumlah lahan yang telah dibebaskan, sebanyak 485 terdiri dari tahap I Karkar sebanyak 158, tahap II Tanjung uli 94, tahap III Nuspera 135, tahap IV Desa Gemaf 44, tahap V Gowomdi 44, sedang- kan dari jumlah orang, tahap I sebanyak 108, tahap II 48, tahap III 104, tahap IV 42 tahap V 26 KK sehingga total 328 KK. Contoh yang dapat dilihat pada sengketa pembebasan lahan di Kabupaten Halmahera Timur antar masyarakat disebabkan adanya per- bedaan pandangan/pendapat mengenai besar ganti rugi tanah yang dinegosiasikan Rp.10.000/m2 dengan kompensasi pembangunan di desa,namun kemudian mengalami perpecahan menjadi Rp.5.000/m2 dan Rp.2.500/m2. Hal yang sama terjadi di Halmahera Tengah, dimana terdapat 328 KK telah menerima harga dan telah diberikan ganti rugi, sementara 66 KK yang sampai saat ini belum memperoleh ganti rugi karena belum menyetujui harga ditetapkan perusahaan.
Melihat dari kondisi diatas, bawahsanya perampasan tanah adat atas alasan umum menjadikan problem yang berkepanjangan, dan juga legimitasi mengenai hak atas kepemilikan hanya sah jika mana seseorang memiliki surat/sertifikat. Namun beda halnya terhadap hukum adat, karena tanah yang mereka tinggal adalah sepeninggalan dari nenek moyang atau orang-orang terdahulu yangt sudah merupakan menjadi hak milik pribadi maupun kolektif. Sehingga konflik mengenai pertanahan adat selalu kalah terhadap hukum melalui landasan negara yaitu undang-undang atas kepemilikan tanah. Melihat kondisi seperti itu pihak pemerintah masih belum ada kejelasan yang kongkrit mengenai hal tersebut, namun yang diharapkan agar dari pemerintah sendiri bisa mengambil kebijakan yang kongret dan demi kebaikan bagi rakyat secara umum.
Stabilisasi Harga Kopra Di Maluku Utara
Ekspor komoditas kopra Indonesia dalam periode enam bulan pertama di tahun 2018 naik 13,02% menjadi US$ 185,98 juta. Namun tidaklah menjadikan indikator positif bagi produk turunan kelapa lainnya relatif mengalami penurunan (Kontan.co.id/7/2018). Anjloknya harga kopra membuat sejumlah petani kelapa di provinsi Maluku Utara mulai meresahkan hal tersebut. Faktornya tidak lain di karenakan produksi kopra yang di hasilkan para petani lumayan banyak, namun dengan anjloknya harga komoditas karena harga Internasional menjadikan kesengsaraan terhadap petani.
Minyak mentah kopra atau crude oil of coconut oil juga naik 13% menjadi US$ 185,98 juta dan volumenya naik 44.87% menjadi 149,66 juta kilogram . Tapi produk minyak kelapa dan fraksinya turun 6,99% menjadi US$192,75 juta, walaupun volume ekspor naik 20,58% menjadi 147,39 juta kilogram. Kondisi daerah yang merasa paling signitif tertekan yaitu bertepatan di provinsi Maluku Utara di wiliyah Halmahera utara. Para petani yang ada di daerah tersebut sangat tertekan oleh turun harga dari kopra, karena penghasilan pokok dari petani yang ada di wilayah itu mayoritas sebagai petani.
Dari anjloknya harga kopra memang bukan menjadi suatu hal yang baru. Harga komoditi memang tidak jauh-jauh dari aturan dari harga internasional, terutama lagi peran WTO (World Trade Organization) sebagai organisasi yang berfokus pada perdagangan internasional juga menjadi faktor dari menurunnya nilai harga dari kopra. Turunnya harga kopra ini tidak lain adalah akibat dari liberalisasi perdagangan yang diterapkan oleh WTO. Seperti yang kita ketahui bahwa adanya liberalisasi perdagangan membuat kita harus membuka pasar seluas-luasnya, akibatnya adalah terjadinya keberlimpahan produksi di negara kita. Dengan demikian produk kita kalah saing dengan produk luar hingga dampaknya adalah kerugian pada petani kita karena harga kopra ini terus saja menurun.
Menyikapi hal demikian, seharusnya pemerintah kita berani mengambil sikap yang tegas. Salah satunya adalah harus jeli melihat sektor mana yang harus diliberalisasikan dan mana yang harus diproteksi. Dengan cara penerapan sistem proteksi di sektor perkebunan, terkhusus kopra. Jika sistem ini diterapkan, maka tidak akan ada lagi keberlimpahan produk di dalam negri sendiri. Otomatis, produksi dari petani kita akan menguasai pasar di dalam negri sendiri. Jauh lebih luas lagi kondisi petani tidak akan mengalami kerugian dan kesengsaraan. Mengingat kayanya sumber daya alam yang dimiliki Indonesia, seharusnya kondisi petani kita bisa makmur bukan malah sengasara dan selalu menjadi sektor yang dimarginalkan. Jika kita terus terlena dengan sistem liberalisasi maka yang ada hanyalah kerugian yang diperoleh oleh sektor pokok.
Berikan Hak Penentuan Nasib Sendiri Bagi Bangsa Papua
Hak menentukan nasib sendiri (the right of self-determination) rakyat Papua Barat, tidak dapat dikatakan mengurangi kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), karena secara historis Papua Barat bukan merupakan bagian dari NKRI. Wilayah-wilayah yang menjadi bagian dari NKRI adalah wilayah yang dulunya merupakan jajahan dari Pemerintahan Hindia Belanda dengan cakupan wilayah dari sabang sampai Amboina Sedangkan Papua Barat tidak termasuk daerah jajahan Pemerintahan Hindia Belainda, melainkan merupakan daerah jajahan Nederland Nieuw guinea.
Hak menentukan nasib sendiri (the right of self-determination) rakyat Papua Barat, juga tidak bertentangan dengan hukum internasional. Karena hak untuk menentukan nasib sendiri merupakan hak fundamental yang dimiliki oleh setiap Negara di dunia. Selain itu hak ini dicantumkan sebagai Pasal pertama oleh masyarakat internasional dalam dua instrument utama hak asasi manusia (Perjanjian Internasional mengenai Hak-hak Sipil dan Politik dan Perjanjian
Internasional mengenai Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya). Pasal 1 ayat 1 Perjanjian Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik menyatakan bahwa semua bangsa berhak untuk menentukan nasib sendiri. Berdasarkan hak tersebut mereka bebas untuk menentukan status politik mereka dan bebas untuk mengejar kemajuan ekonomi, sosial dan budaya mereka.
Perjanjian Internasional mengenai Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya juga mengatur
hal yang sama Pasal 1 ayat 1 perjanjian internasional tersebut menyatakan bahwa semua bangsa berhak untuk menentukan nasib sendiri. Berdasarkan hak tersebut mereka bebas untuk menentukan status politik mereka dan bebas untuk mengejar kemajuan ekonomi, sosial dan budaya mereka.Selain itu, di dalam Piagam PBB khususnya Pasal 1 ayat 2 juga mengatur tentang hak rakyat untuk menentukan nasib sendiri. PBB juga mengeluarkan berbagai resolusi diantaranya Resolusi Majelis Umum PBB nomor 1514 pada tanggal 14 Desember tahun 1960 atau yang lebih dikenal dengan judul Declaration on the Granting of the Independence to Colonial Countries and People, deklarasi ini sebagai interpretasi dari Piagam PBB dan pengimplementasian hak penentuan
nasib sendiri sebagai dasar perjuangan suatu bangsa, selanjutnya Majelis Umum PBB juga mengeluarkan Resolusi Nomor 1541 tentang penentuan nasib sendiri pada tahun 1960, resolusi tersebut mencantumkan alternatif pilihan bagi wilayah yang belum berpemerintahan sendiri untuk menentukan status politik sendiri.
Segera Tarik Militer Dari Tanah Papua
Sebagai implementasi dari komando ini Soeharto di perintahkan untuk memimpin operasi (Militer) Mandala, dan beberapa operasi militer sebelum Pepera, seperti operasi Jayawijaya (1961-1962), operasi Wisnumurti (1963-1965), operasi Sedar (1956), operasi Bharatyudha (1966-1967), operasi Wibawa (1967), operasi khusus pemenangan Pepera (1961-1969), operasi Tumpas (1967-1970)yang dilaksanakan sebelum penentuan pendapat rakyat (Pepera1969) da nada juga operasi militer sesudah pepera, seperti operasi Pamungkas (1971-1977), operasi Koteka (1977-1978), operasi Senyum (1979-1980), operasi Gagak I (1985-1986), operasi Gagak II (1986), operasi Kasuari I (1987-1988), operasi Kasuari II (1988-1989), operasi Rajawali I (1989-1999), operasi Rajawali II (1990-1995) Selain berbagai pelanggaran HAM di masa lampau termasuk hak politik rakyat bangsa Papua Barat higga kini pun masi terjadi berbagai pelanggaran HAM.
Pemerintahan rezim Jokowi-JK yang menjanjikan untuk menyelesaikan berbagai persoalan HAM di masa kini dan masa lampau sampai saat ini pun belum perna diselesaikan. Sudah ada empat dugaan kasus pelanggaran HAM di Papua yang diantaranya kasus Abe berdarah (2006), Wasior Berdarah (2003), Wamena Berdarah (2003) dan Paniai Berdarah (2014) yang sudah pada tahapan penyelidikan komnas HAM namun, sampai dengan saat ini belum perna dituntaskan dan terus berlanjut dalam bentuk pelanggaran HAM berskala kecil dalam berbagai bentuk seperti penculikan aktivis, perampasan lahan masyarakat adat, dan pembungkaman ruang-ruang demokrasi serta tindakan-tindakan represif oleh aparat militer.
Segera Membuka Akses Jurnalis Lokal, Nasional Dan Internasional Untuk Melakukan Peliputan Di Tanah Papua
Selama pemerintahan Orde Baru di bawah Presiden Suharto (1965-1998), visa untuk
wartawan asing secara khusus memberi pengecualian akses mereka untuk mendatangi
luar wilayah dari negara seperti Timor Timur, Papua dan Aceh. 31 Akses menuju daerah-daerah itu mensyaratkan Surat Jalan dari pejabat tinggi pemerintah atau Kementerian. Sampai dengan pernyataan Presiden Jokowi pada Mei 2015, pemerintah Indonesia mensyaratkan agar para wartawan asing yang bertugas di Indonesia dan ingin meliput ke Papua, melewati sebuah proses seperti labirin clearing house yang diatur oleh Kementerian Luar Negeri.
Clearing house merupakan komite lintas bidang dari 18 unit kerja dari 12 kementerian, termasuk perwakilan dari lembaga dan kementerian seperti Polri, BIN, dan BAIS. Keamanan nasional menjadi motivasi dan bahwa Papua hanya salah satu dari sejumlah daerah konflik yang harus melewati proses di clearing house pada beberapa dasawarsa terakhir. Proses pengajuan izin di clearing house mengharuskan wartawan yang ingin pergi ke Papua untuk memberikan penjelasan sangat rinci perihal rencana liputan mereka, sesuatu yang disebut mantan wartawan Australia Sian Powell sebagai “dihitung untuk menjadikannya sulit bagi wartawan asing. Sehingga, mengakibatkan keterbatasan akses jurnalisme di Papua ini mengakibatkan keterbatatasan informasi terkait kondisi objektif Papua.
Ditengah-tengah permasalahan ekonomi dan politik hari ini yang semakin tidak memihak terhadap rakyat dengan di sokong oleh data – data yang dipaparkan diatas semakin mendukung kondisi ekonomi – politik Indonesia makin tidak memihak. Pelanggaran HAM yang terjadi di tanah Indonesia saat ini tidak lain dan tidak lepas dari adanya sebuah kepentingan yang ingin dicapai oleh segelintir orang saja. Pelanggaran – pelanggaran yang masih banyak belum dituntaskan ini menggambarkan adanya sbeuah ketidakseriusan dalam aspek penyidikan yang dilakukan oleh pihak berwenang. Komnas HAM dalam Jurnal HAM 2016 mengatakan bahwa hambatan dalam penyidikan salah satu faktor yang menghambat adalah adanya interrvensi dari pihak tertentu akan sebuah pencarian informasi data mengenai Pelanggaran yang telah terjadi.
Sehingga ini menjadi pengaruh yang signifikan pula dalam penegakan hukum dan HAM di masa saat ini, karena peran dari lembaga yang berwenang ataupun Komnas HAM sebagai wakil negara dalam penegakkan HAM sendiri tidak melakukannya dengan baik berdasarkan salah satu faktor yang cukup besar pengaruhnya adalah keterlibatan intervensi kepentingan oleh pihak – pihak tertentu. Kami yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Malang Bersatu mengutuk segala bentuk ketidak-adilan dan mendesak kepada seluruh elemen gerakan rakyat untuk menghimpun kekuatan dan menggalang persatuan perlawanan gerakan rakyat.
Dengan demikian kami Aliansi Mahasiswa Malang Bersatu memperingati Momentum Hari Hak Asasi Manusia dengan melakukan Aksi Longmarch dan Mimbar bebas dengan tujuan untuk mempropagandakan dan menyuarakan kepada masyarakat luas akan ketimpangan dan problematika HAM yang terjadi serta menghimpun kekuatan massa luas untuk mengajak dan menyatakan sikap dengan menuntut :
“ Usut Tuntas Dan Adili Segala Bentuk Pelanggaran HAM “
- Tegakkan kebebasan berserikat, berkumpul dan berpendapat di muka umum kepada rakyat.
- Hentikan segala bentuk represifitas dan menindak dengan tegas Ormas yang melakukan persekusi pada rakyat.
- Hapus dan tuntaskan segala bentuk kekerasan dan diskriminasi pada perempuan
- Wujudkan pendidikan yang gratis dan ilmiah untuk rakyat
- Tegakkan HAM pada kelompok minoritas difabel
- Berikan kebebasan Pers
- Tolak keterlibatan militer diranah sipil
- Hentikan perampasan tanah dan penggusuran
- Tolak perampasan tanah adat terutama di Maluku
- Stabilkan harga Kopra di Maluku Utara
- Berikan hak menentukan nasib sendiri
- Tarik militer dari wilayah Papua
- Buka akses jurnalis lokal, nasional dan internasional di Tanah Papua.
- Tangkap dan adili pelaku pelanggaran HAM di tanah Papua tahun 2014
- Tegakkan kebebasan berpendapat dan perlakuan non diskriminatif kepada AMP
Unsur-unsur organisasi yang terlibat dalam Aliansi Mahasiswa Malang Bersatu : IMM Aufklarung Teknik UMM, IMM Fastcho FEB, IMM Renaissance Fisip UMM, IMM Supremasi Hukum UMM, BEM-FT UMM, SMART, Sanggar Teater MALAKA, PEMBEBASAN, AMP
[1] Ada dugaan kuat bahwa pembubaran aksi kamisan ini ada kaitanya dengan isu yang di bawa oleh massa aksi kamisan kala itu. Misalnya, aksi kamisan di surabaya membawa isu tentang penuntasan pelanggaran HAM tahun 65 dan juga pelanggaran HAM berat di papua. Sedangkan di malang sendiri juga membawa isu yang hampir sama yaitu “hentikan hoax 65”. Padahal jika di analisis, aksi kamisan di dua tempat berbeda ini pure hanya konsen pada “human rights abuse” dan tak ada kepentinganya dengan politik atau pun ideologi tertentu. Pembubaran ini jelas adalah sebuah paranoia tak berdasar dan berlebihan. Selebihnya dapat di baca di https://bit.ly/2PVHFTu
[2] https://news.un.org/en/audio/2018/12/1027941)
[3] 1. Pada pukul 10.14 terjadi penahanan 8 orang yang berorasi didepan merpati kemudian di bawa ke polsek Abepura 2. Pada pukul 10.30 terjadi penangkapan kloter ke 2 berjumlah 22 orang. Masa bergegas dari asrama Tunas Harapan menuju arah Abe dalam perjalanan masa membawa bendera bintang kejora dan sambil menyanyi lagu-lagu rohani kemudian masa di tahan tepat di depan lapangan trikora oleh brimob. 3. Pada pukul 09.40 terjadi penahanan kloter ke 3 yang berjumlah 8 orang di pangkalan ojek jalan Sulawesi dok 9 kali yang mana masa sedang orasi dan akan menuju ke kantor MRP.4. Penangkapan yang ke 4 yaitu penangkapan terhadap 6 orang yang saat itu mengambil gambar menggunakan ponsel di dekat area polsek Abepura tepat pada pukul 10.50 kemudian mereka di ambil masuk ke Polsek dan bergabung dengan kloter ke 2.5. Pada pukul 10.50 kloter pertama di bawa dari polsek Abepura ke kantor Mapolresta Jayapura kota6. Pada pukul 11.30 pemeriksaan identitas kloter pertama.7. Pada pukul sekitar 12.30 masa yg telah tergabung kloter ketiga dan keempat yg keseluruhannya berjumlah 28 orang kemudian di pindahkan dari polsek Abepura ke Mapolresta Jayapura kota.8. Pemeriksaan 8 orang dari kloter pertama di lakukan pada pukul 16.00 hingga 20.30 kemudian di pulangkan.9. Pemeriksaan 6 orang yang adalah perwakilan 3 orang dari kloter ke 2 dan 3 orang dari kloter ke 3 dilakukan pukul 22.15 WP hingga pukul 01.10 WP, setelah itu surat pengembalian orang diserahkan kepada penguasa hukum yang mendampingi.10. Pukul 01.45 di keluarkan dan dikumpulkan di lapangan apel kantor Mapolresta untuk pengembalian handphone-handphone dan kunci motor namun ada sebuah handphone-handphone dan 2 kunci motor yg masih tertinggal di Polsek Abepura.11. Pada pukul 02.17 naik ke atas truk milik polisi dan mini bus polisi yang kemudian dipulangkan kembali ke Abepura dan dok 9.12. Pada pukul 02.19 truk polisi meninggalkan halaman kantor Mapolresta Jayapura kota
[10] http://mappifhui.org/2017/12/12/hentikan-kekerasan-terhadap-perempuan-dan-difabel-wujudkan-kesetaraan-hukum-bagi-difabel-sahkan-rpp-disabilitas/
[11] https://news.detik.com/berita/d-3763391/mappi-fhui-pelaku-kekerasan-seksual-ke-difabel-mayoritas-orang-dekat
[12] https://www.solider.id/baca/712-sigab-solider-gelar-diskusi-komunitas-menyoal-kekerasan-terhadap-perempuan-difabel
[13] Berita berasal dari kompas. Bisa di akses pada https://bit.ly/2Auf2aL
[14] Lebih lanjut dapat di baca di https://bit.ly/2CH4VAU
[15] Bisa di akses di https://rsf.org/en/ranking