Upah Rendah Masih Jadi Ancaman Jurnalis Indonesia

Buruh Media bersama buruh manufaktur satu barisan di May Day 2016 (Foto: AJI)

Jakarta – Upah kerja yang rendah, gaji yang telat dibayar, dan kekerasan fisik menjadi tiga ancaman terbesar bagi para jurnalis di Indonesia.

Hal ini terungkap dalam laporan perdana mengenai kebebasan media di Asia Tenggara 2018 bertajuk “Underneath the Autocrats” yang digagas oleh International Federation of Journalists dan Serikat Jurnalis Asia Tenggara (South East Journalist Unions/SEAJU), afiliasi regional IFJ. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia adalah anggota dari IFJ.

Bacaan Lainnya

Laporan ini mengupas mengenai impunitas, keamanan jurnalis, dan kondisi kerja jurnalis di Asia Tenggara. Riset ini didukung oleh United Nations Organization for Education, Science and Culture (UNESCO). Ancaman terbesar yang dijumpai di Indonesia, yakni upah yang rendah dan kondisi bekerja juga menjadi persoalan yang sama di level Asia Tenggara. Di level regional, ancaman tertinggi berikutnya adalah penyensoran dan penyerangan.

Di tingkat Asia Tenggara, riset ini melibatkan hampir 1.000 jurnalis dan pekerja media dari 7 negara, yaitu Indonesia, Kamboja, Filipina, Malaysia, Thailand, Myanmar, dan Timor Leste. Sebanyak 81% dari total responden menyebutkan situasi media di negara mereka tidak mengalami perbaikan dan justru memburuk.

Temuan riset ini menunjukkan ancaman bagi jurnalis juga berasal dari perusahaan media sendiri. Gaji yang rendah dan tidak dibayar dengan teratur dapat mempengaruhi jurnalis untuk bekerja dengan profesional. Selain itu, jurnalis yang tidak menerima upah layak juga berpotensi menerima sogokan yang dapat mencederai kode etik jurnalistik.

Salah satu contoh mengenai upah ini dijumpai di Jakarta. Hasil survei Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta menunjukkan bahwa terdapat 10 media yang menggaji jurnalis di bawah upah minimum provinsi Jakarta. Selain itu, upah riil jurnalis juga masih jauh di bawah standar upah layak AJI Jakarta yang dipatok sebesar Rp 8,42 juta.

Selain upah yang rendah, jurnalis juga dibayangi oleh kekerasan fisik. Data AJI Indonesia menunjukkan setidaknya terdapat 64 kasus kekerasan terhadap jurnalis yang terjadi pada sepanjang tahun 2018. Peristiwa yang dikategorikan sebagai kekerasan itu meliputi pengusiran, kekerasan fisik, hingga pemidanaan terkait karya jurnalistik. Jumlah ini lebih banyak dari tahun 2017 sebanyak 60 kasus dan masih tergolong di atas rata-rata. Kekerasan terhadap jurnalis paling banyak terjadi pada tahun 2016 sebanyak 81 kasus dan paling rendah 39 kasus pada tahun 2009 lalu.

Plt Direktur IFJ Asia Pasifik Jane Worthington mengatakan SEAJU memiliki komitmen bersama terhadap kebebasan media dan advokasi serta menjamin independensi media dan keamanan bagi jurnalis juga pekerja media saat mereka bekerja.

“Riset ini diharapkan dapat menjadi alat advokasi yang mendesak pemerintah dan perusahaan media dalam upaya melindungi jurnalis. Selain itu, laporan ini juga dapat digunakan oleh beragam pihak, termasuk organisasi sipil untuk ikut ambil bagian dalam upaya meningkatkan keamanan bagi pekerja media dan menjamin kebebasan pers serta kebebasan berekspresi,” ujar Jane.

Sementara itu, Ketua Bidang Advokasi AJI Indonesia Sasmito menambahkan, pada 2018 lalu, AJI mencatat jenis kasus kekerasan baru yang berpotensi menjadi trend mengkhawatirkan di masa mendatang.

Tren baru itu berupa pelacakan dan pembongkaran identitas jurnalis yang menulis berita atau komentar yang tak sesuai aspirasi politik pelaku, lalu menyebarkannya ke media sosial untuk tujuan negatif. AJI mengkategorikannya sebagai doxing, atau persekusi secara online.

Setidaknya ada 3 kasus persekusi online yang menimpa jurnalis kumparan.com dan detik.com. Jurnalis kumparan.com dipersekusi karena tidak menyematkan kata ‘habib’ di depan nama Rizieq Shihab dalam beritanya.

Jurnalis detik.com dipersekusi terkait berita tentang pernyataan juru bicara Persaudaraan Alumni 212 Novel Bamukmin dan saat meliput peristiwa yang disebut “Aksi Bela Tauhid” 2 November 2018.

Jurnalis kumparan.com Kartika Prabarini mendapat ancaman di akun instagramnya setelah medianya menerbitkan liputan khusus berjudul ‘Menjinakkan Rizieq’.

“AJI mendesak pihak aparat agar dapat mengidentifikasi jenis kekerasan baru ini. Supaya para pelaku dapat dijerat juga dengan menggunakan UU Pers,” jelas Sasmito.

Selain kasus kekerasan, hal lain yang juga merisaukan bagi kebebasan pers adalah masih adanya pasal-pasal yang bisa mempidanakan jurnalis. Selama ini setidaknya ada dua regulasi utama yang bias mempidanakan jurnalis, yaitu KUHP dan Undang Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang direvisi menjadi UU Nomor 19 Tahun 2016.

Pada tahun lalu, juga ada dua langkah legislasi Pemerintah dan DPR yang cukup merisaukan, yaitu yaitu amandemen Undang-Undang MD3 yang disahkan dalam sidang paripurna DPR 12 Februari 201823 serta revisi Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP).

Unduh laporan lengkap SEAJU melalui tautan ini http://bit.ly/laporan-SEAJU

Jakarta, 3 Februari 2019

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.