Ujaran Makar dan Politik Ketakutan

 

Akhirnya polisi menangkap pelaku pengancam Jokowi. Pemuda yang berseloroh akan memenggal Jokowi itu serta merta ditersangkakan dengan pasal makar. Penyebarluasan kronologis penangkapan pelaku secara terus-menerus, membuat publik mau tak mau mendapatkan bonus ketakutan mengenai apa itu makar dan bagaimana hukuman kepada pelakunya.

Bacaan Lainnya

Sebelumnya, pada tanggal 1 Mei bertepatan dengan May Day, polisi melakukan penangkapan kepada kurang lebih 600 peserta aksi dari kelompok anarko sindikalis. Mereka dituduh sebagai penyusup, membuat onar dan pelaku pengerusakan. Tak hanya ditangkap, selanjutnya anak-anak muda ini dilecehkan dengan teriakan verbal, ditelanjangi dan digunduli.

Di era dimana setiap kejadian bisa direkam, didokumentasikan dan disebarluaskan, maka dua kejadian diatas meskipun beda sebab dan latar belakang, tetap dapat mencapai keuntungan bagi kelas penguasa. Yaitu memposisikan pembangkang sebagai kejahatan tanpa ampun sekaligus kekonyolan. Secara teori ini menggambarkan sebuah maksud.

Menurut Foucault, filsuf asal Perancis, penyiksaan dan upaya mempermalukan pembangkang, yang dilakukan di depan publik merupakan forum teatrikal demi melayani sejumlah maksud. Dampak utamanya yaitu adanya kontrol kesadaran sehingga memudahkan fungsi kekuasaan. Tujuannya untuk menciptakan tubuh warga negara yang tenang dan mudah dikelola. Sebuah kondisi ideal bagi ekonomi dan politik penguasa.

Focault juga menyinggung apa yang disebut sebagai panopticon. Ini adalah perwujudan puncak dari institusi pendisiplinan modern. Modifikasi panoptic beroperasi manakala kriminalitas sosial mulai mengancam kekuasaan dan tak lagi bisa ditoleransi atau berpotensi menciptakan kelompok-kelompok baru pelanggaran.

Semisal menjelang tanggal 22 Mei, tanggal pengumuman hasil pemilu, aparat perlu menciptakan desain pelanggaran hukum sekaligus penanggulangannya. Ini berfungsi untuk menciptakkan masyarakat yang tunduk dan sekaligus bersikap “tertib”. Beberapa contoh kejahatan politik baru-baru ini antara lain dilambangkan dalam tuduhan makar, ucapan revolusi, terorisme dan demo anarkhis.

Desain panoptic menemukan relevansinya sebagai alat pengawasan kepada masyarakat modern yang sesungguhnya makin individualis namun masih saling terhubung. Ia berfungsi sebagai alat koordinasi sekaligus normalisasi terhadap keadaan. Desain ini juga mencakup penayangan kepada publik metode penghukuman terutama dengan cara merendahkan dan membuat pelanggar terlihat sebagai sosok yang sia-sia belaka. Media massa dan media sosial bertindak sebagai kepanjangan tangan dalam mengawasi masyarakat. Hingga pada akhirnya kenyataan dibangun berdasar konsensus umum dalam kontrol penguasa, bukan berdasarkan pemikiran atau pengkajian kritis.

Sejarah panopticon sendiri merujuk kepada desain penjara yang dirancang oleh filsuf dan teoritisi sosial asal Inggris, Jeremy Bentham, tahun 1785. Rancangan penjara berbentuk lingkaran ini menempatkan hanya sedikit pengawas di pusat. Namun, sel diterangi lampu sehingga pengawas bisa melihat tahanan dengan gamblang. Sebaliknya, satu-satunya pos penjagaan tidak terang sehingga para tahanan tidak tahu penjaga tengah mengawasi siapa.

Desain panopticon adalah penjara yang memungkinkan pengawas memantau dan mengawasi (opticon), semua (pan) tahanan, tanpa tahanan mengetahui apakah mereka sedang diamati. Ini akan menciptakan efek psikologis bahwa di waktu yang sama tahanan tetap memiliki perasaan diamati dan diawasi. Panopticon oleh Bentham dikatakan sebagai model penjara yang lebih murah dibanding penjara lainnya. Karena hanya membutuhkan sedikit staf untuk mengawasi banyak tahanan.

Pada perkembangannya nanti, panopticon bukan lagi mengenai desain arsitektur penjara. Panopticon menjadi model pengawasan dan pendisiplinan masyarakat sebagaimana diajukan oleh Michel Foucault pada bukunya The Birth of the Prison (1997). Menurut filsuf Perancis tersebut, akhirnya penjara digambarkan sebagai satu bagian dari jejaring yang sangat besar berupa masyarakat panoptic bagi anggota-anggotanya. Warga negara saat ini seolah-olah menjadi tahanan bagi kekuasaan negara. Negara membuat pengkondisian tentang pengendalian kesadaran yang dikuasai, warganya. Sistem ini bahkan beroperasi melalui otoritas ilmiah, kedokteran, psikologi, pakar komunikasi dan kriminologi pro penguasa.

Selain desain panopticon, narsisme kelompok adalah fenomena politik lain yang tengah terjadi belakangan ini. Kelompok pro Jokowi dan kelompok pro Prabowo, keduanya merupakan kelompok yang memiliki ciri narsisme. Narsisme kelompok memiliki fungsi memperkuat solidaritas dan keterpaduan kelompok. Sebagai unsur yang memberikan kepuasan bagi para anggota kelompok, terutama bagi mereka yang tidak memiliki alasan untuk bangga dan berharga pada diri sendiri.

Pada kelompok pro Jokowi misalnya, sekalipun anggota kelompok itu adalah yang paling sengsara, paling miskin, paling melarat dan tidak dihormati dalam sistem sosial, mereka bisa mengkompensasinya dengan merasa bahagia menjadi bagian dari kelompok yang hebat dan berkuasa. Memupuk narsisme merupakan metode yang tidak mahal bagi penguasa. Sangat tidak mahal dari segi anggaran, semisal dibanding tanggung jawab harus menaikkan standar hidup masyarakat.

Hanya perlu membayar para pakar politik yang akan merumuskan slogan-slogan untuk membangkitkan narsisme. Bahkan banyak fungsionalis sosial seperti guru, wartawan, profesor, agamawan dan ahli hukum yang akan berpartisipasi tanpa pamrih untuk melakukan itu. Sebuah kerja bakti demi memupuk kebanggaan, peningkatan gengsi sosial dan kepopuleran.

Sedangkan pada kelompok Prabowo, yang memilih bertalian erat dengan skema sektarian agamis, mereka terus melempar isu sifat buruk, licik, brutal, buas dan tidak manusiawi pada kelompok pro Jokowi. Mereka melancarkan serangan moral kepada lawannya. Pada titik ini agama tidak lagi menjadi jalan keluar dari kenestapaan dan kehampaan, semenjak kepentingan akhirat dipakai untuk tujuan politis dan oportunis.

Ketakutan panopticon dan penyakit narsisme kelompok secara esensial jelas tak sesuai dengan ciri gerakan buruh. Tak ada yang bisa menghentikan kritik dan perjuangan karena sindrom panopticon. Merasa ragu, takut diawasi, kuatir ditangkap dan dibuat sia-sia hidupnya bukanlah ciri kelas pekerja. Serikat pekerja hidup dalam doktrin tentang solidaritas dan kesatuan massa rakyat.

Maka ucapkan selamat tinggal pada para mantan aktivis yang kini lebih memilih menjadi bagian dari salah satu kelompok narsis. Karena kelompok narsis cum oportunis selalu bertentangan dengan perjuangan sosial, demokrasi dan emansipasi. Secara historis, mereka hanya akan mengecilkan dan memundurkan perjuangan rakyat.

*****

Penulis: Ratna Manggali

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.