Buruh.co, Jakarta – Hari buruh 2018 diwarnai dengan para pelaut yang turun berunjukrasa di jalanan. Mereka mendesak kepastian upah melalui penetapan standar pengupahan nasional.
Sekitar 150 pelaut turun dalam aksi May Day bersama Gerakan Buruh untuk Rakyat di Jakarta. PPI juga melakukan aksi serupa di Batam, Surabaya, dan Makasar.
Serikat Pekerja Pergerakan Pelaut Indonesia (PPI) di hari buruh sedunia “May Day” 2018 meminta agar pemerintah melalui kementerian ketenagakerjaan dan kementerian perhubungan dapat berkoordinasi bersama-sama dengan Asosiasi Pengusaha Pelayaran dan Serikat Pekerja Pelaut dan PPI untuk segera menerbitkan regulasi tentang standar pengupahan untuk pelaut Indonesia yang bekerja di kapal-kapal dalam negeri dengan upah sektoral nasional.
Ketua Advokasi, Hukum dan Hak Asasi Manusia PPI, Imam Syafi’i menilai bahwa ketentuan Pasal 22 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2000 tentang Kepelautan belum mencerminkan keadilan bagi pelaut sebagai pekerja di sektor usaha atau pekerjaan tertentu, yang semestinya dapat ditetapkan dengan upah sektoral nasional, mengingat pekerjaan di kapal (laut) berbeda dengan pekerjaan pada umumnya (darat).
Pasal tersebut hanya mewajibkan pengusaha untuk membayar pelaut berdasarkan upah minimum provinsi. Padahal, sesuai penjelasan pasal 77 UU Ketenagakerjaan 13/2003 bahawa pekerjaan di kapal (laut) adalah pekerja pada sektor usaha atau pekerjaan tertentu.
Selain itu, ada banyak persyaratan untuk memenuhi kriteria sebagai pelaut yang membutuhkan biaya banyak. Pelaut diwajibkan memiliki Certificate Of Competency (COC) /sertifikat keahlian dan Certicate Of Proficiency (COP)/ sertifikat keterampilan yang diterbitkan oleh Kementerian Perhubungan berdasarkan ketetapan Internasional Maritime Organization (IMO) tentang Standards of Training, Certifitation and Watchkeeping (SCTW) Amandemen Manila 2010, yang memerlukan biaya tidak sedikit dan waktu pengambilan yang tidak sebentar di badan-badan pendidikan kepelautan di bawah Kementerian Perhubungan.”Untuk ambil class V (jabatan terendah ke-2.red) saja dibutuhkan biaya sekitar 10 juta belum termasuk biaya hidup dan harus duduk diklat selama 4 bulan,” imbuh Imam.
Ia menilai ada kesenjangan antara pendidikan menjadi pelaut dan upah yang diterima. “Sangatlah tidak adil jika ketentuan upah pelaut mengacu kepada PP No. 78/2015 tentang Pengupahan, yang notabene saat ini buruh darat pun melalui serikat-serikatnya sedang berjuang untuk penghapusan PP tersebut, yang dianggap tidak berpihak terhadap buruh,” tegasnya.
Selain soal upah, PPI juga mendapati banyak hak-hak pelaut tidak dipenuhi. Dalam setahun terakhir, lanjut Imam, PPI telah mengadvokasi sekitar 250 kasus-kasus pelaut dalam negeri. Mayoritas kasusnya mengenai perselisihan Hak dan PHK sepihak. “250 kasus tersebut, 70 % dapat kami selesaikan melalui perundingan bipartit dan tripartit di Disnaker setempat. Sisanya masih dalam proses mediasi dan ada beberapa yang sedang dalam proses pencatatan di PHI,” ungkapnya.
Persoalan lain yang terjadi di sektor pelaut adalah soal kepastian kerja. Saat ini, pengusaha dapat mem-PHK pelaut kapan saja bahkan tanpa pemberitahuan terlebih dahulu. Pengusaha dapat menggunakan alasan “tidak cakap, berkelakuan buruk” sebagaimana diatur dalam Perjanjian Kerja Laut. PKL merupakan aturan yang menjadi turunan dari Kitab Undang Hukum Dagang (KUHD).
Padahal, secara gamblang, ketentuan ketenagakerjaan di bidang pelayaran dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan. Ini sesuai dengan Pasal 337 UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran.
(Reporter: Tim Pergerakan Pelaut Indonesia)
1 Komentar