Rapor merah masih menjadi penilaian atas pemenuhan hak asasi manusia oleh negara. Dalam berbagai keadaan, baik yang tertuang dalam kebijakan maupun tindakan lain, negara senantiasa menciderai hak-hak demokratis rakyat. Menerbitkan banyak kebijakan yang mengabaikan kerja reproduksi perempuan. Bagi kami, tidak ada pemajuan hak asasi manusia tanpa penghapusan diskriminasi berbasis gender.
Diawali dengan pandemic Covid-19 yang merebak di negeri ini Maret 2020, sejumlah kebijakan yang dikeluarkan sangat jauh dari perlindungan terhadap buruh terlebih buruh perempuan. Sebut saja 3 paket kebijakan penting yang dikeluarkan Menteri Ketenagakerjaan dalam menyikapi kondisi pandemi Covid-19. Surat Edaran yang mengijinkan perusahaan mengurangi upah pekerja, kebijakan terkait penundaan pembayaran THR, dan terakhir himbauan kepada kepala daerah untuk tidak menaikkan upah minimum tahun 2021.
Tak perlu analisa panjang, ketiga paket kebijakan secara gamblang menunjukkan siapa yang paling diuntungkan dari adanya kebijakan itu. Tentu bukan untuk kami, kaum buruh.
Belum habis rakyat dihadapkan pada kesulitan pandemi, Dewan Perwakilan Rakyat yang terhormat secara “sembunyi-sembunyi” mensahkan UU Cipta Kerja. Berdasarkan analisa Departemen Perempuan KPBI, UU Cipta Kerja berwatak patriarkis yang dirancang untuk menundukkan buruh terutama buruh perempuan sebagai kelompok yang tak punya kuasa. UU ini merugikan perempuan secara sistematis.
UU Cipta Kerja semakin mempersulit buruh perempuan memperoleh jaminan kepastian kerja. UU Cipta Kerja telah mengurangi jaminan perlindungan yang sudah ada di dalam UU Ketenagakerjaan. Sistem kontrak seumur hidup dan sistem outsourcing yang bisa diterapkan pada semua jenis pekerjaan. Pengurangan ha katas upah dan pesangon, termasuk juga sistem pengupahan yang ditetapkan berdasarkan satuan waktu.
Model hubungan kerja ini merisikokan perempuan pekerja kehilangan hak-hak sebagai pekerja, termasuk cuti dan tunjangan lainnya terkait fungsi reproduksinya. Sistem pengupahan berdasarkan satuan waktu berpotensi menghilangkan hak pekerja perempuan atas cuti haid, hamil, melahirkan, pasca keguguran. Sebab dengan sistem pengupahan berdasarkan satuan waktu, aspek-aspek reproduksi buruh perempuan terancam tidak ditanggung dalam upah.
Persoalan berat lain yang harus ditanggung buruh berkaitan dengan diskriminasi dan kekerasan berbasis gender. Dari catatan Komnas Perempuan saja menyebutkan dalam rentang 2017-2019 menerima 135 pengaduan kasus dari perempuan pekerja di sektor formal maupun informal. Pengaduan tersebut mencakup kasus terkait kekerasan seksual, eksploitasi tenaga kerja, diskriminasi kebijakan pengupahan dan pajak, pelanggaran hak atas kesehatan dan keselamatan kerja (K3) termasuk di dalamnya hak atas kesehatan reproduksi, PHK sepihak, pelanggaran hak untuk berserikat dan berkumpul, serta laporan sengketa perburuhan lainnya. Sementara, disisi lain RUU tentang PRT dan RUU PKS yang diharapkan memberikan perlindungan bagi buruh perempuan justru tertunda-tunda pembahasannya.
Tak selesai sampai disitu, gelombang protes dan penolakan atas terbitnya kebijakan yang tak berpihak pada rakyat justru dihadapi dengan tindakan represif dari aparatur negara. Tulis saja aksi 6-8 Oktober 2020, ribuan rakyat yang menggelar aksi demonstrasi diberbagai daerah diserang dengan gas air mata, penghadangan, pemukulan, penyiksaan, dan ditangkap paksa. Menggiring opini publik dengan pemalsuan fakta-fakta tentang narasi anarkisme.
Pelanggaran HAM dengan jalan kekerasan ini bukan hal baru. Sejarah bangsa Indonesia dipenuhi dengan darah jutaan rakyat yang turut menghabisi gerakan perempuan. Mulai dari pembantaian 1965 yang disertai perkosaan dan kekerasan pada aktivis perempuan, pembunuhan dan perkosaan Marsinah, pembunuhan dan penculikan aktivis 1998, pembunuhan Munir, dan masih banyak lagi.
Ketiadaan penegakan HAM masa lalu, memberi jalan bagi impunitas bagi pelaku yang berlindung di balik kekuasaan, serta memberi karpet merah bagi pelanggaran HAM di masa kini hingga masa mendatang. Jalan kelam itu hanya bisa dilalui dengan obor perlawanan yang tidak pernah meredup, apalagi padam. Kami, kaum buruh perempuan adalah salah satu obor itu, yang akan terus berkobar tanpa mau redup.
Sekali lagi, negara hari ini telah gagal menjalankan tugasnya dalam pemenuhan hak asasi manusia. Dalam hal ini legitimasi dari kepentingan kelas pemilik modal. Sampai disini tentu kita menyadari negara tak akan berpihak pada kepentingan buruh, buruh perempuan, dan rakyat pekerja yang lain. Jika demikian, menyerahkan nasib kita dan pemenuhan hak asasi manusia pada negara yang hari ini berkuasa, tidak akan membawa pada kenyataan yang lebih baik. Buruh, perempuan, dan rakyat pekerja yang lain harus membangun kekuatannya sendiri, mengerahkan upayanya untuk perjuangan hak-hak demokratis rakyat.
Maka, bertepatan dengan Hari HAM (Hak Asasi Manusia), kami dari Perempuan KPBI menyatakan sikap :
1. Cabut UU Cilaka
2. Sahkan RUU PRT
3. Stop kekerasan seksual, sahkan RUU PKS
4. Berikan cuti hamil, melahirkan, cuti haid tanpa syarat
5. Usut tuntas pelanggaran HAM masa lalu
Rilis ini diterbitkan oleh Departemen Perempuan Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia, 10 Desember 2020