Siaran Pers Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia Terkait Tapera, Kamis, 04 Juni 2020
Pemerintah akan segera melaksanakan iuran Tabungan Perumahan Rakyat atau Tapera. Ketentuan ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tapera. Aturan baru ini telah ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo pada 20 Mei lalu. Berdasarkan aturan itu, upah buruh akan dipotong 2,5 persen untuk tabungan perumahan. Buruh melihat Tapera sama sekali tidak tepat buat kelas pekerja.
Pertama, pemenuhan kebutuhan dasar adalah kewajiban negara, tanpa kecuali pemenuhan kebutuhan perumahan. Apa yang bisa kita lihat dari kebijakan Tapera adalah upaya lepas tangan negara atas pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dasar rakyat. Setelah tidak mengambil kewajiban penuh dalam sektor kesehatan, kali ini negara juga menarik diri dari kewajiban pemenuhan perumahan rakyat. Sesuatu yang bahkan tampak tidak seirama dengan pasal 28 H ayat 1 UUD 1945 yang berbunyi, ”Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.” Konstitusi jelas menyebut tempat tinggal sebagai ‘hak’, bukan penyebutan-penyebutan yang lain. Hak tentu saja tidak bisa diputar menjadi kewajiban bayar, seperti yang dimau Tapera.
Upaya melepas tanggungjwab negara dalam memenuhi kebutuhan pendidikan, kesehatan, perumahan dan lain-lain kebutuhan publik, menunjukkan bahwa negara tidak bekerja untuk kepentingan rakyat. Tapera hadir dalam kerangka menarik dana publik, alih-alih menggunakan sumber daya negara untuk memenuhi kebutuhan publik. Dalam Tapera, peran negara hanya menjadi tukang pungut dana dari rakyat, otoritas pengelola dan menjadikan dana publik demi tujuan-tujuan berorientasi profit, sebagaimana logika korporasi bekerja. Kewajiban negara akan pemenuhan perumahan justru dibebankan ke pundak kelas pekerja. Dalam konteks bisnis sekalipun ini tidak terlihat masuk akal, dimana publik yang sebagai penopang utama sumber pendanaan, bahkan tidak memiliki saham atau otoritas apapun atas BP Tapera.
Kedua, pungutan sebesar 2,5 persen dari besaran upah bagi pekerja adalah pukulan terhadap daya beli pekerja. Tambahan pungutan ini akan menggerus nilai upah, lebih-lebih skala kenaikan upah telah lama dipagari oleh Peraturan Pemerintah no 78/2015. Keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tapera di tengah merebaknya pandemi Covid-19, juga menunjukkan ketidakpedulian pemerintah atas kondisi rakyat pada umumnya dan kelas buruh secara khusus. Di saat-saat sulit seperti sekarang ini, sepatutnya negara lebih banyak memberikan uluran tangan terbaiknya untuk memudahkan kehidupan rakyat, bukan uluran tangan untuk menarik lembaran rupiah dari kantong rakyat. Sejauh ini negara terus saja mengintensifkan penarikan dana dari publik, yang hakekatnya adalah melemparkan beban krisis ke punggung rakyat. Dari biaya tarif listrik yang naik, tidak diturunkannya harga BBM, sampai dengan perluasan penerapan pajak. Peraturan Pemerintah terkait Tapera tidak berlebihan bila diartikan sebagai lanjutan dari intensifikasi penarikan dana dari publik untuk mengatasi defisit APBN.
Ketiga, KPBI menolak Tapera karena sudah ada rujukan buruknya tata kelola dana publik oleh badan yang ditunjuk oleh Undang-Undang. Pada bulan Mei yang lalu, Mahkamah Agung (MA) telah membatalkan kenaikan iuran BPJS yang ditetapkan pemerintah. MA menyatakan pemerintah seharusnya tak membebankan masyarakat atas defisit BPJS Kesehatan. MA memandang karena defisit terjadi akibat kesalahan dan kecurangan dalam pengelolaan. Landasan MA itu tercantum dalam Putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor: 7 P/HUM/2020. Apa yang dinyatakan MA ini menunjukkan bahwa pemerintah belum bisa membenahi kinerja yang buruk dari badan yang mengelola dana publik. Penarikan dan pengelolaan dana publik baru seperti Tapera, patut diwaspadai akan mendorong berulangnya praktek pengelolaan yang buruk, merugikan rakyat dan menambah persoalan baru di kemudian hari. Tapera bukannya akan memberikan kebermanfataan dalam jangka panjang bagi rakyat, sebaliknya malah hanya akan menjadi ladang permasalahan baru, sehingga pada ujungnya rakyat akan kembali menjadi objek penderita.
Gunakan Sumber Daya Negara Bangun Perumahan Buruh
Kami tentu menyadari kebutuhan rakyat akan perumahan adalah persoalan penting dan serius. Pada penghujung tahun 2016 lalu, Kementerian Perkerjaan Umum dan Perumahan Rakyat menyebut bahwa kebutuhan perumahan bagi rakyat mencapai 1,2 juta unit per tahun. Sebuah angka yang memang tidak kecil. Lantas bagaimana seharusnya negara menjawab kebutuhan tersebut? Bagi kami ada beberapa langkah yang harus ditempuh.
Pertama, mengembalikan peran negara dalam memenuhi kebutuhan dasar rakyat. Negara tidak boleh lepas tangan, atau mencari jalan lain untuk menghindari kewajiban ini. Negara harus menggunakan semua sumber daya yang dimilikinya, bukan saja untuk membuat rakyat memiliki hunian yang layak, pun demi meningkatkan kesejahteraan dan peningkatan kualitas hidup rakyat secara keseluruhan.
Kedua, membangun kawasan industri yang terintegrasi dengan kebutuhan dasar buruh. Selama ini kawasan industri tidak dibangun untuk sekaligus memenuhi kebutuhan pekerja, seperti hunian dan fasilitas publik lain. Kawasan industri hanya berisi pabrik-pabrik dan bangunan-bangunan bisnis. Ribuan hektar tanah yang ada tidak sedari awal direncanakan untuk dialokasikan sebagian demi pembangunan perumahan buruh. Negara harus mengambil langkah ini. Mewajibkan pembangunan perumahan buruh di kawasan industri. Beban dana pembiayaan ini bisa dikenakan baik kepada pihak swasta atau ditarik dari sumber dana lain semisal BPJS Ketenagakerjaan.
Seperti diketahui, hingga tahun 2019 saja dana BPJS Ketenagakerjaan telah menembus 431,9 triliun rupiah. Pada tahun yang sama juga, hasil investasi BPJS Ketenagakerjaan mencapai 29,2 triliun rupiah. Investasi yang dilakukan menggunakan instrumen utama seperti surat utang yang mencatatkan porsi 61%, kemudian saham 19%, deposito 10% dan reksadana 10%. BPJS Ketenagakerjaan seharusnya mulai mengalihkan invetasi dan menyalurkan keuntungan kepada pemenuhan langsung kebutuhan buruh. Besaran dana yang ada dan keuntungan yang dihasilkan harus mulai dialihkan, satu diantaranya untuk membangun perumahan gratis atau setidaknya sangat murah untuk buruh. Dana juga harus digelontirkan untuk rumah sakit dan fasilitas dasar lainnya. Halangan peraturan yang ada semisal Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Aset Jaminan Sosial Ketenagakerjaan, harus segera diubah.
Bilamana cara-cara ini ditempuh oleh negara, maka akan banyak kemanfaatan yang akan diperoleh kelas pekerja di Indonesia. Pertama, buruh akan mendapatkan kemudahan karena lokasi huniannya terintegrasi dengan tempat kerja. Selain meringankan mobilitas, biaya tempat tinggal, seperti sewa kontrakan atau kosan pun akan terpangkas tajam. Begitu pula dengan ongkos transportasi bagi buruh, mengingat jarak tempuh yang bahkan dimungkinkan dilakukan dengan berjalan kaki antara hunian dan pabrik. Ongkos transportasi otomatis pasti susut secara signifikan. Selama ini biaya sewa tempat tinggal dan transportasi rata-rata memakan alokasi sekitar 30%-35% dari total upah buruh tiap bulan. Artinya bila program ini dijalankan, ada kenaikan upah riel buruh pada kisaran nilai yang kurang lebih sama.
Selain itu, perumahan buruh gratis atau sangat murah dan terintegrasi juga akan menurunkan konsumsi BBM. Negara kerap mengaku subsidi terus menganggu ruang fiskal mereka, dengan perumahan buruh gratis terintegrasi konsumsi BBM secara signifikan akan turun. Kelas pekerja tidak lagi membutuhkan BBM dalam jumlah besar dalam aktivitas berangkat dan pulang kerja. Dampak lanjutannya adalah kemacetan di jam berangkat dan pulang kerja juga akan susut. Bukan saja secara sosial ini akan membantu penurunan tingkat stress masyarakat di jalan, pun menguntungkan untuk penghematan anggaran. Biaya perawatan dan perbaikan jalan bisa dipangkas, hingga kemudian bisa dialihkan untuk kepentingan lain. Selain itu, pengurangan konsumsi bahan bakar kendaraan bermotor akan memberikan kabar gembira buat isu lingkungan hidup. Penurunan tingkat polusi dan dampak kerusakan lingkungan akibat eksploitasi tambang minyak dalam tingkat global akan berangsur-angsur menurun.
Atas landasan itu semua, kami memandang pelaksanaan Tapera sama sekali tidak tepat. Tapera bukan solusi bagi peningkatan kualitas hidup kelas pekerja, lebih-lebih di saat pandemi seperti sekarang ini. Rakyat harus mendesakkan tuntutan agar negara tidak membiasakan diri mencari jalan berputar demi menghindari tanggungjwabnya atas pemenuhan kebutuhan dasar publik. Negara tidak boleh terus menerus menggunakan pendekatan bisnis kepada rakyatnya, lebih-lebih bisnis itu disediakan dari uang yang ditarik kepada lapisan pekerja yang selama bertahun-tahun kehidupannya masih jauh dari layak. Solusi bagi kebutuhan perumahan buruh, tidak lain adalah perumahan gratis atau sangat murah, terintegrasi, modern dan ramah lingkungan.