Surat Pendek untuk Bli Jerinx

Jrx -SID

Hallo Bli Jerinx, apa kabar?

Masih ketus dengan Mbak Via? Lanjut bergulat dengan amarah, bila tembang “Sunset Di Tanah Anarki” (SDTK) dibilang kehilangan spirit humanis-nya, sejak orang-orang seperti Mbak Via melakukan pembunuhan terhadap ruh lagu itu, sebagaimana klaim Bli Jerinx? Oleh karenanya kata “fucking whore” tak perlu ditarik dari ujung kecaman ke perempuan bernama Via Vallen. Orang-orang semacam ini yang Bli sebut bernyanyi hanya demi memperkaya diri dan keluarga.

Bacaan Lainnya

Bli Jerinx, perkenalkan.
Mula-mula saya adalah penyuka musik. Saya menikmati The Clash, seperti tembang “London Calling” atau “Washington Bullets”. Pun semasa remaja, saya memamah tiap dentuman bas, sayatan gitar dan gebukan drum, lantas melonjak dan berseluncur kala lagu-lagu Rage Against The Machine (RATM) dimainkan. Saya juga penggemar berat John Lennon, bila sudi Bli bisa membaca essay saya “Cerita Yang Selalu Awet: John Lennon” di laman media buruh yang kelewat sederhana ini.

Sex Pistols, Ramones, Rancid atau NOFX, tak luput saya simak, walau tak terlalu nyaman di telinga. Pendeknya, seperti kebanyakan orang, saya juga tumbuh bersama musik, walau tidak bisa menjadi sehebat Bli Jerinx, lahir dan kemudian besar sebagai musisi kondang, punya integritas dan komitmen sosial. Namun satu hal, dengan segala hormat kepada John Lennon dan Tom Morello, diatas segalanya saya seratus persen penyuka dangdut koplo.

Bli Jerinx, ketika saya mulai jatuh hati ke dangdut koplo, adalah tahun-tahun saat saya masih kerap berlalu lalang di kawasan sabuk proletariat Jawa Timur. Sebutlah Surabaya, Gresik, Sidoarjo dan Pasuruan. Bergumul bersama lapisan terbawah klas pekerja, hidup di kos-kosannya nan sempit dan kumuh itu, musik lantas menjadi hiburan yang murah pun meriah. Persis disana, dangdut koplo menjadi sarapan pagi, santap siang dan kudapan malam diantara letih dan sisa peluh klas buruh. Maaf, tak ada Johnny Rotten dan Sid Vicious disana. Sepasang nama ini malah lebih familiar buat teman-teman klas menengah saya yang berlagak “rebel”, tapi kebanyakan hidup selembek bubur.

Beberapa tahun silam, ketika saya ikut terlibat perjuangan kaum tani di ufuk selatan Kabupaten, kawasan dimana saya dilahirkan, musik juga memainkan andil yang sama. Musik menemani kaum tani dikala meregangkan otot, mencemaskan perampasan tanah atau tak bisa tidur nyenyak diganggu kekhawatiran atas hari depan. Diantara gubuk reot petani-petani hutan, Sodik, Brodin, Ratna Antika atau Eny Sagita akan disimak dengan kegembiraan. Kenal dengan nama-nama itu? Via Vallen kala itu belum setenar sekarang. Bagi kaum tani di beberapa desa, sebutlah Mukayat atau Mukari, nama-nama biduwan tersebut lebih dikenal dibanding Woody Guthrie atau Bob Dylan.

Bli Jerinx, apa yang mau saya bilang adalah, dangdut koplo, betapapun tidak mewakili selera sebagian liyan, sukar untuk memungkirinya, lapisan terbawah dari klas pekerja banyak yang menggandrunginya. Dangdut koplo menjadi bagian dari etos kebudayaan proletariat dan kaum tani yang saya jumpai. Entah karena dentuman gendangnya yang khas, jeritan “asolole” yang menggoda atau ketidakberaturannya yang unik, musik ini lahir dan tumbuh bersama rakyat kebanyakan. Ada potensi yang tak kecil dari musik ini. Kemampuannya untuk disuka dan disimak berjuta rakyat miskin. Koplo berpotensi menjadi penyambung lidah rakyat, dalam makna berkesenian.

Dan sebagai penggemar dangdut koplo, tentu saya tak bisa buta. Banyak hal yang belum purna dari perkembangan jenis musik ini. Eksploitasi tubuh perempuan, sexisme, pun misoginisme masih bertebaran diantara lirik dan pertunjukan yang digelar. Tetapi ini tentu bukan masalah khas dangdut koplo semata. Eksploitasi tubuh perempuan juga dipertunjukkan di klub-klub malam di Bali diantara eksekutif muda yang mabuk melepas pening akibat jatuhnya nilai rupiah. Lirik-lirik dangkal bukan melulu milik musisi koplo, politisi borjuis tahun-tahun belakangan malah paling getol mengumbar puspa ragam kedangkalan, semua yang buruk bisa Bli dapatkan dari moncong mulut mereka. Dalam pernyataannya Bli sempat bilang,

“Saya hanya inginkan kesadaran. Jika tak paham akan lirik/esensi lagu SID, tolong jangan dirusak. Dan jika paham, lakukanlah dengan kesadaran dan itikad baik; untuk sesama, sejarah, masa depan, serta bumi pertiwi. Terima kasih, JRX,”

Oya, peringkat membaca kita nomor 60 dari 61 negara, Bli berharap semua pelaku seni bisa membuat atau memahami lirik sekuat sajak Wiji Thukul atau bait-bait SDTK? Rasanya Bli dan saya bisa bersepakat untuk satu hal, musik semestinya bisa menjadi sarana pendidikan dan perjuangan rakyat. Persis apa yang Bung bilang ke Mbak Via, “…. untuk gerakan melawan lupa, atau pelurusan sejarah 65, perjuangan Kendeng dll,..”. Bukan cuma cuap-cuap, Bli Jerinx telah mengamalkannya dengan gemilang selama periode aksi tolak reklamasi. Namun tak semua orang, tanpa kecuali pekerja seni, bisa memetik kesadarannya secepat yang kita ingin. Dalam hidup tidak segala yang kita ingin adalah apa yang terjadi, anak punk juga paham.
Patut saya ulang, dangdut koplo akan menjadi palagan berkesenian yang menantang. Ada banyak telinga massa yang bisa direbut disana. Namun itu menuntut syarat. Jika tanpa edukasi serta organisasi, pelaku seni akan berhenti maju hingga ke potensi terbaiknya: menjadi bagian aktif perjuangan rakyat. Sesuatu yang secara eksplisit juga Bli Jerinx cita-citakan. Jadi Bli, boro-boro memaki-makinya, menggandeng dan berkolaborasi dengan Mbak Via bukan ide yang buruk. Menyenangkan bila kedepan kita akan mendapat satu genre musik baru: koplo revolusioner. Disana rakyat akan dibuat bergoyang oleh gebukan drum punk rock berpadu cengkok dangdut, didalam lirik-liriknya berjejal pesan perjuangan massa, keadilan dan HAM. Sambil bergoyang, sambil tambah pintar, “”Asolole! Oi..oi..oi..oi.”

Maka tak waras rasanya menakar orang lain dengan ukuran diri sendiri. Menghilangkan syarat dan prasyarat untuk menagih hasil. Mbak Via bisa jadi salah, tapi besar kemungkinan belum kenal atau paham. Menghardik dan menghakimi orang dalam kondisi seperti itu, mungkin terkesan gagah, tapi bagaimana tujuan bisa tercapai bila sebutan “fucking whore” ditindaskan ke sosok perempuan?! Pelacur, hardikmu. Untuk sebutan terakhir ini, Bli Jerinx mengaku tidak akan menarik pernyataannya. Dan saya akan bilang Bli Jerinx adalah jancuk! Menyerang perempuan dengan label semacam itu adalah tindakan yang menjijikan. Semangat Punk tentang “equality” telah Bli Jerinx perkosa dengan tudingan beraroma misoginis. Mbak Via sudah minta maaf untuk beberapa hal, Bli Jerinx punya hutang maaf untuk satu hal.

Tertanda

Koploista Dari Lereng Arjuna

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.