Judul Buku : Pemikiran Karl Marx, Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme
Penulis : Franz Magnis-Suseno
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tebal Buku : 292 Halaman
Tahun Terbit : 2017
ISBN 978-602-03-3141-6
“Awas, ada hantu komunisme!”, mungkin itulah kalimat yang cocok untuk menggambarkan cara pandang masyarakat mengenai eksistensi pemikiran-pemikiran komunisme di Indonesia atau bahkan di dunia. Karl Marx, seorang filosof, sosiolog, dan ahli ekonomi berkebangsaan Prusia (Jerman) memiliki pengaruh yang besar dalam terbentuknya negara-negara komunis di dunia. Sebut saja seperti Uni Soviet, Republik Rakyat China, dan Kuba.
Marxisme alias sosialisme-ilmiah digunakan sebagai pisau analisis dalam memahami masyarakat dari perspektif sosiologis dan filosofis. Melalui sosialisme-ilmiah, Marx berusaha untuk menjelaskan bahwa dasar pemikiran yang dipakai olehnya bukan berdasar atas pertimbangan-pertimbangan moral, melainkan syarat-syarat obyektif dalam masyarakat.
“Pemikiran marxisme bukan saja sebagai ideologi perjuangan kaum buruh dan komponen inti dalam ideologi komunisme. Pemikiran Marx juga menjadi salah satu rangsangan besar bagi perkembangan sosiologi, ilmu ekonomi, dan filsafat kritis.” Ungkap Franz Magnis Suseno.
Melalui buku ini, Franz Magnis-Suseno mengajak pembaca untuk menyelami pemikiran Marx melalui sudut pandang historis dan filosofis untuk memahami pemikiran Marx yang terkesan susah untuk dipahami. Pembaca tidak harus seorang marxis atau seseorang yang sudah mengenal pemikiran marxisme, dengan penggunaan diksi yang mudah untuk dipahami, buku ini cukup ‘ramah’ untuk dibaca, sekalipun untuk orang yang masih awam mengenai pemikiran marxisme.
Sosialisme Utopis dan Sosialisme Ilmiah
Cita-cita sosialisme dengan inti gagasannya terletak pada kepemilikan bersama, bahwa kekayaan dunia merupakan milik semua sudah dicetuskan sebelum Marx. Kata sosialisme muncul pertama kali di Prancis sekitar tahun 1830, begitu pula komunisme yang menurut Franz merupakan penjelasan untuk aliran sosialis yang lebih radikal.
Secara teoritis, nilai tertinggi dari pemikiran sosialisme adalah persamaan. Sosialisme merupakan kritik atas kondisi perekonomian masyarakat, khususnya penguasaan atas alat produksi yang timpang antara pemilik modal dengan pekerjanya. Cita-cita besar sosialisme adalah penerapan azas kebersamaan dalam kepemilikan alat produksi dan menghilangkan monopoli atas alat produksi.
Tokoh pertama yang mencetuskan ide tersebut adalah Babeuf (1760-1797). Babeuf beserta pengikutnya-lah yang pertama kali menyuarakan tuntutan-tuntutan inti komunisme dengan penghapusan hak miliki pribadi atas alat produksi dan kediktatoran proletariat. Babeuvisme mencita-citakan sebuah “Republik orang-orang setara”. Babeuf merupakan salah satu dari banyak tokoh sosialis yang memelopori pemikiran sosialisme dan komunisme. Selain Babeuf sebut saja Etienne Cabet (1788-1856) yang menulis tentang negara komunis ideal, Blanqui (1805-1881) seorang revolusioner yang progresif dalam upaya penyadaran dan pengorganisiran kaum buruh untuk mencapai revolusi, Proudhon (1809-1865) yang mengimpikan keharmonisan dalam tataran kemasyarakatan sehingga peran negara tidak diperlukan lagi. Konsep pemikiran Proudhon mempengaruhi kerangka berpikir Bakunin dalam mencetuskan pemikiran anarkisme.
Sosialisme-purba, istilah yang digunakan oleh Franz Magnis-Suseno dalam menjelaskan aliran sosialisme sebelum Karl Marx memiliki perbedaan signifikan daripada sosialisme-ilmiah hasil pemikiran Marx. Perbedaan tersebut terletak pada metode pendekatan sosialisme dan bagaimana sosialisme memandang hukum perkembangan masyarakat.
Sosialisme-ilmiah merupakan usaha merasionalkan tahap perkembangan masyarakat melalui pendekatan sosiologis. Marx memandang arah gerak masyarakat dapat dipahami sebagai dialektika antara perkembangan dalam bidang ekonomi dan struktur kelas sosial dalam masyarakat. Arah gerak sejarah tidak ditentukan oleh sektor politik, atau ideologi, melainkan oleh sektor ekonomi.
Sosialisme-ilmiah tidak sama dengan sosialisme-purba yang cenderung utopis, dan berhenti dalam ranah filosofis. Marx menegaskan bahwa tahap akhir dari filsafat adalah bagaimana filsafat dapat menjadi sarana aktualisasi pemikiran secara praksis. Melalui Materialisme Dialektika Historis, Marx mampu untuk menjelaskan hal tersebut.
Materialisme Dialektika Historis (MDH), Filsafat Menurut Marx
Untuk memahami kerangka berpikir Marx dalam berfilsafat, perlu dipahami bahwa pemikiran Marx dipengaruhi oleh filsuf utama Jerman yaitu G.W.F Hegel (1770-1831).
Apabila ditinjau secara teoritis, MDH merupakan hasil dari kritik Marx atas model filsafat Hegel dalam berbagai hal. Menurut Franz, terdapat tiga unsur penting untuk memahami filsafat Hegel; pengetahuan absolut, filsafat sejarah, dan dialektika sebagai pola Hegel berfilsafat.
Landasan kerasionalan materialisme-dialektis merupakan pengembangan dari filsafat pengetahuan absolut yang merupakan titik akhir perjalanan filsafat melalui segala fenomena pengalaman dan kesadaran. Marx beranggapan bahwa realitas obyektif tidak sefilosofis seperti yang Hegel pikirkan, maka perlu untuk mengaktualisasikan filsafat secara praksis untuk mencapai perubahan dalam masyarakat.
Pengetahuan absolut apabila diterapkan dalam ranah praksis sesuai dengan realitas obyektif, diharapkan mampu mencapai perubahan dalam struktur sosial-politik dan ekonomi-politik dalam masyarakat yang nantinya dapat mencapai cita-cita tertinggi komunisme yaitu masyarakat tanpa kelas. Lantas, realitas seperti apa yang menjadi faktor utama perjuangan masyarakat dalam meraih cita-cita komunisme?
Marx mengklaim bahwa sosialisme-ilmiah berdasar atas pengetahuan tentang hukum-hukum obyektif perkembangan masyarakat. Arah gerak sejarah manusia ditentukan oleh cara manusia berproduksi sebagai faktor yang berperan dalam menunjang kehidupan manusia. Inilah yang disebut Materialisme-historis.
Dasar pemikiran materialisme-historis bermula dari anggapan bahwa kegiatan manusia yang paling dasar adalah perjuangan mengubah bentuk alam untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Manusia membutuhkan kegiatan produksi sebagai proses dalam pengelolaan bahan baku dari alam untuk menghasilkan bahan siap pakai.
Marx menyebut kerangka dalam kegiatan produksi material adalah “basis” yang meliputi hubungan-hubungan produksi dan tenaga-tenaga produktif. Untuk menghasilkan barang hasil produksi, manusia menciptakan hubungan produksi dengan alam. Hubungan ini berupa cara atau teknologi yang digunakan manusia untuk mengolah alam. Agar produksi terus berjalan, dibutuhkan tenaga-tenaga produktif sebagai unsur kekuatan untuk mengerjakan dan mengubah alam.
Hubungan produksi yang terjalin antara manusia dengan alam memiliki dua watak yang secara dikotomis berbeda, yaitu eksploitatif dan kolektif. Pembagian watak ini dipengaruhi oleh kepemilikan alat produksi, partisipasi produksi, dan distribusi hasil produksi. Watak produksi berpengaruh dalam pembentukan basis ekonomi bagi masyarakat, serta berpengaruh dalam tatanan ideologis atas masyarakat.
Tatanan ideologis atas masyarakat dalam bahasa marxisme disebut bangunan-atas, atau suprastruktur. Suprastruktur menurut Franz meliputi tataran kesadaran kolektif yang memuat segala sistem kepercayaan, norma-norma sosial yang memberikan kerangka pengertian, makna, dan orientasi spiritual manusia. Hal tersebut meliputi agama, budaya, dan moralitas masyarakat. Dalam menjaga ritme dan melindungi kepercayaan tersebut, diperlukan tatanan institusional yang memuat segala macam lembaga yang mengatur kehidupan masyarakat diluar bidang produksi. Seperti organisasi, pendidikan, kesehatan, hukum, dan negara.
Suprastruktur cenderung statis dan tidak berpengaruh signifikan dalam dinamika perkembangan masyarakat. Watak dalam hubungan produksi-lah yang memiliki peran signifikan dalam membentuk dinamisasi masyarakat. Kepemilikan atas alat produksi, partisipasi produksi, dan distribusi hasil produksi yang berbeda antara pemilik modal dengan pekerjanya menciptakan hubungan yang berat sebelah yang menciptakan struktur masyarakat yang berkelas.
Kritik Marx Atas Kapitalisme
Watak eksploitatif dalam hubungan produksi menciptakan sistem perekonomian kapitalistik yang dijalankan oleh kelas borjuasi atau pemilik modal sebagai kelas sosial yang menguasai alat produksi. Sedangkan masyarakat yang tidak memiliki alat produksi, menjual tenaga kerjanya kepada borjuis untuk mengerjakan alat produksi yang dimiliki.
Konsekuensi dalam berjalannya sistem perekonomian kapitalistik adalah terbukanya akses persaingan bebas, yang menuntut persaingan antar pemilik modal. Untuk memenangkan persaingan, pemilik modal melakukan efisiensi dan meningkatkan produktivitas produksi untuk menguasai pasar. Cara paling mudah untuk memenangkan persaingan adalah memproduksi barang dengan harga yang lebih murah. Namun, realisasi kebijakan tersebut berdampak pada pengurangan upah buruh.
Menurut Marx, seluruh keuntungan yang dimiliki oleh kapitalis dalam menjalankan roda produksinya diperoleh dari hasil kerja buruh yang tidak dibayarkan. Inilah yang menurut Marx dinamakan nilai-lebih. Dengan mengakumulasi kapital sebagai cara untuk mempertahankan surplus-kapital, kapitalisme bekerja dengan pemahaman M-C-M’-C-M’’-C-∞. Dengan modal yang dimiliki, kapitalis dapat menghasilkan kapital yang nantinya dijadikan modal untuk memperluas pasar dan akan menghasilkan kapital yang lebih besar. Pola tersebut berjalan terus menerus.
Kapitalisme, yang diartikan masyarakat luas sebagai sistem perekonomian, apabila dianalisis melalui metodologi ‘MDH’ pada dasarnya merupakan sebuah krisis. Kapitalisme menghasilkan kontradiksi kepentingan antara pemilik modal dengan pekerja. Di tangan pemilik modal yang jumlahnya sedikit, terkumpul seluruh modal raksasa yang jumlahnya terus bertambah. Sedangkan masyarakat tidak mendapatkan apa-apa, hanya segelintir upah yang dibayarkan kepada mereka.
Sejarah dunia adalah sejarah perlawanan kelas. Itulah kalimat yang cocok dalam menggambarkan sejarah perkembangan masyarakat. Perpindahan antar sistem kemasyarakatan dan perpolitikan selalu diwarnai dengan adanya pemberontakan antara kelas sosial. Sebut saja seperti transisi antara masa feodalisme menuju masa kapitalisme yang dalam sejarahnya dipelopori oleh kelas sosial baru yang muncul ketika akhir abad pertengahan, yaitu kelas borjuis.
Apabila kontradiksi kepentingan terus menerus berlanjut, kesadaran kelas proletar semakin terbentuk, serta terorganisirnya kaum proletar dengan baik, maka revolusi sosialis bukan hal yang utopis. Lantas apa terjadi setelah Revolusi Sosialis berhasil tercapai?
Lahirnya Negara Sosialis
Kaum proletar, yang menurut Marx paling merasakan eksploitasi terbesar dari sistem perekonomian kapitalisme mempunyai dua pilihan dalam hidupnya; terus dieksploitasi atau bangkit melawan. Sebagai kelas sosial yang diproyeksikan oleh Marx untuk mengorganisir elemen masyarakat lainnya, proletar yang sudah tersadarkan akan melakukan kerja politik untuk melakukan Revolusi Sosialis.
Revolusi Sosialis dimulai dengan usaha perebutan kekuasaan atas negara. Marx beranggapan bahwa negara saat ini merupakan alat yang dimanfaatkan untuk memperlancar politik kaum kapitalis dalam menguasai pasar. Setelah kekuasaan telah dipegang oleh kaum proletar, otoritas yang dimiliki oleh negara dapat dimanfaatkan dalam merebut alat produksi milik kapitalis dan membagi-bagikannya kepada masyarakat.
Cita-cita terbesar sosialisme-ilmiah tidak hanya berhenti dalam ranah geografis negara tertentu saja. Dalam usaha mempertahankan eksistensi dari sosialisme, dan mengatasi intervensi dari negara kapitalis, harus adanya ekspansi dalam mempengaruhi politik negara lain untuk terwujudnya dunia yang komunis.
Penutup
Bagaimanapun arah politik dari komunisme, serta apapun anggapan masyarakat atas adanya komunisme, sosialisme-ilmiah merupakan cetak biru pemikiran Marx yang patut untuk diapresiasi. Pemikirannya masih relevan hingga sekarang, serta masih banyak elemen masyarakat yang meyakininya sebagai alternatif lain dari kapitalisme yang jauh dari azas keadilan dan kesamaan.
****
Penulis: Rizky Pratama Lianto Putra, mahasiswa Politeknik Elektronika Negeri Surabaya
(Tulisan ini merupakan kontribusi dari pembaca buruh.co)