Analisa

Setelah 22 Mei, Benarkah Akan Ada Rusuh Besar?

 

22 Mei esok, Komisi Pemilihan Umum (KPU) akan mengumumkan hasil Pilpres dan Pileg 2019. Tudingan kecurangan dan wacana pengerahan massa, -yang oleh Amien Rais dilabeli sebagai “People Power”-, berhembus kencang sebelum hari pengumuman tiba. Berbagai kalangan mencoba menanggapi situasi ini dengan ragam opini. Ada yang melontarkan spekulasi, semisal yang dinyatakan oleh Eko Kuntadhi dalam artikel berjudul “Tongkat Komando Demonstrasi Kini di Tangan Jihadis”, sebagaimana dimuat di Tagar.id (18/5/2019).

Artikel bernada insinuatif ini tak lebih dari upaya tendensius untuk menyudutkan lawan politik belaka. Sebuah spekulasi yang ditujukan untuk menggiring kecemasan publik. Dalam artikel digambarkan bahwa kepergian Prabowo ke luar negeri menjadi sinyal pemula bagi kerusuhan politik dengan kelompok jihadis sebagai protagonisnya.

Spekulasi semacam ini juga memiliki karakter yang serupa dengan demagogi yang berbunyi “Indonesia akan di-Suriah-kan”. Sebuah demagogi yang terus diedarkan dalam tahun-tahun belakangan. Upaya menyamakan situasi Indonesia dengan Suriah, dikreasi dengan cara yang kurang pintar, kecuali semata-mata mengeksploitasi rasa takut dan kecemasan orang banyak.

Patut diingat, Indonesia ialah negeri yang teramat penting bagi negara-negara kapitalis utama. Indonesia merupakan pasar besar, sumber bagi tenaga kerja murah, wilayah pemasok bahan mentah dan sasaran ekspor kapital. Indonesia tercatat sebagai anggota G-20, kelompok negara dengan perekonomian besar di dunia. Negeri sepenting ini tentu saja tak akan dibiarkan dibuat kacau oleh konspirator pembuat bom pipa atau tukang razia diskotik.

Situasi Suriah berbeda. Kerusuhan politik yang berujung perang bukan saja direstui, bahkan diinginkan oleh negara-negara kapitalis utama, terutama Amerika Serikat. Rejim Assad adalah rejim yang menghambat kepentingan ekonomi dan politik Washington serta konco-konconya. Sebuah rejim yang juga melakukan konfrontasi politik dan militer dengan sekutu utama AS di Timur Tengah, Israel.

Menggulingkan Assad menjadi agenda penting politik luar negeri AS di Timur Tengah. Konflik Suriah juga melibatkan perebutan pengaruh geopolitik antara Teheran, Riyadh dan Istanbul. Kelompok jihadis kemudian mendapatkan ruang hidup, dukungan propaganda, medan gerak dan sokongan politik serta logistik yang cukup untuk menjadikan Suriah sebagai “palagan jihad” berskala global.

Faktor lain yang ikut menentukan perubahan cepat situasi Suriah yaitu respon rejim Assad terhadap demonstrasi. Assad melakukan penembakan ke demonstran. Hal seperti ini lebih kecil kemungkinannya terjadi di Indonesia. Peristiwa penembakan lantas membukakan pintu bagi berubahnya demonstrasi politik menjadi gerakan bersenjata. Dari protes sipil berubah bentuk ke upaya penggulingan secara militer.

Peristiwa Suriah tak jauh berbeda dengan apa yang terjadi di Afganistan semasa era Perang Dingin. Mobilisasi besar-besaran kaum jihadis, mendudukan AS sebagai penyokong utamanya. Maka apa yang dilontarkan Eko Kuntadhi di paragraf-paragraf konspiratif dalam artikelnya yang menyedihkann itu, sama sekali tidak memiliki konfirmasi sejarah.

Contoh lain kasus Venezuela. Klaim dan pelantikan presiden sepihak oleh kelompok oposisi yang diwakilkan Juan Guaido juga berbasis dukungan Amerika Serikat. Kelompok oposisi di Venezuela telah lama disokong Washington untuk menggulingkan Hugo Chavez dan selanjutnya Nicholas Maduro. Segala upaya dilancarkan kalangan oposisi sayap kanan, dari mulai kudeta, demonstrasi jalanan, kerusuhan politik hingga tudingan kecurangan Pemilu.

Revolusi Bolivarian yang mengusung semangat patriotisme dan anti imperialisme tentu bukanlah kabar yang sedap buat telinga Gedung Putih. Tindakan nasionalisasi besar-besaran, pembatasan ruang hidup modal swasta, anggaran sosial yang besar bagi kehidupan rakyat, membuat semua syarat untuk menggulingkan Chaves dan Maduro menjadi terpenuhi.

Faktor ini tidak tampak dalam kasus Indonesia. Pasca Soekarno, tak ada satu pun rejim yang bisa dianggap menghalangi kepentingan modal internasional, sehingga imperialis berkepentingan mendongkelnya, lantas mendorong kerusuhan sebagai salah satu jalan dan meresikokan asset bisnis, investasi serta perdagangan milik mereka. Siapapun kandidat yang ditetapkan KPU sebagai pemenang  Pemilu kali ini, seluruhnya bersikap ramah kepada investasi dan pro modal. Tak ada faktor yang cukup untuk melahirkan kerusuhan politik skala besar, kecuali mungkin dalam benak Eko Kuntadhi belaka.

****

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Back to top button