Serangan ke Massa Aksi May Day Tandakan Turunnya Demokrasi

Peserta aksi hari buruh 1 Mei, yang dikenal luas sebagai May Day, mengalami serangan oleh
aparat di berbagai daerah. May Day merupakan hari libur resmi nasional melalui Keppres
24/2013. Hari libur ini bahkan pernah diatur dalam UU 12/48 jo. UU 1/1951.
Kekerasan terparah terjadi di Bandung. Lebih dari 600 orang mengalami penangkapan
sewenang-wenang tanpa alasan dan mengalami penyiksaan, tindakan kejam, tidak manusiawi
serta merendahkan martabat berupa penggundulan, penelanjangan, pemukulan dalam
berbagai bentuk bahkan dicoret-coret badannya dengan pilox. Korban juga dibawa ke mako
Brimbob. Selain polisi, tentara juga turut terlibat. Terdapat 293 anak (di bawah 18 tahun) yang
menjadi korban. Sementara perempuan yang ditangkap juga dipukuli pada saat interogasi. Hingga saat ini, belum dilepaskan.

Aksi di Jakarta sempat ditahan selama kurang lebih 3 jam di bundaran HI. Setelah sampai di
patung kuda massa kembali dihambat untuk berjalan ke istana. Hambatan untuk aksi di
bundaran HI baru terjadi setidaknya 4 tahun belakangan ini sedangkan aksi di depan istana baru
terjadi tahun ini. Aksi di Yogyakarta dibubarkan dengan kekerasan oleh aparat, termasuk
pemukulan dan gas air mata, hingga 12 orang mengalami luka-luka. Begitu pun di Surabaya, aksi
di Taman Apsari dibubarkan, sementara 2 massa aksinya sempat ditangkap polisi.

Berdasarkan hal-hal di atas kami menyatakan hal-hal berikut:

1. Aksi brutal yang dilakukan aparat jelas melawan hukum. Oleh karena itu pelaku perlu
diproses hukum atas tindakan kekerasan yang diberlakukan kepada orang, termasuk
kekerasan terhadap anak.

2. Aksi brutal yang dilakukan aparat tersebut juga merupakan pelanggaran kode etik dalam
Pasal 7 ayat (1) huruf c Peraturan Kapolri tentang Kode Etik Kepolisian, sehingga dapat
diajukan pada sidang etik dengan sanksi sampai dengan pemberhentian, termasuk bagi
atasan yang membiarkan pelanggaran terjadi.

3. Aksi brutal yang dilakukan aparat jelas merupakan pelanggaran hak atas fair trial yang
dijamin oleh UUD 1945, KUHAP dan ICCPR, jelas terjadi pelanggaran prinsip praduga tidak
bersalah, hak bebas dari penahanan sewenang-wenang dan hak bebas dari penyiksaan,
terhadap korban harus diberi jaminan peroleh ganti rugi akibat tindakan sewenang-wenang
tersebut.

4. Terhadap korban perlu ada perlindungan, bantuan medis darurat, termasuk hak atas
pemulihan yang harus dijamin oleh negara.

5. Perlu ada evaluasi mendalam pada pihak Kepolisian karena kami mencermati sepanjang
2019 banyak terjadi kasus tindakan sewenang-wenang aparat yang tidak pernah jelas
pengusutannya.

6. Pendekatan militeristik yang dilakukan terhadap warga sipil di masa damai perlu diberi
perhatian serius oleh negara. Perlu ada evaluasi terhadap kepolisian, yang berkat reformasi
yang diperjuangkan rakyat dipisahkan dari militer, karena tetap berprilaku militeristik
setelah 19 tahun menjadi organisasi non militer.

7. Perlu pula dievaluasi tentang rantai komando sehingga TNI bisa ikut campur urusan
keamanan dan diindikasikan melakukan tindak kekerasan terhadap masyarakat sipil.

 

Jakarta, 2 Mei 2019

 

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia-YLBHI, Komisi Untuk Orang Hilang & Korban
Tindak Kekerasan-KontraS, Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia-KASBI, KOMITMEN, Jaringan
Advokasi Tambang-JATAM, Solidaritas Perempuan, Gerakan Buruh Bersama Rakyat-GEBRAK,
ICJR,Sindikasi,LBH JAKARTA,Purple Code.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.