Selamat Datang 2020, Selamat Datang Kenaikan BPJS Kesehatan 

Ilustrasi Antrian BPJS Kesehatan

Selamat datang kenaikan premi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan yang mulai efektif 2020. Peraturan Presiden 75/2019 menyebutkan kenaikan BPJS efektif dua kali lipa pada Januari 2020. Dengan gembar-gembor peningkatan jumlah Penerima Bantuan Iuran, kelompok mana yang akan menjadi korban dan bagaimana seharusnya jaminan sosial kesehatan dapat melindungi rakyat.

Jerat bagi Lebih 16 Juta Peserta BPJS Kesehatan 

Bacaan Lainnya

Sejak tahun 2014, BPJS Kesehatan terus menerus didera persoalan defisit anggaran. September lalu, media nasional giat menempatkan BPJS di lensanya. Pasalnya iuran BPJS akan naik. Pro-kontra mewarnai karena ada yang menilai kenaikan dinilai tergesa-gesa. Namun, ada juga yang setuju kenaikan BPJS yang sebelumnya akibat defisit justru akan semakin besar. 

Landasan kebijakan tersebut ialah prediksi defisit sebesar Rp 32 Triliun pada 2019. Defisit disebabkan oleh berbagai faktor. Namun, Wakil Menteri Keuangan BPJS Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) atau mandiri sejumlah 32 juta orang kerap menunggak iuran. Dari jumlah 32 juta itu, 16 juta merupakan kelompok yang tidak membayar iuran. Angka ini memiliki tren terus meningkat. 

Kelompok peserta bukan penerima upah ini biasanya terdiri dari lapisan-lapisan termiskin masyarakat. Banyak buruh yang semula menerima upah, tiba-tiba mendapati BPJS Kesehatan tidak aktif meski masih dalam proses sengketa PHK. Dengan upah yang tidak lagi dipenuhi perusahaan, buruh-buruh ini jelas rentan menumpuk tunggakan premi dan semakin tidak mampu membayar akses kesehatan. 

Selain itu, para pekerja informal dan pelaku Usaha Kecil Mikro dan Menengah (UMKM) juga banyak menjadi bagian dari angka 16 juta ini. Mereka terentang dari supir ojek online, Pekerja Rumah Tangga (pengasuh anak, supir pribadi, dsb), hingga tukang bangunan. Sementara, UMKM bisa penjual kopi pinggiran hingga pedagang makanan yang berpeluang semakin sepi jika daya beli masyarakat terus turun. 

Kelompok 16 juta ini juga tidak termasuk dalam Penerima Bantuan Iuran (PBI) baik dari pemerintah pusat maupun daerah. Ketika buruh ter-PHK dan menunggak premi, ia tidak lantas secara otomatis jatuh pada kategori penerima bantuan iuran, kecuali di segelintir provinsi.   

Peserta mandiri yang tidak mampu membayar justru dihadapkan dengan kebijakan kenaikan iuran. Alih-alih terdorong untuk ikut serta secara aktif, kenaikan justru akan makin memojokan peserta mandiri dari jaminan kesehatan ini.  Secara sederhana langkah pemerintah mengambil jalan pintas menaikan iuran sampai 100% justru kontraproduktif.

Sebenarnya, kerugian BPJS Kesehatan tidak semata berasal dari premi. Fraud (penipuan atau kecurangan) masih sering ditemui dalam proses birokrasi kesehatan. ICW temukan potensi praktik kecurangan di tingkat puskesmas sampai kepala daerah. Hal ini pula yang mendorong banyaknya masyarakat bolos bayar iuran. Kepercayaan kepada pelayanan kesehatan cukup minim. Selain tingkat kepercayaan masyarakat, defisit juga diakibatkan oleh manajemen internal BPJS yang buruk dengan penetapan peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) tidak tepat sasaran. Perbaikan data harus segera dilakukan. 

Apakah Meningkatkan Penerima Bantuan Iuran adalah solusi? 

Pemerintah terus-menerus beralasan bahwa peningkatan jumlah Penerima Bantuan Iuran (PBI) akan mengobati persoalan kenaikan premi BPJS Kesehatan. Pemerintah meningkatkan anggaran untuk Penerima Bantuan Iuran dari Rp26,7 triliun menjadi Rp48,8 triliun. Angka ini untuk menutupi kenaikan iuran BPJS Kesehatan dan menambah jumlah Penerima Bantuan Iuran.  

Angka ini bagaimanapun tetap membuat sebagian dari kelompok peserta mandiri (peserta bukan penerima upah) tersisih. Sejumlah pemda memang memiliki inisiatif untuk memperbaiki seperti pemerintah provinsi Bali yang menyiapkan Rp 297 miliar pada 2020, atau Jakarta dan kota Bekasi yang memiliki program daerah untuk mendukung PBI. Namun, daerah-daerah itu adalah provinsi dengan APBD yang termasuk lumayan. Jakarta bahkan memiliki Rp 87,9 triliun untuk APBD 2020 dan Bali Rp 7,8 triliun. Lantas, pemerintah dengan APBD terbatas seperti Jawa Tengah dengan Rp 28, 3 triliun dan penduduk sebanyak 34 juta orang atau lebih tiga kali lipat Jakarta jelas tidak memiliki banyak ruang fiskal.  

Banyak suara protes terhadap BPJS sedari awal muncul menyoroti kelemahan sistem premi yang dibungkus dengan sebutan iuran. Di antaranya berasal dari sejumlah serikat buruh. BPJS dianggap tak layaknya asuransi sosial, bukannya jaminan sosial. Jaminan sosial jelas memberikan jaminan kesehatan gratis bagi seluruh warganya tanpa mempedulikan kemampuannya untuk membayar premi seperti di asuransi kesehatan. Sebagai contoh, Layanan Kesehatan Nasional (NHS) di Inggris dan kesehatan di Kuba menjamin kesehatan gratis bagi seluruh warga tanpa diskriminasi kemampuan ekonomi. Kenapa Indonesia yang sering berbangga sebagai anggota G20 (negara ekonomi 20 terbesar di dunia) tidak mampu melakukannya?

 Mungkin salah satu jawabannya ada di kemauan politik untuk menganggarkan uang rakyat di APBN untuk kesehatan rakyat itu sendiri. APBN 2020 menempatkan  Rp 2,540 triliun menempatkan infrastruktur (Rp 423 triliun) dan birokrasi (Rp 261 triliun) bahkan melebihi anggaran kesehatan sebesar Rp 132 triliun. 

Bahkan, anggaran untuk Kementerian Pertahanan merupakan yang tertinggi pada APBN 2019 mencapai Rp 108,4 Triliun dan RAPBN 2020 mencapai Rp 127,4 Triliun. Sedangkan, untuk Kepolisian mendapatkan jatah anggaran sebesar Rp 104,7 triliun yang juga naik dibanding 2019 sebesar Rp 94,3 triliun. Sementara, Kementerian Kesehatan hanya menerima Rp 57,4 triliun, turun Rp 0,4 triliun dari tahun sebelumnya. Anggaran Kementerian Kesehatan berbeda dengan anggaran kesehatan sebesar Rp 132 triliun yang  mengalir ke berbagai institusi seperti BPOM, 

 Barangkali, jika rela secuil anggaran militer atau polisi dipindahkan dapat menutup defisit menahun berikutnya. Oleh karena itu, tanpa political will dari kekuasaan untuk mewujudkan jaminan sosial sejati, kenaikan BPJS akan selalu menjadi langkah gegabah pemerintah. Terelebih, kenaikan BPJS malahan disambut dengan turun kelas berjamaah dari para peserta BPJS. 

Defisit BPJS merupakan kepingan kecil dari masalah struktural masyarakat Indonesia. Struktur yang sama menempatkan segelintir kelompok kecil menguasai kekayaan sementara mayoritas masyarakat memungut remah-remah sisanya. Hal ini tercermin dalam relasi sosial yang selalu diarahkan untuk pemenuhan hasrat industrial kapitalistik. Kemudian pemerintah menunjuk korban sistem agar menanggung jumlah yang sama dengan segelintir kecil kelompok yang menguasai kekayaan. Maka muncul asumsi bahwa peserta mandiri yang bolos iuran jadi kerikil dalam sepatu negara, hanya pengganggu dan beban. Terbukti dari entri data dalam sistem peserta PBI yang tidak tepat sasaran sejak awal. 

Sisanya adalah ruang publik dimana pertarungan kepentingan berlangsung. Aksi-aksi protes di adalah jawaban bilamana masyarakat dihadapkan dengan ketidakadilan. Di bawah perlindungan demokrasi seharusnya masyarakat merumuskan poin-poin keresahan. Kemudian menuntut kekuasaan untuk mengubah rumus kaku undang-undang, dalam hal ini rumus RAPBN 2020. Seperti yang sebelumnya disebutkan, kesehatan masyarakat harus jadi prioritas beriring dengan pendidikan dan lain-lainnya. 

Penulis: Faisal Bachri

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.