Ekonomi dunia yang lesu semakin dinaungi awan suram ketika perang dagang antara Amerika Seriakt dan Cina meletus. Target pertumbuhan ekonomi yang awalnya dicanangkan sebesar 3,4% dipangkas menjadi 3,0%. Bahkan, Bank Dunia memperkirakan ekonomi dunia hanya akan berada pada level pertumbuhan 2,9%. Krisis dunia tersebut membawa dampak bagi Indonesia yang merupakan pelayan setia bagi masuknya modal atau investasi. Dengan segala hormat, pemerintah terus membuka akses untuk mempermudah masuknya modal investasi.
Di tengah situasi itu, kapitalisme membutuhkan ruang-ruang baru untuk terus mendongkrak pertumbuhan ekonomi. Tanpa itu, kapitalisme akan jatuh pada krisis yang makin akut, semakin parah sakitnya. Salah satu penambahan ruang itu adalah memperluas penggunaan sistem ekonomi kapitalisme di wilayah-wilayah yang sebelumnya memiliki corak ekonomi lain, -seperti corak pertanian-, untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Perluasan itu, juga memberikan pasokan nilai baru untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi, baik dari segi bahan baku maupun pasar.
Dengan banyak tersedianya sumber daya alam sebagai bahan mentah yang melimpah, para investor segera melirik indonesia. Saat itulah negara Indonesia menyiapkan segala perangkatnya, dari mulai infrastruktur fisik sampai infrastruktur hukum (revisi Undang-Undang) sebagai penarik dan jaring pengaman modal maupun investasi.
Keluarnya produk hukum Rancangan Undang-undang Pertanahan adalah salah satu pondasi untuk menyediakan tanah (darimana sumber bahan mentah berasal) bagi imperialisme. Di samping itu, produk hukum tersebut adalah rentetan rencana lembaga PBB yang gencar mengkampanyekan ekonomi pasar ala Bank Dunia dalam Land Administration Project (LAP). Indonesia sebelumnya menjalankan sertifikasi tanah sebagai bentuk inventarisir tanah-tanah di indonesia untuk mempermudah peta sumber bahan mentah. Jadi, jangan berbaiksangka terlebih dahulu soal bagi-bagi sertifikat tanah Jokowi. Program tersebut juga mendapatkan kucuran dana dari IMF sebesar 200 juta dolar untuk menjalankan “reforma agraria” versi negara.
RUU Pertanahan yang akan disahkan akhir bulan ini sangat jauh sekali dengan semangat reforma agraria sejati. Sebaliknya, RUU Pertanahan mempunyai semangat sebagai pelayan setia investasi dan juga liberalisasi tanah. Liberalisasi tanah adalah sistem yang melepaskan pengelolaan tanah pada mekanisme jual beli pasar. Alhasil, semangat RUU Pertanahan yang paling kental adalah semangat monopoli tanah pada segelintir orang.
Pasal mengenai HGU yang bisa diberikan di atas segala hak atas tanah, batas luasan ditambah dari cuma 25 ribu ha menjadi 50 ribu ha untuk perorangan. Kira-kira dari 35 ribu kali lebar lapangan bola menjadi 71 ribu kali. Yang lebih fantastis, untuk badan hukum batas luasan menjadi sebanyak 100 ribu ha. Luas itu lebih besar dari Jakarta atau setara 142 ribu kali lebar lapangan bola. Luas Jakarta saja hanya 66 ribu ha. Bukan hanya soal luasan, RUU Pertanahan memungkinkan perusahaan menguasai tanah selama 90 tahun. Angka ini jauh lebih lama dari pada zaman kolonial Belanda.
Dengan demikian penambahan luas dalam HGU adalah upaya untuk semakin memperkuat monopoli tanah bagi tuan tanah besar. Ini akan berpotensi minimbulkan peningkatan konflik agraria di tataran rakyat. Bila mengacu pada data tahun 2018, konflik agraria banyak terjadi di sektor perkebunan sekitar 115 dari total 410 kasus. Apalagi bukti tentang kebakaran hutan dan lahan yang rutin terjadi selalu berkait dengan praktek monopoli tanah oleh korporasi. Adanya HGU juga semakin memperparah ketimpangan kepemilikan tanah, lembaga pemantau isu sawit Transformasi untuk Keadilan (TUK) Indonesia mencatat 29 perusahaan sawit menguasai 10 juta ha tanah dan 62% berada di kalimantan sedangkan petani rata-rata hanya mempunyai 0,3 ha tanah.
Pasal lain dalam RUU Pertanahan yang sangat rentan adalah tentang Bank Tanah. Bank Tanah mempunyai kewenangan lebih, yaitu melakukan pengelolaan dan pelepasan tanah. Bank Tanah merupakan cara negara melimpahkan kewenangan, untuk meliberalkan tanah kepada konglomerat. Kewenangan pelepasan merupakan upaya untuk memberikan hak atas tanah kepada orang lain yang berkepentingan. Potensi lain apabila Bank Tanah berdiri adalah lumbung bagi korupsi, karena disana kekayaannya dipisahkan dari negara sedangkan pendanaan diberikan oleh APBN. Secara sederhana Bank Tanah adalah mafia tanah yang dilembagakan.
RUU Pertanahan sangat kurang tegas dalam membahas reforma agraria maupun perlindungan bagi tanah adat. Tidak ada pembagian tanah untuk petani penggarap, sementara fokus paling banyak adalah pembahasan tentang administarasi tanah. Hal tersebut mengancam tanah-tanah adat maupun petani gurem apabila negara mempunyai itikad untuk mempelancar arus investasi. Maka setiap tanah rakyat bisa saja akan disisipi dengan hak pengelolahan maupun stempel pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Semangat lain adalah semangat untuk mengkriminalkan petani atau pejuang agraria yang termaktub dalam pasal tentang pidana dimana ada penjelasan “Barangsiapa melakukan pemufakatan jahat menimbulkan konflik agraria”. Frasa tersebut berpontensi menjadi pasal karet untuk menjerat aktivis agraria.
Maka RUU Pertanahan merupakan produk hukum yang akan membawa pada semakin maraknya perampasan tanah yang meluas dan nasional. Semakin membuat kemerosotan hidup dan tergusurnya petani dari tanahnya sendiri. Memperkokoh ketimpangan kepemilikan lahan. Buruh sebagai bagian rakyat Indonesia mempunyai kepentingan untuk menolak RUU Pertanahan ini. Bila RUU Pertanahan ini disahkan, politik upah murah akan semakin marak di perkotaan dan pedesaan akibat semakin banyaknya tenaga kerja tidak terpakai.
Berikutnya kaum buruh mempunyai kepentingan juga untuk membebaskan sekutu perjuangannya, yaitu petani. Sejumlah kelas buruh lahir dari rahim petani yang tergusur tanahnya atau sempitnya lapangan kerja di pedesaan. Selain itu apabila lahan dikuasai oleh korporasi besar dan para tuan tanah untuk kepentingan laba pribadi, ketahanan pangan akan semakin merosot dan berkurang sehingga kaum buruh beserta keluarga akan kesusahan dalam bertahan hidup.
1 Komentar