Omnibus Law RUU Cipta Kerja : Bentuk Pemberhangusan Demokrasi
Pada Rabu, 11 Naret 2020, Gerak Tolak Omnibus Law (GETOL) di Jawa Timur menggelar aksi penolakan omnibus law cipta kerja. Alasannya, beleid itu cacat sejak awal dan merugikan ketahanan pangan, petani, nelayan kecil, masyarakat desa, lingkungan, dan buruh. Berikut pernyataan penolakan tersebut:
Pemerintah Indonesia melaluimenterikoordinatorBidangPerekonomianTelah resmi mengajukan surat presiden (surpres) Draf Omnibus Law CiptaKerja beserta dengan naskah akademikKepadaPimpinanDewanPerwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia. Sejak draf tersebut di serahkanmakapemerintahtidak akanpernahlagi memanggilstekolder yang memilikikepentinganlangsungdalamperancanganperundang-undanganini, dalamperjalananDraf RUU Ciptakerja (Ciker) inibanyakmenimbulkan Pro danKontradikalanganmasyrakatsipilkarenaketidaktranparannyapemerintahterhadapmasyrakat yang memilikiketerlibatankhususdalampembentuanRancanganUndang-undanganini serta digadang-gadang penyusunannya hanya melibatkan dari kalangan investor.
Penolakan yang dilakukanolehberbagaikalanganterhadapketidakkonsistennyapemerintahdalam proses penyusunan RUU tersebutsangatlahnyata, karenadariawalRancanganUndang-undangCiptaLapanganKerja (RUU Cilaka) sampaipadasaatinidirubahmenjadi RUU CiptaKerja (RUU Ciker),ada dugaan didalamdraf tersebutterdapat pasal-pasal liar dan dapat mengancam demokrasi.Dalam penyusunannya saja terbukti tidak ada keterbukaan terhadap akses publik untuk bisa mengakses draft RUU Ciker akibat hal tersebut pemerintah berpotensi mengangkangi norma-norma konstitusi. Seperti Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang meletakkan dasar bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Selain itu juga Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang meletakkan dasar bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. maka sepatutnya dalam penyusunan harus melibatkan seluruh steakholder yang berkepentingan.
Pemerintah demi untuk melakukan perubahan dalam iklim Investasiharus mengeluarkan Omnibus Law Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (RUU CIKER) dengan melakukan revisi 79 Undang-Undang, 15 Bab yang mana didalamnya terdapat ribuan pasal dan di ringkas menjadi 1 (satu) dengan 174 pasal dalam RUU CIKER. Ada bebrapa poin penolakan didalam kajian ini, antara lain :
Kajian pertama, didalam ketenagakerjaan akan ada penghilangan terhadap status pekerja tetap, maka setatus pekerja menjadi pekerja kontrak atau pekerja tidak tetap karena adanya sistem fleksibilitas kerja.Sebelumnya dalam aturan Undang-Undang ketenagakerjaan pengunaan outsorching dibatasi dan hanya untuk tenaga kerja diluar usaha pokok Kemudian dengan hal tersebut pula upah minimum bagi pekerja akan hilang dikarenakan sistem fleksibilitas tenaga kerja serta sistem pengupahan berbasis jam kerja yang cenderung ekspoitatif. Jaminan sosial berpotensi juga hilang akibat adanya fleksibilitas kerja.ancaman hilangnya hak pesangon yang digantikan dengan tunjangan PHK selama 6 (enam) bulan dengan nominal yang lebih rendah dari ketentuan Undang-Undang Ketenagakerjaan. Dalam RUU Ciker ada pengurangan komponen dalam pasangon dan akan banyak merugikan para pekerja dan buruh. Ancaman lain juga timbul dalam kalangan perempuan yaitu bagi hak perempuan terutama untuk cuti haid, waktu istirahat untuk ibadah, cuti melahirkan dihilangkan sehingga meskipun ada larangan pemutusan hubungan kerja terkait hal tersebut namun banyak peluang yang bisa digunakan pengusaha seperti pemotongan upah.Ruang-ruang demokratis yang sebelumnya bisa digunakan pekerja dalam menyelesaiakan beberapa perselisihan hak maupun kepentingan yang diwakili oleh serikat akan hilang karena pengusaha yang melakukan PHK tidak lagi berwajiban merundingkannya dengan serikat pekerja.
Hal kedua ini Beberapa muatan dalam RUU CIKER yang berpotensi akan mengancam ekologi lingkungan karena adanya Seluruh kewenangan didalam bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup menjadi kewenangan Pemerintah Pusat sehingga menimbulkan pembatasan akses masyarakat terhadap informasi, partisipasi dan keadilan terutama dalam pengambilan keputusan yang berpotensi akan memberi dampak pada lingkungan hidup apalagi dengan banyaknya penghapusan pengenaan sanksi adminstrasi yang kemudian banyak diberikan tata caranya melalui peraturan pemerintah sehingga dalam hal ini kewenangan pemerintah daerah hanya bersifat diskresi.Dalam hal pertambangan pun untuk kewenangan perizinan pertambangan juga diambil alih oleh pemerintah pusat dengan didelegasikan melalui peraturan pemerintah sehinga potensi insentif terhadap pelaku usaha yang melakukan kegiatan pengembangan dan pemanfaatan bisa diperpanjang izinnya sampai seumur tambang.Ditariknya kewenangan ke pusat berpotensi juga terhadap perizinan pertanian apalagi dengan banyaknya penghapusan kewajiban penting (termasuk sanksinya) seperti memiliki Izin Lingkungan, membuat AMDAL, analisis resiko, pemantauan lingkungan hidup, bahkan penyediaan sarana-prasarana penanggulangan kebakaran juga dihapus dalam hal ini keterlibatan masyarakat dalam pengawasan untuk lingkungan hidup yang sehat menajdi hilang.
Tidak hanya itu dalam kluster pertanian jika dikaji secara mendalam terdapat perubahan dalam Salah satunya pada Pasal 1 Ayat 7 Undang-Undang Pangan Nomor 18 tahun 2012 yang pada RUU Cipta Kerja diubah menjadi ketersediaan pangan adalah kondisi tersedianya pangan dari hasil produksi dalam negeri, cadangan pangan nasional, dan impor pangan. Padahal sebelumnya untuk ketentuan impor hanya diperbolehkan apabila hasil produksi dan cadangan nasional tidak bisa memenuhi kebutuhan. Peletakan impor pangan sebagai elemen yang setara dalam pemenuhan ketersediaan pangan menunjukan bahawa pemerintah tidak mengutamakan produksi dalam negeri, sehinga akan menimbulkan lemahnya upaya dari pemerintah untuk lebih memaksimalkan pemanfaatan produksi dalam negeri serta tidak adanya keterbatasan impor sehingga bukan tidak mungkin bahwa jalur impor pangan dibuka seluas-luasnya untuk pelaku usaha impor.
Dalam draft RUU Cipta Kerja ini tedapat satu hal yang menjadi perhatian terutama dalam kaitannnya dnegan kelautan dan perikanan yaitu pada definisi Nelayan Kecil yang kini diperluas menjadi Nelayan yang melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, biak yang tidak menggunakan kapal maupun yang menggunakan kapal penangkap ikan, dengan adanya Perluasan definisi terhadap nelayan ini maka akan berpotensi nelayan dengan kapal yang bermuatan besar (Nelayan bermodal besar) akan masuk dalam klasifikasi sebagai nelayan kecil. Sehingga nelayan bermodal ini akan mendapatkan perlakuan khusus sebagai nelayan kecil. Sehingga Penyamaan ini akan berpotensi merugikan Nelayan Kecil yang sebelumnya mendapat perlakuan khusus sebagaimana dalam Pasal 27 UU Perikanan.
Secara umum aturan-aturan yang ada pada RUU Ciker ini memusatkan kewenangan kepada pemerintah pusat. Hal tersebut akan berpotensi kembali pada masa orde baru yang menaruh pemerintah pusat sebagai otorisasi tertinggi dalam mengambil semua tindakan pemerintahan. Bahkan dalam bab ketentuan lain di pasal 170 untuk menjalankan percepatan pelaksanaan kebijakan strategis maka pemerintah pusat dapat berwenang untuk mengubah ketentuan dalam undang-undang. Hal tersebut memperparah substansi dalam RUU Ciker yang melangkahi hirarki peraturan perundang-undangan bahkan membuat suatu gambaran kemunduran hukum yang ada di indonesia saat ini.