Rilis Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI) “Merespon putusan MK tentang perubahan norma UU Cipta Kerja di klaster ketenagakerjaan”

Jakarta, 1 November 2024 DEN Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia mengapresiasi putusan Majelis Hakim MK yang telah mengabulkan sebagian gugatan partai buruh dalam hal uji materi tentang UU Cipta Kerja. Pasalnya ada 21 pasal yang kemudian dirubah norma hukumnya.

Menurut ketua umum KPBI bung Ilhamsyah, putusan MK nomor 168/PUU-XXI/2023 patut diapresiasi karena telah mengakomodir sebagian tuntutan Partai Buruh dan Serikat Buruh. Seperti yang kita ketahui bahwa perjuangan buruh bersama rakyat dalam menolak UU Omnibus Law Cipta Kerja cukup panjang dan melelahkan. Namun perjuangan itu menjadi tidak sia-sia setelah kita sama-sama menyaksikan putusan MK telah mengabulkan sebagian tuntutan.

Ilhamsyah menegaskan bahwa putusan MK adalah bersifat final dan mengikat, artinya jangan sampai ada pihak-pihak yang mencoba untuk menentang apalagi menganulir putusan MK tersebut. Jika hal itu sampai terjadi maka buruh bersama rakyat akan mempersiapkan perlawanan yang lebih besar lagi guna mengawal putusan MK tersebut. Imbuhnya (1/11/2024)

Damar Panca selaku Sekjend KPBI menambahkan, meskipun buruh berharap UU Omnibus Law Cipta Kerja benar-benar dicabut secara keseluruhan karena telah menurunkan perlindungan hak dan kesejahteraan sebagai warga negara, tapi setidaknya putusan MK tersebut telah memberikan angin segar kepada kaum buruh karena beberapa pasal yang berubah norma hukumnya secara prinsip kembali ke UU yang sudah existing berlaku sebelumnya yaitu UU 13/2003 tentang ketenagakerjaan.

Mahkamah Konstitusi (MK) juga telah memerintahkan bahwa klaster ketenagakerjaan harus terpisah dan harus dibuatkan UU Ketenagakerjaan yang baru dalam kurun waktu 2 tahun kedepan. Bagi KPBI hal ini merupakan peluang sekaligus sebagai tantangan bagi kaum buruh untuk merumuskan UU Perlindungan Buruh yang nantinya akan diajukan ke pemerintah maupun DPR sebagai pembuat regulasi.

Dari 21 pasal yang dikabulkan oleh majelis hakim MK, Dewan Eksekutif Nasional KPBI merangkum beberapa poin krusial yang kemudian dapat menjadi pegangan bagi serikat buruh dalam memperjuangkan hak di perusahaan, karena pasal tersebut telah memiliki kepastian hukum pasca majelis hakim menyatakan pasal-pasal tersebut telah bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945 (inkonstitusional). Adapun poin-poin krusial yang dapat dirangkum oleh DEN KPBI sebagai berikut;

Tentang Penerapan Tenaga Kerja Asing (TKA)
1. Pasal 42 ayat (1) dalam pasal 81 angka 4 UU nomor 6 Tahun 2023; setiap Pemberi Kerja yang mempekerjakan TKA wajib memiliki rencana penggunaan TKA yang disahkan oleh Pemerintah Pusat dimaknai “menteri yang bertanggung jawab di bidang (urusan) ketenagakerjaan. In casu menteri Tenaga Kerja, yang artinya Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA) harus disahkan oleh Menteri Ketenagakerjaan RI.
2. Pasal 42 ayat (4) dalam pasal 81 angka 4 UU nomor 6 Tahun 2023; Tenaga Kerja Asing dapat dipekerjakan di Indonesia hanya dalam hubungan kerja untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu serta memiliki kompetensi sesuai dengan jabatan yang akan diduduki dengan memperhatikan pengutamaan penggunaan tenaga kerja Indonesia yang artinya Kemenaker RI harus mengutamakan penggunaan (menyerap) tenaga kerja Indonesia. (Meminimalisir jumlah pengangguran).

Tentang hubungan kerja PKWT dan Outsourcing/Alih Daya
1. Pasal 56 ayat (3) dalam pasal 81 angka 12 UU nomor 6 tahun 2023: jangka waktu atau selesainya suatu pekerjaan tertentu dimaknai “Jangka waktu selesainya suatu pekerjaan tertentu dibuat tidak melebihi paling lama 5 (lima) tahun termasuk jika terdapat perpanjangan” sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditentukan berdasarkan perjanjian kerja. Yang artinya Jangka waktu PKWT selesainya suatu pekerjaan tertentu dibuat tidak melebihi paling lama 5 (lima) tahun, termasuk jika terdapat perpanjangan. Jika si pekerja masih dipekerjakan setelah melewati jangka waktu 5 tahun, maka status hubungan kerja PKWT harus berubah menjadi PKWTT
2. Pasal 57 ayat (1) dalam pasal 81 angka 13 UU nomor 6 tahun 2023; Perjanjian Kerja tertentu Harus dibuat secara tertulis dengan menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin. Yang artinya kata harus berarti wajib menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin.
3. Pasal 64 ayat (2) dalam pasal 81 angka 18 UU nomor 6 tahun 2023; Pemerintah menetapkan sebagian pelaksana pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yang artinya Pemerintah dimaknai Menteri Tenaga Kerja menetapkan sebagian pelaksanaan pekerjaan alih daya sesuai dengan jenis dan bidang pekerjaan alih daya yang diperjanjikan dalam perjanjian tertulis alih daya
4. Pasal 79 ayat (2) huruf b dalam pasal 81 angka 25 UU nomor 6 tahun 2023; “Penegasan istirahat mingguan terdiri dari 2 jenis yaitu: (a) 1 (satu) hari dalam 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) Minggu; atau (b) 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu”
5. Pasal 79 ayat (5) dalam pasal 81 angka 25 UU nomor 6 tahun 2023; menghilangkan kata “Dapat” sehingga bermakna: Selain waktu istirahat dan cuti, Perusahaan tertentu memberikan instirahat panjang yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

Tentang Pengupahan
1. Pasal 88 ayat (1) dalam pasal 81 angka 27 UU nomor 6 tahun 2023; setiap pekerja/buruh berhak atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, yang artinya pemaknaan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, yaitu: “Termasuk penghasilan yang memenuhi penghidupan yang merupakan jumlah penerimaan atau pendapatan pekerja/buruh dari hasil pekerjaannya sehingga mampu memenuhi kebutuhan hidup pekerja/buruh dan keluarganya secara wajar yang meliputi makanan dan minuman, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, rekreasi, dan jaminan hari tua.
2. Pasal 88 ayat (2) dalam pasal 81 angka 27 UU nomor 6 Tahun 2003; pemerintah pusat menetapkan kebijakan pengupahan sebagai salah satu upaya mewujudkan hak pekerja atau buruh atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan dimaknai dengan melibatkan dewan pengupahan daerah yang didalamnya terdapat unsur pemerintah daerah dalam perumusan kebijakan pengupahan yang menjadi bahan bagi pemerintah pusat untuk menetapkan kebijakan pengupahan yang artinya kembali ke undang-undang eksisting yang sudah berlaku sebelumnya yaitu undang-undang 13 tahun 2003.
3. Pasal 88 ayat 3 huruf b dalam pasal 81 angka 27 UU nomor 6 Tahun 2023; penambahan istilah yang proporsional pada struktur dan skala upah
4. Pasal 88C dalam pasal 81 angka 28 UU nomor 6 Tahun 20023; penambahan ayat dalam pasal 88 c yaitu: gubernur wajib menetapkan upah minimum sektoral pada wilayah provinsi dan dapat untuk kabupaten/kota
5. Pasal 88 d ayat (2) dalam pasal 81 angka 27 UU nomor 6 Tahun 2023; penjelasan indeks tertentu dalam formula penghitungan upah merupakan variabel yang mewakili kontribusi tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi provinsi atau kabupaten/kota dengan memperhatikan kepentingan perusahaan dan pekerja/buruh serta prinsip proporsionalitas untuk memenuhi kebutuhan hidup layak (KHL) bagi pekerja/buruh
6. Pasal 81 angka 28 UU nomor 6 Tahun 20023; penjelasan “dalam keadaan tertentu” mencakup antara lain bencana alam atau non- dalam, termasuk kondisi luar biasa perekonomian global dan/atau nasional yang ditetapkan oleh Presiden sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
7. Pasal 90A dalam pasal 81 angka 31 UU nomor 6 Tahun 2023; upah di atas upah minimum ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh penambahan pihak dalam penetapan upah di atas upah minimum, selain dengan pekerja/buruh, bisa juga dengan serikat pekerja/serikat buruh di perusahaan
8. Pasal 92 ayat (1) dalam pasal 81 UU nomor 6 Tahun 2023; pengusaha wajib menyusun struktur dan skala upah di perusahaan dengan memperhatikan kemampuan perusahaan dan produktivitas “tambahan serta golongan jabatan masa kerja, pendidikan, dan kompetensi”. Artinya selain memperhatikan kemampuan perusahaan dan produktivitas, dalam penyusunan struktur dan skala upah juga perlu mempertimbangkan golongan jabatan, masa kerja, pendidikan dan kompetensi.
9. Pasal 98 ayat (1) dalam pasal 81 angka 39 UU nomor 6 Tahun 2023; untuk memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah pusat atau pemerintah daerah dalam perumusan kebijakan pengupahan serta pengembangan sistem pengupahan dibentuk dewan pengupahan “tambahan yang berpartisipasi secara aktif”. Yang artinya bahwa dalam perumusan kebijakan pengupahan serta pengembangan sistem pengupahan untuk memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah pusat dan pemerintah daerah maka dibentuk dewan pengupahan yang berpartisipasi dan dilibatkan secara aktif.

Tentang PHK dan Kompensasi Pesangon
1. Pasal 151 ayat (3) dalam pasal 81 angka 40 UU nomor 6 Tahun 2023; dalam hal pekerja/buruh telah diberitahu dan menolak pemutusan hubungan kerja penyelesaian pemutusan hubungan kerja wajib dilakukan melalui perundingan bi tartib “tambahan secara musyawarah untuk mufakat antara pengusaha dengan pekerja/buruh dan atau serikat pekerja/serikat buruh”. Yang artinya dalam hal terjadinya penolakan PHK, penyelesaian PHK wajib dilakukan melalui perundingan bipatride secara musyawarah mufakat antara pengusaha dengan pekerja/buruh dan atau serikat pekerja/serikat buruh.
2. Pasal 151 ayat (4) dalam pasal 81 UU nomor 6 Tahun 20023; dalam hal perundingan bipatride sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak mendapatkan kesepakatan “tambahan maka pemutusan hubungan kerja hanya dapat dilakukan setelah memperoleh penetapan dari lembaga penelitian perselisihan hubungan industrial yang putusannya telah berkekuatan hukum tetap”
3. Pasal 157a ayat (3) dalam pasal 81 angka 49 UU nomor 6 Tahun 20023; pelaksanaan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilakukan sampai “tambahan berakhirnya proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang berkekuatan hukum tetap sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang pphi”. Yang artinya selama penyelesaian perselisihan hubungan industrial (PHK) dilakukan sampai berakhirnya proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang berkekuatan hukum tetap sesuai dengan ketentuan undang-undang pphi nomor 2 Tahun 2004.
4. Pasal 156 ayat (2) dalam pasal 81 angka 47 UU nomor 6 Tahun 2023; uang pesangon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) frasa diberikan dengan ketentuan sebagai berikut diganti dengan “paling sedikit” artinya pengaturan pada besaran uang pesangon sifatnya paling sedikit, makna paling sedikit bisa diartikan untuk membuka ruang negosiasi jumlah pesangon lebih dari ketentuan aturan undang-undang.
5. Pasal 95 ayat (3) dalam pasal 81 angka 36 uu nomor 6 Tahun 20023; hak lainnya dari pekerja/buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didahulukan pembayarannya atas semua kreditur “tambahan termasuk kreditur preference” kecuali para kreditur pemegang hak jaminan kebendaan. Artinya pengaturan bahwa hak lainnya dari pekerja/buruh dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau di likuidasi, hak pesangon guru harus didahulukan pembayarannya atas semua kreditur termasuk kreditur preference kecuali para kreditur pemegang hak jaminan kebendaan.

Kepala Bidang Politik KPBI Sdri. Jumisih juga menyerukan kepada seluruh elemen gerakan rakyat Serikat Petani, Pemuda-Mahasiswa, Kaum Miskin Kota, aktivis lingkungan dan kaum perempuan untuk turut mengajukan gugatan uji materil JR UU Omnibus Law Cipta kerja agar keabsahan dari undang-undang tersebut menjadi hilang atau tidak mempunyai kekuatan hukum. Sembari menyusun strategi perjuangan yang lebih solid lagi, “saya rasa Partai Buruh bisa menjadi partner diskusi sekaligus partner perjuangan untuk merebut kembali kedaulatan rakyat yang selama ini sudah dibajak oleh oligarki”. Ucapnya

Jumisih juga menambahkan, bahwa tugas kita saat ini adalah mengawal putusan MK agar untuk segera diberlakukan oleh semua pihak, baik pemerintah maupun para pengusaha, mengingat proses perundingan tentang kenaikan upah di tahun 2025 sedang berjalan. Artinya PP 51 sebagai turun dari UU Cipta Kerja yang mengatur pengupahan sudah tidak bisa digunakan lagi (tidak berlaku), maka aturan yang akan digunakan adalah kembali ke UU yang sudah existing atau yang sudah berlaku sebelumnya yaitu UU 13 tahun 2003 dengan memberlakukan penghitungan KHL, pemberlakuan Upah Sektoral dan difungsikannya kembali Dewan Pengupahan. Dengan demikian, maka seharusnya kenaikan upah di tahun 2025 bisa cukup signifikan untuk mendapatkan penghidupan yang layak sesuai dan senafas Dengan Amar Putusan Mahkamah Konstitusi (MK).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.