Setelah sebelumnya sempat dipaksa, Soekarno akhirnya membacakan teks itu. Dia adalah lelaki 44 tahun ketika mengucapkan kalimat-kalimat penanda lahirnya Republik baru. Di Pengangsaan Timur, di pelataran rumah pedagang berdarah Arab, bendera Republik akhirnya dikerek naik lewat tangan Latief Hendraningrat, seorang serdadu PETA keturunan ningrat Jawa. Kemudian dwi warna berkibar di udara dalam hajatan di hari Jumat yang penting dan genting.
Begitu genting, sebab anak-anak muda, mereka yang berhimpun dalam “Menteng 31″ sudah bersungut-sungut, galak. Anak muda memang sudah sepatutnya begitu.
“Jika besok siang belum juga diumumkan, kami, para pemuda akan bertindak dan menunjukan kesanggupan yang saudara kehendaki!”.
Dan demikian, dalam politik waktu adalah segalanya. Siapa yang berlambat-lambat, bukan saja akan tertinggal, pun tergilas. Akhirnya Proklamasi tiba dengan caranya sendiri. Kita tidak paham, apakah itu waktu yang paling presisi untuk sebuah pernyataan besar, yang pasti itu terjadi. Negara bangsa diumumkan.
Kita pantas membayangkan, orang-orang yang hadir di helatan proklamasi itu merasakan kebahagiaan yang akbar, betapa indahnya menyatakan merdeka. Bangsa yang diinjak-injak dari buyut hingga cicit, telah menegakkan kepalanya setelah sekian abad, untuk tak sudi lagi dibegitukan. Kita mengingat peristiwa ini setiap tahun sebagai Hari Kemerdekaan, buah Revolusi Agustus.
Revolusi Agustus sebagaimana corak perjuangan anti kolonial, melibatkan keluasan massa yang besar, juga majemuk. Disana ada ragam lapisan kelas sosial, rupa-rupa pemimpin dan spektrum ideologi, juga: aneka bangsa yang terlibat di dalamnya. Seiring sentimen anti penjajahan yang tumbuh subur diantara bangsa-bangsa, kemerdekaan lantas menjadi bahasa pergaulan antar manusia. Ia dibicarakan melintas benua, disolidaritaskan di kalangan rakyat.
Pada paruh bulan Oktober 1945, buruh-buruh pelayaran AS yang bernaung dalam bendera National Maritime Union of USA melakukan aksi pemogokan dan demonstrasi di New York. Ketika itu, sebelas kapal Belanda dihentikan, diikat di pelabuhan. Alat-alat perang dan logistik yang dihibahkan pemerintah AS kepada Belanda berhasil dicegah berangkat. Perkakas tempur yang diperuntukkan menghabisi kaum Republik di Indonesia, pada akhirnya tak pernah bisa dikirim. Disini, buruh-buruh Amerika telah berbicara dalam bahasa yang sama dengan saudaranya di nusantara, bahasa kemerdekaan.
Di Australia pada 24 September 1945, seluruh pelabuhan di Sydney, Brisbane dan Fremantle memberlakukan pemboikotan bagi kapal Belanda. Kapal-kapal itu sebenarnya telah bersiap mengangkut semua yang dibutuhkan untuk menggempur Indonesia. Buruh-buruh Australia lantas bekerja untuk komitmen internasional mereka. Demi itu mereka meyakinkan pelaut Cina, Malaysia dan India, untuk ikut mogok.
Lebih dari 400 armada milik Belanda yang berlabuh di Australia akhirnya tertahan, tak bisa melanjut perjalanan ke Indonesia. Tidak ada pekerja pelabuhan yang sudi membantu mengemas barang, mengurus geladak, atau menyiapkan bahan bakar. Kekuatan militer Belanda dilumpuhkan, justru di Australia, negeri yang dijadikan kandang pemerintahan pengasingan Belanda selepas Jepang mengambil alih Indonesia.
Sineas Belanda, Joris Ivens, merekam peristiwa heroik di Australia ini untuk sebuah film dokumenter bertajuk “Indonesia Calling”. Pada film berdurasi 21 menit itu, kita akan menyaksikan tahap demi tahap persatuan kelas buruh lintas bangsa dibangun. Di film ini, terlihat kemunculan Tukliwon, buruh kapal asal Indonesia, lelaki kelahiran Digul, dari tangan siapa peristiwa-peristiwa menggemparkan di Sidney bermula.
Sebelum langkah Tukliwon di negeri seberang, puluhan tahun berjarak darinya, pemuda Jawa lain memukul ulu hati kolonial Belanda dengan cara yang sama: pemogokan. Pada Mei 1923, Semaoen mengispirasi pemogokan buruh kereta api se-Jawa. Pemuda Jombang ini membuat pemerintah kolonial kalang kabut. Aksi mogok buruh-buruh sungguh mengacaukan jaringan kereta api di Jawa.
Koran Sin Po melaporkan pemogokan pada bulan itu melibatkan 8.000 buruh kereta api, 500 di antaranya adalah masinis, atau setengah dari seluruh masinis pada tahun tersebut. Selain di Jawa, buruh di Aceh mogok pada bulan yang sama. Buruh kereta api di Medan melakukannya dua bulan berselang. Buruh-buruh Tionghoa bertindak juga di perkebunan Deli Maatschappij, Sumatera Timur. Mogok dan lawan, berjalan dalam satu tarikan nafas kelas buruh pada jaman itu.
Buruh sungguh-sungguh berlawan. Proletariat berandil bagi terbentuknya negara bangsa. Jauh sebelum priyayi Jawa berhimpun dalam paguyuban ekslusifnya, -yang kemudian jaman disebut sebagai Hari Kebangkitan Nasional-, kelas buruh lebih dulu berhimpun dalam SS Bond di tahun 1905. Saat priyayi terdidik membebek pada kemauan Belanda, berpuas diri dengan Volksraad, tidak dengan kelas buruh, mereka terus berlawan dengan gigih.
Kita membaca cuplikan kecil sejarah ini sekarang, pada bulan dimana peringatan Hari Kemerdekaan akan segera digelar. Seperti yang sudah-sudah, pada waktu itu kepala negara akan membacakan pidato tahunan. Sementara kali ini buruh-buruh berencana menggelar protes terkait revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan, diwaktu yang sama. Setelah 74 tahun berlalu, kelas buruh mendapati dirinya melawan Republik yang ikut mereka dirikan. Republik yang sudah lama menggencet hidup mereka. Republik yang sejak mula pendiriannya, (mungkin) bukan untuk mereka.
***