Di penghujung tahun 2020, kita dapat menyaksikan letupan kemarahan gerakan rakyat yang terjadi di hampir seluruh wilayah di Indonesia. Setidaknya ada 60 kota/kabupaten yang turut berkontribusi melakukan pergerakan melawan kebijakan pemerintah yang dinilai sangat merugikan rakyat dan hanya menguntungkan segelintir orang yang kita sebut oligarki yang sejatinya mereka adalah sekelompok pemodal yang menguasai intitusi Negara.
Kebangkitan kemarahan gerakan rakyat yang terjadi di Indonesia maupun di luar negeri diiringi dengan krisis KAPITALISME yang hingga saat ini belum juga menemukan jalan keluarnya. Aksi-aksi yang melibatkan massa secara luas juga terjadi dibeberapa Negara, sebut saja Thailand, Hongkong, India dan bahkan juga terjadi di Negara KAPITALIS Amerika Serikat yang kemudian dikenal dengan gerakan Black Lives Matter.
Dari sekian banyak aksi-aksi massa yang terjadi tentunya tidak terlepas dari ketidakpuasan terhadap sistem tatanan masyarakat yang berlaku saat ini yaitu sistem KAPITALISME. System kapitalisme telah tebukti gagal membawa beradaban umat manusia menjadi lebih baik, ketidakadilan yang diciptakan oleh system kapitalisme telah menghantarkan kepada jurang pemisah yang cukup lebar antara si “kaya” dengan si “miskin”. Terlebih lagi kapitalisme hanya melahirkan krisis demi krisis yang semakin hari semakin mencekik kehidupan rakyat miskin.
Krisis berlapis sedang terjadi dihadapan rakyat indonesia, pertumbuhan ekonomi terjun bebas bahkan nyungsep hingga minus 5,32% dikaurtal ke 2, meskipun laporan Menteri Keuangan sedikit memberikan angin segar di kuartal ke 3 yang mengalami kontraksi pertumbuhan menjadi sebesar minus 3,49% namun tetap saja minus, tidak ada perbaikan ekonomi yang cukup signifikan dan secara teori ekonomi ketika pertumbuhan ekonomi mengalami minus 2 kali secara berturut-turut maka sudah bisa dipastikan kita masuk ke dalam kategori Resesi ekonomi.
Krisis kesehatan yang dilahirkan dari pandemic covid 19 juga semakin menambah rentetan persoalan yang kemudian berdampak kepada semakin merosotnya perekonomian nasional. Tidak selesai sampai disitu, kemerosotan ekonomi secara nasional dan badai pandemic covid 19 yang tak kunjung mereda justru dijadikan alasan bagi perusahaan dan para pengusaha untuk melakukan kebijakan efesiensi yang berujung pada semakin maraknya proses PHK massal yang dialami oleh kaum buruh di Indonesia. Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) mencatat hingga 31 Juli 2020, jumlah pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja ( PHK) maupun dirumahkan mencapai 3,5 juta lebih (Jakarta, kompas.com).
Krisis demi krisis telah mengajarkan pada kita bahwa KAPITALISME telah gagal sebagai system dalam tatanan masyarakat dunia yang dapat melindungi dan mensejahterakan rakyat miskin. Tidak ada satupun dari lembaga internasional (WTO, IMF, WB, PBB, WHO, ILO, dll) yang kemudian mampu memberikan solusi dari semua persoalan krisis berlapis yang sedang dialami oleh masyarakat dunia.
Tidak ada satupun perusahaan atau pengusaha yang kemudian memberikan insentif bagi para buruhnya selama badai pandemic covid 19 menghantam kehidupan kaum buruh, justru yang terjadi adalah kaum buruh semakin terdegradasi tingkat kesejahteraannya bahkan terancam kehilangan pekerjaannya (sudah jatuh tertimpa tangga). Tidak ada satu pun lembaga pendidikan baik yang swasta maupun negeri (punya pemerintah) yang kemudian menggratiskan biaya pendidikannya selama pendemic covid 19 berlangsung, seluruh peserta didik tetap dibebankan biaya pendidikan meskipun belajar dari rumah. Tidak ada satupun rumah sakit yang kemudian memberikan fasilitas khusus kepada rakyat miskin dan membebaskan semua biaya pengobatan selama pandemic covid 19 melanda seluruh lapisan masyarakat. Yang ada adalah Rakyat bantu Rakyat selama badai Pandemic Covid 19 dan krisis ekonomi menerpa sendi-sendi kehidupan masyarakat.
Selama Pandemic Covid 19, beberapa serikat Tani mengumpulkan hasil panennya dan kemudian didonasikan secara cuma-cuma kepada kaum buruh dan masyarakat perkotaan yang terkena dampak secara langsung dari Pandemic Covid 19. Begitupun sebaliknya serikat Buruh bekerja sama dengan Konsorsium Pembaruan Agraria membangun Gerakan Solidaritas Lumbung Agraria (GESLA) untuk menyerap beras dan beberapa hasil produksi serikat-serikat petani yang sempat mengalami kesulitan untuk mendistribusikan hasil panennya karena dibeberapa daerah mengalami lockdown atau menerapkan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) yang mengakibatkan para petani kesulitan mendistribusikan hasil panennya ke wilayah-wilayah yang biasanya menyerap hasil panen para petani. GESLA dengan sistem memberikan subsidi langsung terhadap proses pengepakan beras dan distribusi beras langsung ke konsumen, hal hasil kawan-kawan buruh diperkotaan bisa menikmati kualitas beras yg baik dengan harga terjangkau. Gerakan “Rakyat Bantu Rakyat” juga mengajarkan kepada kita bahwa dengan menerapkan sistem ekonomi yang berbasis kerakyatan, dapat memberikan manfaat ekonomis yang lebih besar secara langsung kepada rakyat. Setidaknya gerakan ini mampu memotong rantai distribusi (yang selama ini hanya menguntungkan dan dimanfaatkan oleh para tengkulak). Selama 5 bulan berjalan, GESLA mampu menyerap kurang lebih sekitar 40 Ton beras semasa Pandemic Covid 19.
Di tengah kecarut-marutan situasi ekonomi dan politik nasional, pemerintah dan DPR RI yang seharusnya fokus terhadap penanggulangan pandemic covid 19 yang sudah banyak merenggut nyawa rakyat Indonesia, justru malah mengeluarkan satu kebijakan Omnibus Law Cilaka yang kemudian berpotensi menambah persoalan bagi rakyat, merampas kesejahteraan kaum buruh, mempermudah perampasan tanah yang dilakukan oleh korporasi terhadap kaum tani, merampas masa depan kaum pemuda dan pelajar, merusak lingkungan dan semakin mempersempit ruang-ruang demokrasi, termasuk diskriminasi terhadap kaum perempuan.
Dari sekelumit refleksi persoalan yang terjadi saat ini, maka dapat disimpulkan bahwa sudah tidak bisa lagi rakyat menaruh harapan kepada kekuatan politik oligarki yang berkuasa saat ini, yang kelakuannya tak ubah layaknya seperti seorang bandit yang suka merampok uang rakyat (dana bansos pun ikut dikorupsi). Kemunculan gerakan rakyat secara spontan yang dipimpin oleh kaum muda haruslah dikanalisaikan dalam sebuah wadah persatuan nasional yang bersifat strategis, sehingga sikap politik yang diimplementasikan dalam sebuah jargon #MossiTidakPercaya haruslah menemui jalan PERSATUAN yang kemudian dapat memperkuat PERJUANGAN rakyat dikemudian hari.