Puisi dan Petikan Hidup Seorang Buruh FOXCONN: XU LIZHI (1990-2014)

Terjemahan tim proyek Nao ini dimulai dengan puisi perpisahan dan obituari Xu lalu diikuti oleh puisi lain dari tahun 2011 hingga 2014. Dengan menerjemahkan puisi-puisi ini, tim Nao ingin mengenang Xu, menyebarkan beberapa karya sastranya yang luar biasa, dan menyadarkan pembaca akan kondisi buruh yang sengsara, akan perjuangan dan aspirasi buruh migran Tiongkok (termasuk tetapi tidak terbatas di Foxconn) yang belum reda sejak rentetan 18 percobaan bunuh diri di Foxconn yang terungkap luas pada tahun 2010 dan memakan 14 korban jiwa. Orang dalam perusahaan melaporkan bahwa setelahnya, meskipun frekuensi bunuh diri menurun (terutama karena pemasangan jaring Foxconn yang makin mempersulit pekerja untuk bunuh diri dengan cara melompat dari asrama mereka, dan bekembangnya penolakan buruh secara kolektif terhadap aksi bunuh diri), bunuh diri terus berlanjut hingga saat ini. Termasuk Xu Lizhi, setidaknya 8 kasus muncul di media sejak 2010, tetapi orang dalam perusahaan mengatakan bahwa banyak kasus lain belum dilaporkan. Tim Nao berharap bahwa kelak para pekerja di Foxconn dan di tempat lain berhasil menghadapi sistem pendisiplinan dan pengawasan ala militer di perusahaan tersebut, bahu-membahu, dan membangun perjuangan kolektif untuk lepas dari lubang maut kapitalis ini, menuju dunia yang layak untuk dihidupi. “Jangan menyerah!” pesan tim Nao kepada kawan-kawan buruh di Foxconn khususnya.
Beberapa puisi yang disertakan dalam artikel ini ada dalam artikel Shenzhen Evening News; yang lain banyak tersedia di web, seperti terbitan di Douban. Artikel berbahasa Inggris dari tim Nao dapat dibaca di sini.
Foxconn memproduksi produk elektronik untuk perusahaan-perusahaan besar Amerika, Kanada, Cina, Finlandia dan Jepang. Produk-produk populer yang diproduksi oleh Foxconn termasuk BlackBerry, iPad, iPhone, iPod, Kindle, Nintendo 3DS, perangkat Nokia, perangkat Xiaomi, PlayStation 3, PlayStation 4, PlayStation 4, Wii U, Xbox 360, Xbox One, dan soket CPU TR4 pada beberapa motherboard.
Di Indonesia sendiri, Foxconn pernah menyatakan niat untuk mendirikan pabriknya di pulau Jawa sejak tahun 2012. Tetapi hingga tahun ini, kemungkinan besar rencana pendirian pabrik Foxconn tersebut batal karena gagalnya kesepakatan antara pemerintah Indonesia dan wakil perusahaan tersebut. Sebagai gantinya, ia mendirikan anak perusahaan lokal di Batam bernama PT. Infocus Consumer International (ICI).
Dalam investigasi terhadap Foxconn yang dilakukan oleh China Labor Watch, ada temuan bahwa para pekerja lini produksi Foxconn dipaksa untuk bekerja. Selain itu, karena gaji pokok Foxconn sebesar 900 RMB per bulan, sekitar Rp 1.900.000 per bulan, tidak cukup untuk menutupi biaya hidup dasar di kota asalnya, Shenzhen, pekerja Foxconn tidak punya pilihan selain bekerja lembur dalam jumlah besar untuk menghidupi diri sendiri dan keluarga mereka, dan selalu, seperti yang dikemukakan oleh pekerja di departemen produksi komputer, “sangat lelah,” dan “di bawah tekanan yang berat.”
Rata-rata, pekerja di departemen ini harus melakukan tugas kerja yang terpisah setiap tujuh detik, masing-masing tugas tersebut menuntut mereka untuk selalu berkonsentrasi penuh. Lebih dari sepuluh jam shift, mereka diharuskan untuk merakit 4.000 komputer. Seperti yang dikemukakan seorang pekerja, “kami bekerja setiap hari agar lebih cepat daripada mesin.” Dalam lingkungan kerja seperti ini, mudah saja membayangkan rusaknya kondisi manusia yang normal.
Sepanjang kerjanya, Ma melakukan 11 jam kerja, 7 malam seminggu, merakit plastik dan logam ke bagian-bagian elektronik di tengah bau dan debu kimia di pabrik perakitan.
Ma telah bekerja setidaknya sepanjang 286 jam pada bulan sebelum bunuh dirinya, termasuk 112 jam kerja lembur. Kerja ratusan ribu buruh di Foxconn inilah yang berkontribusi pada hal yang digembar-gemborkan sebagai mukjizat ekonomi Tiongkok minimal 1 dekade terakhir. Kelas pekerja, sang kuli murah lah yang berada di balik pertumbuhan ekonomi ini.
Banyak buruh mengeluhkan tekanan dan pendisiplinan ala militer oleh para atasan dan plang-plang peringatan yang harus dibaca nyaring oleh para buruh, dan juga terkadang paksaan untuk bekerja 13 hari berturut-turut demi memenuhi pesanan klien besar, bahkan saat hal ini memaksa para buruh untuk tidur di lantai-lantai pabrik.
Laporan China Labor Watch serupa menjelaskan bahwa, pada 2008, Foxconn mengekspor produk senilai US $ 55,6 Miliar dari Tiongkok. Dengan sekitar 800.000 karyawan di Tiongkok, dan setiap karyawan mendapatkan gaji rata-rata USD 150 per bulan, setara Rp 2.100.000, total pengeluaran gaji Foxconn untuk tahun tersebut hanya USD 1.44 Miliar, atau hanya 2.6% dari seluruh penjualannya dari Tiongkok.
Tidak ada manusia yang diciptakan hanya untuk bekerja, apalagi dalam kerja paksa dalam sistem kerja upahan. Kerja adalah jalan untuk aktualisasi diri, selain menikmati manfaat material dari jerih payahnya. Namun, di bawah kapitalisme, kerja hanyalah lubang neraka tempat para pekerja dipaksa untuk memenuhi target-target produksi kapitalis untuk menambah besar profit ke kantong-kantong para bos. Di banyak kasus di negara Dunia Ketiga, dan di balik gembar-gembor pertumbuhan ekonomi kekuatan-kekuatan kapitalis global baru seperti Tiongkok, kehidupan kelas pekerja dikorbankan: upah murah, jam kerja terlampau berlebih, kondisi kerja yang buruk, sistem pendisiplinan yang tidak manusiawi dan penuh kekerasan, dan banyak lagi lainnya. Kondisi lingkungan kerja yang sangat buruk ini didokumentasikan dengan baik salah satunya lewat film dokumenter The Price of Electronics yang menggambarkan bagaimana buruh-buruh pabrik elektronik seperti Foxconn terpapar bahan kimia berbahaya, Benzene, yang menyebabkan mereka menderita kanker darah.
Selain bunuh diri yang makin merebak beberapa tahun belakangan, mogok dan kerusuhan juga pernah meledak di kalangan para buruh. Pada tahun 2010, sekitar 2000 buruh melakukan kerusuhan di salah satu pabrik Foxconn di kota Taiyuan di provinsi Shanxi, Tiongkok. Kerusuhan ini muncul karena pihak keamanan pabrik memukuli salah seorang buruh.
Foto yang diunggah oleh Li Tian ke situs menunjukkan kerusakan yang cukup besar termasuk kendaraan yang terbakar, jendela yang pecah dan ribuan polisi yang dilengkapi dengan tameng, helm dan pentungan. Pemerintah Tiongkok menurunkan sekitar 5000 personel polisi, belum termasuk tentara, untuk meredam kerusuhan ini.
Obituari + “Di Ranjang Kematianku” (2014)
“Konflik” (2013)
“Aku Tertidur, Berdiri Seperti Itu Saja” (2011)
“Sekrup Jatuh Ke Tanah” (2014)
“Semacam Ramalan” (2013)
“Kuburan Terakhir” (2011)
“Selesainya Jalan Hidupku Masih Jauh” (2014)
“Aku Menelan Bulan Besi” (2013)
“Kamar Kos” (2013)
“Setelah Berita Bunuh Diri Xu Lizhi” oleh Zhou Qizao, sesama buruh Foxconn (2014)
Obituari dari Shenzhen Evening News, termasuk puisi perpisahan Xu
oleh Li Fei dan Zhang Xiaoqi
10 Oktober 2014
Di Ranjang Kematianku
Aku ingin menatap samudera sekali lagi, lihatlah luasnya air mata dari setengah kehidupan
Aku ingin mendaki gunung lagi, mencoba memanggil kembali jiwa yang telah hilang
Aku ingin menyentuh langit, merasakan cahaya biru yang terang-benderang itu
Tetapi aku tak dapat melakukan semua itu, jadi aku tinggalkan dunia ini
Semua orang yang tahu tentang aku
Tak perlu terperanjat dengan kepergianku
Apalagi bersedih atau meratap
Aku baik-baik saja saat datang,
Aku baik-baik saja saat pergi.
— Xu Lizhi, 30 September 2014
Pemalu, pendiam, introvert, penyendiri
Pada tahun 2010, Xu Lizhi meninggalkan [rumahnya di pedesaan Jieyang, Guangdong] untuk bekerja di sebuah pabrik elektronik Foxconn di Shenzhen, memulai hidup dengan menjadi buruh perakitan. Dari tahun 2012 hingga Februari tahun 2014, lebih dari 30 tulisannya diterbitkan di surat kabar internal Foxconn, Foxconn People (富士康 人), termasuk puisi, esai, ulasan film, dan komentar berita {…} Xu memuat judul tulisan-tulisan ini di blognya dalam tulisan berjudul “The Maturation Given To Me by Newspaper,” yang berisi rasa terima kasihnya kepada media tersebut yang telah memuat aspirasi sastranya. Pertama kali, temannya Zheng (nama samaran) membaca puisi Xu, dia takjub dan menyadari bahwa Xu sangat berbakat. Sejak saat itu, Zheng selalu mencari tulisan-tulisan Xu di surat kabar.
Bagi Zheng, Xu adalah laki-laki yang pemalu, “suka berbicara sedikit saja, tetapi tidak pendiam.” “Xu menegaskan keyakinannya, tetapi dia tampak sangat menyendiri – sangat mirip dengan seorang penyair.” Ketika Zheng mendengar kabar bahwa Xu bunuh diri, seluruh [liburannya selama seminggu] selama Hari Nasional [Tiongkok] diselimuti kesedihan. Dia tidak sanggup keluar rumah selama berhari-hari.
Mengubah perasaan menjadi puisi; takut keluarga tahu
Sebagian besar puisi awal Xu merupakan gambaran kehidupannya dalam kerja perakitan. Dalam “Bengkel Perakitan, Masa Muda Saya Terdampar di Sini,” dia menggambarkan kondisinya pada saat itu: “Di samping pabrik perakitan, puluhan ribu pekerja [dagongzhe]1 berbaris bak kata-kata di halaman / Cepat, lebih cepat!’ / Saya berdiri di antara mereka, mendengar pengawas menyalak.” Dia merasa bahwa “Setelah masuk bengkel / Satu-satunya pilihan adalah pasrah,” dan bahwa masa mudanya sirna tanpa perasaan, sehingga ia hanya bisa “Menyaksikannya menghilang siang dan malam/ Dipres, dipoles, dicetak / Jadi beberapa bagian kecil, yang disebut upah. ”
Pada awalnya, Xu Lizhi merasa sulit beradaptasi dengan peralihan antara waktu luang dan waktu tidur malam yang terjadi terus-menerus. Dalam puisi lain, dia menggambarkan dirinya saat berada di pabrik perakitan “berdiri tegak seperti besi, tangan seperti melayang,” “Berapa hari, berapa malam kah / Apakah aku – begitu saja – berdiri, tertidur?” Dia menggambarkan kehidupan kerjanya yang melelahkan, “Mengalir melalui pembuluh darahku, akhirnya sampai di ujung penaku / Mengakar di kertas / Kata-kata ini hanya bisa dibaca oleh hati para pekerja migran.”
Xu pernah berkata bahwa dia tidak pernah menunjukkan puisinya kepada orang tuanya atau kerabat lainnya, “karena ini menyakitkan; saya tidak ingin mereka tahu.”
Gagal untuk mendapatkan pekerjaan yang berkaitan dengan buku
Meskipun Xu tinggal di Shenzhen hanya beberapa tahun, dia merasa dirinya dekat sekali dengan kota. “Semua orang berharap mereka bisa punya akar di kota,” jelas Xu, tetapi mayoritas penyair pekerja migran [dagong] menulis selama beberapa tahun dan kemudian kembali ke pedesaan, menikah dan punya anak; Xu ingin menghindari nasib itu. Dia mencoba mendirikan kios jalanan dengan seorang teman, tetapi gagal. Dia juga mencoba pindah dari bagian perakitan ke posisi logistik, tempat dia akan memiliki lebih banyak kebebasan. Dia mengerti bahwa sangat sedikit penyair yang bisa keluar [走出 来]: “[kita] harus terus berjuang untuk hidup kita [为 生活 奔波]; sulit untuk melangkah lebih jauh dari itu.”
Pada bulan Februari tahun ini, Xu berhenti dari pekerjaannya di Foxconn dan pindah ke Suzhou, Jiangsu. Temannya menjelaskan bahwa pacar Xu bekerja di sana, tetapi ternyata banyak hal yang berjalan di luar rencana Xu di Jiangsu. Dia memberi tahu Zheng bahwa dia sulit mencari pekerjaan, tetapi dia tidak menceritakan secara detail tentang hal yang terjadi di sana.
Setengah tahun kemudian, dia pindah kembali ke Shenzhen. Dalam wawancara sebelumnya, Xu mengatakan bahwa dia mencintai kota ini, bahwa dia senang luar biasa saat berada di Central Book Mall dan perpustakaan umum. Jika dia kembali ke rumah [ke pedesaan Jieyang], hanya ada beberapa toko buku kecil, dan “bahkan jika saya mencoba memesan buku secara online, bukunya tidak dapat dikirim” [ke alamatnya yang terpelosok].
Karena kecintaannya pada buku, lamaran pekerjaan pertama yang dia kirimkan setelah kembali ke Shenzhen pada awal September adalah ke Central Book Mall. Zheng ingat bahwa Xu telah memberitahunya, ketika bekerja di Foxconn, bahwa mimpinya adalah menjadi pustakawan. Sayangnya, dia tidak mendapatkan pekerjaan itu, dan Zheng berpikir Xu kecewa berat. Dua tahun sebelumnya, Xu melamar sebagai pustakawan di perpustakaan internal Foxconn untuk karyawan, tetapi ditolak juga. {…}
Kembali ke bengkel selama sehari sebelum kejadian
Xu kehabisan uang. Setelah kekecewaan tersebut, dia kembali ke Foxconn, mulai bekerja pada 29 September, di bengkel yang sama tempat dia bekerja sebelumnya. Ini seharusnya merupakan awal yang baru, tetapi ternyata tidak. Malam itu dia mengatakan kepada Zheng lewat obrolan online bahwa ada yang telah menemukannya pekerjaan lain, sehingga dia mungkin meninggalkan Foxconn lagi, tetapi Zheng tidak berpikir macam-macam soal ini, toh Xu tidak akan segera pergi, karena dia baru saja kembali bekerja di Foxconn.
Selanjutnya Zheng mendengar kabar tentang Xu dua hari kemudian, ketika orang-orang membahas berita tentang bunuh diri Xu di WeChat. Zheng kaget, tak percaya: “Bukankah aku baru mengobrol dua hari yang lalu dengannya?” Belakangan Zheng tahu bahwa Xu bunuh diri pada pagi hari setelah mereka berbincang-bincang, bukan dua hari kemudian seperti yang dilaporkan media.
Membantah rumor online bahwa Xu adalah seorang yatim piatu
[Meskipun sudah 10 hari sejak kematian Xu], Zheng masih tidak dapat meredam kesedihannya. Dia menganggap bahwa bunuh diri Xu diakibatkan oleh faktor internal dan eksternal: bukan hanya kekecewaan yang dia alami, tetapi bahkan lebih dari itu, roh puitis kesepian di tulang-tulangnya.[2]Setelah Xu meninggal, beberapa obituari online menyatakan bahwa Xu adalah anak yatim piatu sejak kecil, diabaikan dan dihina sampai seorang wanita tua yang miskin mengadopsi dan membesarkannya, dan bahwa nenek angkat ini meninggal beberapa tahun yang lalu, meninggalkan Xu sendirian di dunia.
Zheng [membantah desas-desus ini, menunjukkan bahwa] tulisan Xu sering menyebut ibunya dan kerinduannya. Puisi kedua yang diterbitkan di Foxconn People [misalnya], disebut “RIndu Rumah di Musim Panas.”
Puisi Xu dingin dan penuh lamunan, berhadapan langsung dengan derita hidup. Puisi-puisinya menelusuri jalan setapak tempat aroma kematian jadi semakin jelas. Dia sudah melakukan gladi bersih ratusan kali dengan kematian dalam tulisannya. Jadi tindakan terakhirnya hanyalah langkah kecil di ujung hayatnya.
Konflik
Mereka semua berkata
Aku anak yang jarang bicara
Betul memang
Namun sebenarnya
Entah berbicara atau tidak
Dengan masyarakat ini aku akan tetap
Konflik
— 7 Juni 2013
Aku Tertidur, Berdiri Seperti Itu Saja
Kertas di hadapanku memudar kuning
Dengan pena baja, kupahat ia dengan warna hitam yang tak rata
Penuh istilah kerja
Bengkel, pabrik perakitan, mesin, kartu pabrik, lembur, upah …
Mereka melatihku jadi jinak
Tak tahu cara berteriak atau memberontak
Cara mengeluh atau mencela
Hanya cara menderita lelah diam-diam
Ketika pertama kali menginjakkan kaki di tempat ini
Aku hanya mengharapkan slip gaji abu-abu pada tanggal sepuluh setiap bulan
Sebagai pelipur lara yang terlambat
Demi slip itu aku harus mengikis amarah, menghaluskan kata-kataku
Menolak bolos kerja, cuti sakit, cuti untuk tujuan pribadi
Menolak datang terlambat, menolak pulang kerja lebih awal
Di pabrik perakitan aku berdiri tegak seperti besi, tangan seperti melayang,
Berapa hari, berapa malam kah
Aku tidur berdiri – seperti itu?
— 20 Agustus 2011
Sekrup Jatuh ke Tanah
Sebuah sekrup jatuh ke tanah
Di malam lembur yang gelap ini
Jatuh ke bawah, berdenting
Ia tak akan menarik perhatian siapa pun
Sama seperti sebelumnya
Di malam seperti ini juga
Seseorang ambruk ke tanah.
— 9 Januari 2014
Semacam Ramalan
Kata orang-orang tua di desa
Aku mirip kakekku saat muda
Aku tak menyadarinya
Tapi semakin kudengarkan mereka lagi dan lagi
Ternyata betul juga
Kakek dan aku punya
Ekspresi wajah
Temperamen, dan hobi yang sama
Hampir seolah-olah kami lahir dari rahim yang sama
Orang-orang desa memanggil kakek “batang bambu”
Sementara aku, “jemuran baju”
Kakekku sering memendam perasaannya
Sementara aku penurut
Dia senang menjawab teka-teki
Aku menggemari firasat
Pada musim semi tahun 1943, setan-setan Jepang menyerbu
membakar kakek hidup-hidup
Di umur 23.
Tahun ini umurku 23.
— 18 Juni 2013
Kuburan Terakhir
Bahkan mesin pun terkantuk-kantuk
Bengkel-bengkel yang digembok menyimpan besi berkarat
Upah disembunyikan di balik tirai
Bak cinta yang dikubur oleh buruh-buruh muda di dasar hati mereka
Tanpa waktu untuk mengekspresikan diri, emosi luluh jadi debu
Perut mereka ditempa oleh besi
Penuh dengan asam, sulfur dan nitrat
Industri menangkap air mata mereka sebelum sempat jatuh
Waktu berlalu, kepala-kepala mereka lenyap dalam kabut
Produksi memangkas umur mereka, sengsara bekerja siang dan malam
Dalam hidupnya, pening selalu siap menyerang kepala
Alat solder memaksa kulit mengelupas
Dan kelupasannya menempel pada pelat-pelat campuran alumunium
Beberapa masih bertahan, sementara yang lain mati karena sakit
Aku bertahan di antara mereka, menjaga
Kuburan terakhir buruh-buruh muda.
— 21 Desember 2011
Selesainya Jalan Hidupku Masih Jauh
Tak ada yang mengira
Selesainya jalan hidupku
Masih jauh
Tapi sekarang terhenti di tengah-tengah
Bukannya belum pernah seperti ini
Tetapi belum pernah
Setiba-tiba
Semenderita
Perjuangan yang tanpa henti
Tapi semuanya sia-sia
Aku ingin bangkit lebih sering dari yang lain
Tapi kakiku tak mau
Perutku tak mau
Semua tulang di tubuhku tak mau
Aku hanya bisa tergeletak
Dalam kegelapan ini, mengirimkan
Tanda darurat, lagi dan lagi
Hanya untuk mendengar, lagi dan lagi
Gema putus asa.
— 13 Juli 2014
Aku Menelan Bulan Besi
Aku menelan bulan besi
Paku sebutannya
Aku menelan limbah industri ini, dokumen-dokumen pengangguran ini
Buruh-buruh muda yang membungkuk pada mesin
mati sebelum waktunya
Aku menelan kesesakan dan kemelaratan
Menelan jembatan-jembatan pejalan kaki, hidup bergelimang karat
Aku tak bisa menelan lagi
Semua yang kutelan kini ingin kumuntahkan
Keluar dan terurai di tanah para leluhurku
Menjadi puisi yang memalukan.
— 19 Desember 2013
Kamar Kos
Ruang 10 meter persegi
Sempit dan lembap, tanpa cahaya matahari
Di sini aku makan, tidur, berak, dan berpikir
Batuk, pusing, tua, sakit tapi tetap gagal mampus
Di bawah sinar kuning yang pucat lagi, aku menatap kosong, terkekeh seperti orang idiot
Aku bergulat, bernyanyi lirih, membaca, menulis puisi
Setiap kali aku membuka jendela atau pintu rotan kamarku
Aku seperti mayat
Perlahan membuka peti mati.
— 2 Desember 2013
Setelah Kabar Bunuh Diri Xu Lizhi
Oleh Zhou Qizao, sesama buruh Foxcon
Matinya setiap hidup
Adalah matinya aku sekali lagi
Sekrup-sekrup sekali lagi lepas
Kawan buruh migran sekali lagi lompat bunuh diri
Kau mati di lubuk hatiku
Dan aku terus menulis di lubuk hatimu
Saat melakukannya, aku mengencangkan sekrup-sekrupnya
Hari ini adalah HUT bangsa kita yang keenam puluh lima
Semoga perayaannya meriah
Kau yang berumur dua puluh empat berdiri dalam pigura gambar abu-abu, tersenyum simpul
Angin dan hujan musim gugur berlalu
Seorang ayah kepalanya penuh uban, memegang guci hitam abu jasadmu, berjalan pulang.
— 1 Oktober 2014
- Dari tahun 1990-an sampai tahun 2000-an, dagongzhe, yang khususnya merujuk pada buruh-buruh migran dari daerah pedesaan, seringkali bekerja dalam bahaya, berbeda dengan kaum urban yang bekerja di posisi yang stabil (biasanya di perusahaan-perusahaan milik negara), yang disebut gongren, istilah yang muncul pada era sosialis untuk “pekerja” perkotaan yang memiliki posisi permanen di perusahaan milik negara dan kolektif. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, kedua istilah ini menjadi saling tertukar (mungkin mencerminkan konvergensi kondisi di antara berbagai jenis pekerja), jadi di sini kami menerjemahkandagongzhe hanya sebagai “pekerja.” (Dalam artikel ini kami tambahkan “migran” dalam beberapa kasus yang tampaknya membutuhkan penjelasan; secara umum, istilah tersebut mencerminkan ambiguitas status pekerja migran di Tiongkok saat ini – karena pekerja dibedakan dari pekerja lain, bukan sebagai kaum urban maupun petani – melainkan agak seperti status ambigu pekerja migran internasional di negara lain, seperti orang-orang dari Meksiko pedesaan yang bekerja di AS.) Untuk mengetahui pembahasan tentang dua istilah yang digunakan pada tahun 2000-an ini, coba pelajari “Pekerja Migran Tiongkok” oleh Prol-position, dan pengantar “Made in China” oleh Pun Ngai (Duke University Press, 2005).
- Kami di Nao ingin menunjukkan bahwa penjelasan ini mengabaikan kebencian mendalam terhadap hidup di pabrik perakitan yang tercermin begitu jelas dalam banyak puisi Xu di atas dan diterjemahkan di bawah ini, ditambah dengan keputusasaannya setelah berulang kali gagal menemukan jalan hidup yang lebih memuaskan, termasuk kemungkinan untuk pulang ke desa yang tak punya apa pun dan miskin, tempat dia tak akan dapat lagi mengakses buku-buku – sumber utama kebahagiaan dan makna hidupnya (dan – mungkin – kemungkinan hidup bersama kekasihnya atau menikah, yang membutuhkan lebih banyak uang daripada yang bisa Xu peroleh di pedesaan). Akun ini juga gagal menjelaskan mengapa begitu banyak pekerja lain – di Foxconn dan di tempat lain – memilih untuk bunuh diri – bahkan pekerja yang bukan penyair.