Di dalam negeri hingga saat ini tidak terdapat aturan hukum guna memberikan perlindungan hukum bagi Pekerja Rumah Tangga (PRT). Perlindungan hukum dirasa penting guna mencegah dampak terjadinya tindakan kekerasan, baik secara fisik, psikis, dan seksual. Termaksud didalamnya eksploitasi fisik dan jam kerja. Hingga sekarang negara tampak masih lepas tangan terhadap kaum perempuan yang berpeluh di sektor ini.
Di sektor lain, perempuan masih menjadi komponen mayoritas dalam komposisi Pekerja Migran Indonesia (PMI). Berdasar survey Migrant Care, tercatat sepanjang tahun 2013-2018 terdapat 584.482 PMI dan bekerja sebagai Pekerja Rumah Tangga (PRT). Dari jumlah tersebut sebanyak 99% merupakan perempuan.
Beberapa persoalan yang dihadapi oleh PMI yang bekerja sebagai PRT diantaranya adalah kerentanan pada persoalan hukum, jam kerja, hingga tindak kekerasan yang berujung kematian. Ragam persoalan juga menerpa PMI yang tidak bekerja sebagai PRT.
Cakupan persoalan yang menimpa mereka dimulai dari mendapat hukuman berat, masalah upah, hak untuk libur, hak untuk beribadah hingga lain-lain persoalan pekerja migran. Data Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) menunjukkan sepanjang 2012-2018 sebanyak 1.288 PMI meninggal di berbagai negara.
Malaysia merupakan negara penempatan yang menduduki posisi tertinggi angka kematian PMI, jumlahnya sebanyak 462 kasus. Menyusul kemudian Arab Saudi sebanyak 224 kasus. Selanjutnya Taiwan (176 kasus), Korea Selatan (59 kasus), Brunai Darussalam (54 kasus) dan Hongkong (48 kasus). Bila dirata-rata tiap tahun sebanyak 214 pekerja migran tewas di berbagai negara atas berbagai sebab. Sungguh angka yang cukup menguras emosi.
Masalah lain yang cukup menonjol terkait PMI terkait praktek perdagangan manusia. Merujuk data Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) tahun 2014 dari total kasus perdagangan manusia sebanyak 7.193 orang, terindikasi 92,46% korban berasal dari Indonesia.
Kebanyakan korban perdagangan manusia adalah perempuan dan anak. Laporan Fellowship untuk Jurnalis menyatakan perempuan memiliki tingkat kerentanan tertinggi atas praktek perdagangan manusia. Sebanyak 4.888 (73 %), anak perempuan 950 (14 %), laki-laki dewasa 647 (10 %) dan selanjutnya anak laki-laki 166 (2,5%)
Dalam berbagai masalah PMI setidaknya terdapat beberapa hal yang perlu disorot. Negara dinilai tidak memberikan perlindungan yang memadai bagi warga negara yang mengalami persoalan hukum di negara yang menjadi tempat kerjanya. Pada kasus perdagangan manusia penegakan hukum dirasa masih lemah, khususnya terkait tingkat vonis hukuman yang sangat ringan bagi para pelaku.
Salah satu sebab rendahnya hukuman bagi pelaku yaitu akibat masih lemahnya pemahaman aparat dalam menerapkan UU No 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Aparat cenderung untuk menggunakan Undang-Undang yang ancaman hukumannya lebih rendah dari UU TPPO.
Selanjutnya hak-hak korban perdagangan manusia dipandang masih terabaikan, khususnya hak untuk mendapatkan pemulihan dan restitusi (ganti rugi). Walaupun telah diatur dalam UU No 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, namun masalah ganti rugi ini masih banyak mengalami hambatan dalam proses eksekusi.
Praktek penegakan hukum juga diperburuk oleh tidak berjalannya asas persamaan hak di muka hukum. Persoalan TPPO yang melibatkan orang yang kuat secara finansial dan kedudukan, kerap membuat korban terpinggirkan. Persis diantara tumpukan masalah semacan inilah PRT dan PMI perempuan akan menyambut Hari Perempuan Internasional beberapa hari kedepan.
****
Penyusun: Komite International Women Day 2019