Dibawah kepemimpinan rezim neolib anti rakyat dan anti demokrasi Jokowi-JK lagi-lagi Negara hanya menjadi alat penghisapan dan penindasan bagi penguasa dan pemilik modal. Negara tidak pernah hadir dalam menyelesaikan persoalan rakyat, berbagai macam persoalan yang menimpa rakyat mayoritas saat ini mulai dari perampasan tanah bagi kaum tani, politik upah murah, pemberangusan ruang demokrasi bagi kelas buruh, penggusuran bagi rakyat miskin perkotaan, mahalnya biaya pendidikan bagi mahasiswa, sulitnya mengakses pendidikan tinggi bagi pemuda-pemudi Indonesia, minimnya lapangan pekerjaan bagi rakyat, tidak adanya jamninan kesehatan yang layak bagi rakyat, hinga meningginya harga kebutuhan pokok dan masih banyak lagi persoalan lainnya yang tidak mampu diselesaikan oleh Negara, menjadi bukti bahwa Negara tidak benar-benar serius dalam memposisikan keberpihakhannya kepada rakyat.
Dalam hal ini secara khusus kita akan melihat persoalan yang tengah dihadapi oleh buruh yang bekerja di PT. Fajar Mitra Indah (FMI) yang merupakan Divisi Warehouse (Gudang) FamilyMart Indonesia. PT. FMI yang beralamat di Kampung Cikedokan, Desa Sukadanau, Kecamatan Cikarang Barat, Kabupaten Bekasi, Provinsi Jawa Barat yang sudah beroperasi sejak tahun 2012 silam. Dimana hak-hak normatif yang seharusnya sudah di dapatkan para buruh, seperti pengangkatan sebagai karyawan tetap, upah layak dan berbagai tunjangan yang seharusnya dapatkan para buruh PT. FMI, kenyataannya tidak didapatkan oleh pekerjanya. Malahan perusahaan dengan sewenang-wenang memakasa para buruh untuk melakukan pengunduran diri dengan tindakan intimidasi.
Terdapat beberapa fakta-fakta pelanggaran hak normatif yang dialakukan oleh PT. Fajar Mitra Indah-FamiliyMart kepada para buruhnya, diantaranya adalah :
- Buruh dipekerjakan sebagai buruh kontrak (perjanjian kerja waktu tertentu/PKWT) secara terus-menerus di bidang produksi yang bersifat tetap tanpa surat perjanjian kerja. Hal ini tidak dibenarkan oleh aturan yang ada. Demi hukum, status buruh seharusnya berubah menjadi karyawan tetap (perjanjian kerja waktu tidak tertentu/PKWTT). (Aturan yang dilanggar di antaranya: Pasal 54 ayat (1) huruf (i), Pasal 57 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 59 UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan; Pasal 10 ayat (1) Kepmen No. 100/2004 tentang Pelaksanaan PKWT)
- Buruh Emak-Emak dipekerjakan sebagai buruh harian lepas (BHL) dengan upah Rp13.000 per jam atau di bawah ketentuan upah minimum. Sesuai aturan yang ada, buruh Emak-Emak seharusnya dibayar Rp.22.800 per jam. Dalam satu bulan, seorang buruh menderita kerugian sedikitnya Rp.1.029.000. Nilai uang ini sangat berarti bagi buruh Emak-Emak yang harus menopang hidup keluarganya. Buruh Emak-Emak juga seharusnya diangkat menjadi karyawan tetap karena hukum ketenagakerjaan Indonesia melarang buruh harian dipekerjakan secara terus-menerus lebih dari 21 hari dalam satu bulan selama lebih dari tiga bulan berturut-turut. Sementara, perbuatan membayar upah di bawah ketentuan adalah perbuatan pidana yang yang diancam dengan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah). Dalam kasus ini, FamilyMart tidak saja merampas hak buruh, tapi juga mengeksploitasi kaum perempuan. (Aturan yang dilanggar di antaranya: SK Gubernur Jawa Barat Nomor 561/Kep-1065-Yanbangsos/2017 tentang Upah Minimum di Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat; Permenaker No. 100/2004 dan; Pasal 90 jo. Pasal 185 UU No. 13/2003)
- Buruh yang disuruh masuk kerja pada hari besar nasional tidak dihitung sebagai lembur, tapi hanya diganti dengan hari libur pada hari kerja biasa. Hal ini membuat buruh kehilangan pendapatan ekstra yang sangat berarti untuk menopang hidupnya dan keluarganya. (Aturan yang dilanggar di antaranya: Kepmenaker No. KEP. 102/MEN/VI/2004 tentang Waktu Kerja Lembur dan Upah Lembur dan Pasal 33 Peraturan Pemerintah No. 78 tahun 2015 tentang Pengupahan)
- Upah lembur buruh dibayarkan dengan cara dirapelkan pada bulan berikutnya. Artinya upah buruh ditahan selama satu bulan. (Aturan yang dilanggar di antaranya: Pasal 20 PP No. 78/2015)
- Upah buruh sering dipotong secara sewenang-wenang sebagai denda akibat adanya produk yang hilang (lost) saat stock opname. Pemotongan upah ini tidak disertai dengan data mengenai rincian produk yang hilang dan tidak ada peraturan perusahaan yang mengatur mengenai denda. Buruh pernah mengalami pemotongan upah hingga Rp300 ribu per bulan. (Aturan yang dilanggar: Pasal 54 ayat (2) PP No. 78 Tahun 2015 yang menyatakan jenis-jenis pelanggaran yang dapat dikenakan denda, besaran denda dan penggunaan uang denda diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama)
- Buruh tidak mendapatkan fasilitas uang makan dan transportasi sesuai dengan ketentuan Peraturan Daerah Kabupaten Bekasi Nomor 6 Tahun 2001 Tentang Ketentuan Penyelenggaraan Fasilitas Kesejahteraan Pekerja di Perusahaan Swasta.
- Setelah semua pelanggaran di atas, pengusaha melakukan upaya-upaya untuk mendesak buruh kontrak mengundurkan diri dan mengalihkan hubungan kerja buruh ke perusahaan outsourcing yang bernama PT Atalian Global Service. Dampaknya, seluruh pelanggaran sebelumnya dihilangkan begitu saja. Seorang buruh yang menolak malah diancam akan dipolisikan surat dokternya dengan tuduhan pemalsuan surat dokter. Buruh dipaksa tanda tangan atau dibawa ke kantor polisi. Seorang oknum manajemen sampai membuat panggilan telepon yang diklaim ke petugas polisi untuk membawa buruh tersebut. Meskipun tidak merasa bersalah, melihat oknum manajemen tersebut seolah memiliki kedekatan dengan petugas polisi, buruh menjadi ketakutan akan dibawa ke polisi sehingga terpaksa menandatangani surat pengunduran diri.
Upaya yang dilakukan oleh kawan-kawan buruh, yang tergabung dalam organisasi, Asosiasi Karyawan untuk Solidaritas Indonesia (AKSI) telah berusaha membicarakan masalah ini secara baik-baik dengan pihak perusahaan. Telah dilakukan perundingan bipartit sebanyak tiga kali dan berakhir tidak ada kesepakatan (buntu/deadlock). Dalam perundingan bipartit ketiga tanggal 15 Agustus 2018, pengusaha FMI hanya menyetujui pembayaran kekurangan upah buruh Emak-Emak. Pengusaha MENOLAK mengangkat 26 buruh (termasuk buruh Emak-Emak) yang mengajukan pengangkatan dan MENOLAK memberikan fasilitas uang makan serta uang transport.
Karena penghisapan dan penindasan yang terjadi secara terus-menerus dilakukan oleh pihak perusahaan, serta upaya perundingan tidak melahirkan kesepakatan yang saling menguntungkan diantara kedua belah pihak. Akhirnya mengharuskan kawan-kawan buruh, yang tergabung dalam organisasi Asosiasi Karyawan untuk Solidaritas Indonesia (AKSI) melakukan perlawanan dengan melakukan MOGOK KERJA pada 21 September – 8 Oktober 2018.
Persoalan yang terjadi diatas, menggambarkan bahwa masih lemahnya sistem pengawasan negara dan tidak adanya tindakan tegas serta keberpihakan negara terhadap kelas buruh, maka kita dapat saksikan saat ini, begitu masifnya kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan swasta maupun BUMN di Indonesia.
Atas dasar hukum dan sebab-akibat diatas, maka kami dari Eksekutif Nasional Liga Mahasiswa Nasional Untuk Demokrasi (EN-LMND) mendukung perjuangan pekerja dalam melakukan MOGOK KERJA kawan-kawan kelas buruh Asosiasi Karyawan untuk Solidaritas Indonesia (AKSI), yang berjuang dengan gigih dan gagah berani mempertahan kan harkat dan martabat kaum buruh dari tindasan dan hisapan yang dilakukan oleh PT. Fajar Mitra Indah-FamilyMart.
Dan kami menuntut kepada Negara dan PT. Fajar Mitra Indah-FamilyMart untuk segera mewujudkan tuntutan kawan-kawan kami.
- Angkat 26 orang pekerja/anggota PTP AKSI PT FMI menjadi pekerja tetap dengan diterbitkan SK pengangkatan dan masa kerja dihitung dari awal masuk kerja.
- Penuhi Fasilitas Makan dan Transportasi untuk 26 orang pekerja/anggota PTP AKSI PT FMI dalam bentuk uang makan dan uang transportasi
- Negara harus hadir dan terlibat aktif memastikan seluruh kelas buruh Indonesia mendapatkan hak-hak
Hormat Kami,
EN LMND
Ketua Umum
Muhammad Arira Fitra
1 Komentar