“Hentikan Kriminalisasi Terhadap Pejuang Buruh dan Rakyat”
Negara Harus Menindak Pengusaha Yang Lalai Memberikan Hak Normatif Kepada Pekerjanya
Perjuangan pekerja Awak Mobil Tangki (AMT) memasuki babak baru. Sebelas pekerja AMT ditangkap sehubungan dengan aksi protes atas hak-hak normatif yang belum dipenuhi. Dalam perkembangannya sebelas pekerja AMT secara cepat dikenakan status tersangka.
Selama 21 bulan lamanya, AMT memperjuangkan hak-hak normatif mereka yang tidak dipenuhi oleh Pertamina Patra Niaga. Sebanyak 1.095 pekerja AMT mengalami PHK massal, pelanggaran terhadap aturan tenaga alih daya (outsourcing) yang dipraktekkan oleh BUMN dan upah lembur yang tak dibayarkan selama bertahun-tahun oleh Pertamina Patra Niaga.
Konteks masalah pekerja AMT adalah konflik ketenagakerjaan. Suku Dinas Tenaga Kerja (Sudisnaker) Jakarta Utara dan kota lain telah mengeluarkan nota pemeriksaan terkait kasus ini.
Pertamina Patra Niaga tidak juga menunjukkan itikad positif untuk mememuhi hak-hak tenaga kerja sebagaimana yang diatur oleh Undang-Undang.
Pada 31 Januari 2019, Presiden Joko Widodo didampingi Sekretaris Kabinet Pramono Anung menerima perwakilan AMT di Istana Negara. Pramono Anung mendapat instruksi dari Presiden untuk berkoordinasi dengan perwakilan AMT demi penyelesaian kasus ini.
Proses ini kemudian mandeg, tanpa penjelasan apapun dari pihak Istana. Instruksi Presiden pada akhirnya tidak bisa dinilai serius dikarenakan tidak terlihat pergerakan nyata untuk mengurai dan menyelesaikan masalah AMT yang telah menahun ini.
Terbengkalainya penyelesaian kasus tersebut, mendorong segenap pekerja AMT mengambil inisiatif protes lebih jauh. AMT melakukan aksi protes di seberang Istana dengan membawa mobil tangki Pertamina. AMT hendak menunjukkan keseriusan tuntutan mereka.
Aksi membawa mobil tangki adalah cara yang dipilih oleh AMT untuk menarik perhatian kembali pihak pemerintah, dalam hal ini terkhusus Presiden Joko Widodo yang pernah menjanjikan penyelesaian kasus dengan memberikan instruksi kepada Sekretaris Kabinet. Aksi ini kemudian berbuntut pada penangkapan sebelas AMT dan dikenakan status tersangka.
Penangkapan terhadap kesebelas AMT ini sepatutnya bisa dihindari, jika penyelesaian masalah hak-hak normatif tidak dibiarkan terbengkalai. Pemerintah tidak bisa bermain-main dengan janji dan komitmen yang telah disampaikan langsung kepada perwakilan AMT.
Menanggapi perkembangan kasus AMT, kami, Konfederasi Perjuangan Buruh Indonesia (KPBI), menjelaskan sikap kami dengan seterang-terangnya, bahwa kami berdiri sepenuhnya bersama kelas buruh, dalam hal ini AMT! Oleh karenanya kami menyatakan dan menuntut:
1. Perjuangan AMT adalah perjuangan menuntut hak-hak normatif yang diatur oleh Undang-Undang. Konteks ini tidak boleh dilepaskan dalam melihat dan mendudukkan perkara AMT.
2. Negara lemah dalam melindungi buruh, lemah dalam menegakkan aturan hukum dan lemah dalam memberikan jaminan kesetaraan hak kepada warga negaranya.
3. Mempertanyakan dan menagih janji serta komitmen Presiden Joko Widodo yang pernah disampaikan kepada perwakilan AMT pada 31 Januari 2019.
4. Aksi protes AMT bukanlah tindak pembajakan sebagaimana yang dituduhkan, ini merupakan respon kelanjutan dari pekerja AMT akibat penyelesaian kasus yang dibiarkan terbengkalai.
5. Mengecam pihak kepolisian yang tidak memberikan hak warga negara di depan hukum dengan tidak membolehkan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta mendampingi AMT selama proses pemeriksaan dan penetapan status tersangka.
6. Bebaskan kesebelas Awak Mobil Tangki tanpa syarat!
7. Mendukung sepenuh-sepenuhnya perjuangan AMT dalam menuntut hak-haknya kepada Pertamina Patra Niaga.
8. Menyerukan kepada seluruh gerakan rakyat untuk segera melakukan konsolidasi melawan kriminalisasi terhadap pejuang rakyat yang dilakukan oleh rezim penguasa.
Demikian sikap dan pernyataan KPBI.
Jakarta, 20 Maret 2019.