Pembangunan semakin sering menjadi jargon bagi pemerintah. Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2018, pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi bahkan mencapai 5,4 persen atu 0,3 persen lebih tinggi dari perkiraan pertumbuhan tahun ini.
Berbagai kebijakan-kebijakan dipaksakan untuk menuju pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dari ekonomi global. Kebijakan ini mengutamakan laju pertumbuhan ekonomi sambil mengabaikan mutu pertumbuhan itu sendiri. Mesin-mesin pertumbuhan ekonomi dipacu dengan mengorbankan hak-hak rakyat. Maka, Gerakan Buruh untuk Rakyat (Gebrak) menyerukan untuk melawan rezim pembangunan Presiden Joko Widodo. Gabungan berbagai organisasi buruh, pemuda, dan perempuan itu mendesak pemerintah melakukan pembangunan dengan tidak mengorbankan hak-hak rakyat “atas nama investasi”
Pemerintah secara eksplisit jelas-jelas memberi keistimewaan pada investasi. Menteri Keuangan Sri Mulyani, sebagaimana dikutip dari Harian Kompas Jumat (8/12), menyebutkan investasi sebagai kunci utama pertumbuhan ekonomi. “Selama investasi bisa tumbuh tinggi, biasanya disertai ekspor yang optimis juga. Ini menjadi fokus pemerintah untuk mencapai pertumbuhan 6 persen (jangka menengah),” kata Sri Mulyani.
Berbagai reformasi kebijakan, termasuk yang mengundang banyak protes dari rakyat, dilakukan untuk mengejar perbaikan citra di mata investor, sebagaimana diwakili oleh berbagai lembaga pemeringkat. Indonesia bahkan naik 19 peringkat dalam Ease of Doing Business, standar milik Bank Dunia setelah melakukan reformasi-reformasi yang mengorbankan rakyat.
Di kalangan buruh, reformasi yang paling santer ditolak adalah Peraturan Pemerintah 78/2015 tentang Pengupahan. Bank Dunia, dalam laporannya, “Ketimpangan yang Semakin Lebar” merayakan peraturan itu sebagai produk hukum yang, “menjanjikan” karena memberi kepastian terkait upah minimum.
Produk yang ditujukan untuk menggembirakan investor itu jelas telah merampas hak-hak buruh. Hak buruh untuk merundingkan upah, sebagaimana disebut dalam UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, jelas dirampas oleh PP Pengupahan. PP itu juga terbukti menurunkan laju penyesuaian upah minimum. Laju penyesuaian upah terus turun sejak diterapkan pada 2015 dari 11 persen menjadi 8 persen.
Pemerintah daerah juga terus berlomba-lomba agar menjadikan daerahnya berupah murah untuk mengundang investor. Di Bojonegoro, pemda bahkan mengeluarkan upah pedesaan, 30 persen lebih rendah dari UMK setempat, untuk menarik pengusaha dengan mengorbankan buruh. Pengusaha juga mendorong upah cluster, agar wilayah seperti Karawang, upahnya tumbuh lebih lambat ketimbang ketentuan PP Pengupahan agar sesuai dengan wilayah berikutnya.
Atas nama “peningkatan skill dan produktivitas,” pemerintah bahkan melegalkan sistem magang dan membiarkan outsourcing. Sistem ini mengakibatkan PHK bagi buruh tetap agar bisa diganti dengan pekerja magang yang upahnya di bawah UMP. Selain itu, magang juga semakin melanggengkan pasar kerja fleksibel.
Gebrak mengusulkan gagasan upah layak nasional dan penghapusan outsourcing sebagai alternatif model pembangunan. Upah layak nasional hendaknya menjamin pemenuhan kebutuhan buruh. Upah layak adalah sebuah sistem upah yang relatif setara antar provinsi. Dengan begitu, investor tidak bisa lagi mengancam pada pemda untuk relokasi. Memastikan investor tidak dapat terus menekan pemda berarti meningkatkan kekuatan negara di hadapan modal dan memberi peluang penegakan hukum ketika modal melanggar undang-undang.
Negara bahkan secara diskriminatif mengganjar para pekerja di sektor padat karya yang mayoritas perempuan dengan upah di bawah UMP. Wakil Presiden JK melakukan intervensi untuk meloloskan upah padat karya agar di bawah UMP di empat wilayah di Jawa Barat. Perempuan menjadi korban dan kebijakan ini menegaskan betapa pembangunan semakin mengokohkan dominasi budaya patriarkis. Kesetaraan hak-hak perempuan juga semakin jauh dengan sulitnya perempuan menjangkau hak-hak materinitas di tempat kerja. Kesulitan ini menyebabkan perempuan memiliki lebih sedikit peluang bekerja. Jika tingkat partisipasi laki-laki mencapai 83 persen, perempuan hanya mencapai 55 persen pada Februari 2017.
Gebrak juga mendesak agar sistem kontrak/outsourcing dihapus. Sistem ini telah mengakibatkan penindasan bagi buruh. Berbagai hak-hak dasar buruh, yang seharusnya tidak lagi perlu diperjuangkan, semakin jauh dari jangkauan. Hak-hak itu di antaranya adalah kepastian kerja, jaminan sosial, cuti, dan uang lembur ketika bekerja lebih 40 jam seminggu. Sistem kontrak/outsourcing yang merajalela juga membuat kesenjangan ekonomi semakin lebar karena PHK menjerumuskan keluarga buruh pada jurang kemiskinan.
Gebrak mendesak pemerintah untuk mengembalikan berbagai subsidi yang telah dicabut dan menambah subsidi. Subsidi merupakan bantuan darurat ketika janji-janji penyelesaian sistemik tidak kunjung terwujud. Rakyat, terutama yang miskin dan nyaris miskin, berhak mendapatkan subsidi untuk meningkatkan kesejahteraan. Gebrak mengecam keras langkah pembangunan yang mencabut subsisi seperti listrik. Akibat pencabutan itu, rumah tangga pengguna listrik berdaya 900 va mesti menambah pengeluaran lebih 100 persen. Padahal, kelompok ini adalah yang nyaris miskin. Selain itu, pemerintah juga wajib menggenjot subsidi pendidikan untuk menjamin sekolah gratis. Sekolah gratis, bukannya sistem magang, akan meningkatkan skill dan kualitas sumber daya manusia Indonesia.
Dana kesehatan hanya mencapai 5 persen dari belanja negara sebesar Rp 2.221 triliun sementara pembangunan infrastruktur mencapai 18 persen atau Rp 410 triliun. Padahal, infrastruktur pembangunannya banyak bertujuan menguntungkan investor, bukan rakyat. Di satu sisi, rakyat mesti menanggung dana kesehatan sendiri. Pemaksaan ini mengakibatkan tunggakan pembayaran BPJS kesehatan hingga Rp 3,6 triliun.
Atas nama pembangunan juga, pemerintah menggenjot utang-utang. Hingga akhir September 2017, jumlah utang luar negeri pemerintah Indonesia mencapai US$ 175 juta dolar.jauh dari USD 129 juta pada 2014, ketika Jokowi berkuasa. Utang ini jelas-jelas melemahkan daya tawar pemerintah dalam menentukan kebijakan-kebijakan negara.
Pembangunan yang menganakemaskan investasi telah jelas-jelas mengorbankan demokrasi rakyat. Rakyat menjadi jauh dari partisipasi dalam menentukan kebijakan-kebijakan pembangunan. Alhasil, penggusuran secara semena-mena merampas ruang hidup rakyat. Baru-baru ini, pembangunan bandara di Kulon Progo sudah mengakibatkan penggusuran paksa itu. Ketika bersuara memprotes, rakyat juga malah dibungkam. Ketua SP Danamon Abdoel Moedjib dan Sekjennya Muhammad Afif ditahan di Polda Metro Jaya sejak Rabu (6/12) akibat memprotes kebijakan manajemen dalam unjuk rasa. Tindakan sewenang-wenang negara ini semakin menegaskan cara negara membangun.
Kami menganggap pembangunan dapat lebih berkeadilan ketika sumber daya alam dikelola untuk kemakmuran rakyat, bukannya perusahaan dan laba para pengusaha. Dengan begitu, pendapatan negara akan bertambah untuk lebih memperbanyak anggaran-angaran bagi rakyat. Pengelolaan SDA untuk kemakmuran rakyat mencakup pelaksanaan reformasi agrarian yang sejati, tidak hanya bagi-bagi lahan, tapi juga memastikan kesejahteraan petani. Dengan begitu, petani tidak terodong untuk menjual tanahnya.
Sementara, korupsi yang merajalela semakin mengakibatkan kemiskinan. Anggaran-anggaran publik menjadi bancakan dari sekelompok elit oligarki. Korupsi juga mengakibatkan rakyat menjadi jauh dari akses keadilan. Proyek KTP Elektronik sendiri diperkirakan merugikan negara hingga Rp 2,3 triliun.
Untuk itu, Gerakan Buruh untuk Rakyat menyerukan untuk “Lawan Pembangunanisme Ala Jokowi yang Merampas Hak Dasar Rakyat.” Gebrak juga menuntut negara menjalankan:
1. UPAH LAYAK NASIONAL DAN CABUT SISTEM KERJA KONTRAK/OUTSOURCING
2. REFORMA AGRARIA SEJATI
3. SUBSIDI UNTUK RAKYAT (JAMSOS: PENDIDIKAN, KESEHATAN DAN TRANSPORTASI)
4. TEGAKAN DEMOKRASI RAKYAT
5. LAWAN KORUPSI DAN USUT TUNTAS KASUS KORUPSI
6. SUMBER DAYA ALAM UNTUK RAKYAT (BBM, LISTRIK, AIR DAN TAMBANG)
7. STOP UTANG LUAR NEGERI
8. KESETARAAN HAK PEREMPUAN