PERJUANGAN SP-PLN MELAWAN PRIVATISASI

PLN berdiri pada 27 Oktober 1945. Setelah diproklamirkan kemerdekaan Indonesia, tanggal 17 Agustus 1945, Perusahaan listrik yang dikuasai Jepang berhasil direbut oleh para pejuang pada bulan September 1945, kemudian diserahkan kepada pemerintah Indonesia.

Perusahaan-perusahaan listrik yang dikuasai Jepang adalah perusahaan warisan dari Kolonial Belanda seperti NIEM (Nederland HR Indische Electriteit Maatschappij), ANIEM (Algemeene Nederlandche Indische Electriteit Maatschappij), EBALOM (NV Electriciteits Bali enak Lombok), dan beberapa yang lain.

Semangat dari nasionalisasi tentunya tidak lepas dari semangat melayani rakyat, memenuhi kebutuhan listrik rakyat dengan harga yang murah, karena saat dikuasai Kolonial Belanda tarif listrik sangat mahal. Dengan demikian orientasi operasional PLN adalah untuk mendukung kebutuhan dasar rakyat atau berorientasi sosial.

Saat awal berdirinya PLN berbentuk perusahaan jawatan atau Perjan, kemudian berubah menjadi Perum PLN dan pada 1992 berubah menjadi PT.PLN ( PERSERO ). Seiring dengan perubahan bentuk perusahaan dari Perum menjadi Persero, terbentuk juga anak anak perusahaan pembangkit yaitu Perusahaan Pembangkit Jawa Bali I ( PJB I ) dan PJB II yang kemudian masing masing berubah nama menjadi PT. Indonesia Power dan PT. Pembangkitan Jawa Bali ( PT. PJB). Perubahan bentuk perusahan dari Perusahaan Umum menjadi Perseroan itu terjadi setelah Soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden No.37 tahun 1992 tentang penyediaan listrik oleh Swasta.

Pendeknya, bermula dari Kepres tersebutlah swastanisasi atau privatisasi sektor ketenagalistrikan bermula.
Tidak butuh waktu lama, setahun setelah Kepres ditandatangani, pada tahun 1993 Pembangkit milik Swasta yakni PLTU Paiton 1 resmi beroperasi, Disusul unit Paiton 2 setahun kemudian. Dan diikuti oleh pembangkit-pembangkit swasta lainnya.

Restrukturisasi Sektor Ketenagalistrikan semakin merajalela ketika Indonesia terjerembab dalam krisis moneter 1997, lewat Letter of Intent (LOI) dengan IMF. Lembaga keuangan internasional tersebut memaksa Pemerintah melakukan Privatisasi lebih luas, lewat paket kebijakan Struktural Adusjment Program.
Selanjutnya dari tuntutan Restrukturisasi diatas maka pada 25 Agustus 1998 Menteri Pertambangan dan Energi Prof. Ir. Koentoro Mangkoesoebroto menerbitkan “The White Paper” Kebijakan Restrukturisasi Sektor Ketenagalistrikan yang merupakan Naskah Akademik bagi terbitnya UU No 20/2002 tentang Ketenagalistrikan. Didalam UU No 20/2002 inilah refleksi swastanisasi muncul, yaitu adanya keinginan Pemerintah untuk swastanisasi kelistrikan Jawa-Bali dengan program unbundling vertikal :
Pembangkit
Transmisi
Distribusi
Ritail

Melawan Privatisasi

UU tersebut mendapat perlawanan dari Serikat Pekerja Perusahaan Listrik Negara (SP – PLN), yaitu diajukannya Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi pada awal tahun 2004. SP-PLN menganggap bahwa UU No. 20 tahun 2002 tersebut bertentangan dengan pasal 33 UUD 1945. Setelah melewati berbagai sidang, Pada tanggal 15 Desember 2004 Mahkamah Konstitusi mengabulkan gugatan SP-PLN, yang berarti UU tersebut batal demi hukum. Meskipun UU sudah dibatalkan, dan Indonesia tidak lagi menjadi ‘pasien’ IMF, karena Indonesia telah melunasi seluruh utang ke IMF pada tahun 2006. Nyata, pada tahun 2009 Pemerintah bersama DPR membuat lagi Undang-Undang kelistrikan yang pada pokoknya sejalan dengan UU No. 20 tahun 2002 tersebut, yaitu UU No. 30 tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan. Tentang kegigihan Pemerintah (dulu sampai hari ini) untuk melakukan Privatisasi sektor-sektor yang menyangkut hajat hidup orang banyak, hal itu menunjukkan garis pendirian Ekonomi Pro-Pasar dan Pro-Neoliberal.

Menyikapi kegigihan Pemerintah untuk melakukan Privatisasi dengani UU yang baru tersebut, SP-PLN tak tinggal diam. Karena nasib rakyat dan para pekerja bukan untuk ditanting, tidak untuk coba-coba. Tak ada mimpi indah dalam neoliberalisme. UU terakhir inipun telah di Judicial Review lagi oleh SP-PLN pada pasal 10 dan 11 nya pada 2015 , Setelah lebih dari setahun proses perlawanan privatisasi dengan Uji Materi di MK, pada tanggal 14 Desember 2016 dibacakan Putusan Perkara No.111/PUU-XIII/2015 oleh Majelis Hakim MK mengabulkan permohonan SP PLN untuk sebagian, MK menyatakan Pasal 10 Ayat (2) dan Pasal 11 Ayat (1) bertentangan dengan UUD 1945 selama Praktek Unbundling dijalankan.

Namun, kedua “kekalahan” di meja Hakim Konstitusi tersebut tak juga membuat pemerintah menginsafi kesalahannya. Akan tetapi Pemerintah justru menerbitkan lagi Peraturan Presiden No 44/2016 tentang Daftar bidang usaha yang tertutup dan bidang yang terbuka dengan persyaratan di bidang penanaman modal, yang salah satunya mengatur privatisasi Pembangkit, Transmisi, Distribusi sebesar 95%. Sementara ritail secara fakta telah di unbundling dalam bentuk token.

Secara fisik di lapangan saat ini untuk Jawa-Bali telah ada :
Anak anak perusahaan pembangkit ( IP dan PJB ).
Unit Bisnis Distribusi ( DKI, JABAR, JATIM, BALI )
Unit Bisnis : Transmisi Jawa Bagian Barat (TJBB), Transmisi Jawa Bagian Tengah (TJBT), Transmisi Jawa Bagian Timur dan Bali ( TJBTB). 4. Unit Bisnis : Pusat Pengatur Beban ( P2B )
5. Ritail dalam bentuk token.

Kondisi diatas sudah mencerminkan persiapan Unbundling Vertikal. Apabila Unit Bisnis Pusat Pengatur Beban (P2B) kemudian di rubah statusnya menjadi Lembaga Indepen yang berfungsi sebagai :

System Operator ( Operator System ).
Market Operator ( Operator Pasar ).

Sedangkan apabila IP dan PJB yang berada di Jawa-Bali di privatisasi, maka Jawa-Bali akan berlaku liberalisasi sektor ketenagalistrikan.

Saat ini IP dan PJB masih sepenuhnya dimiliki oleh PLN. Namun dengan perkembangan keberadaan Proyek Listrik Swasta atau IPP ( Independent Power Producer ), keberadaan IP dan PJB di Jawa-Bali mulai tersisih. Terlebih lagi bila Proyek 35.000 MW yang mayoritas adalah IPP di Jawa-Bali, maka pembangkit PLN praktis akan menganggur.

Bila hal diatas terjadi maka privatisasi PLN mungkin tidak jadi berlangsung, akan tetapi pembangkit PLN tidak berfungsi atau di “gudang” kan menjadi besi tua. Artinya apa? Pemerintah konsisten menjalankan program liberalisasi disektor kelistrikan.

Kesimpulan

Ada satu kenyataan yang harus disikapi secara serius terkait privatisasi dan liberasi, yang mana mengancam keberlangsungan pekerjaan kaum buruh dan rakyat pada umumnya. Hal ini terbukti dari kengototan pemerintah, siapapun Rejimnya. Dari yang senyumnya paling fasis sampai dengan mereka yang tertawanya nampak merakyat, secara prinsip sama. Kebijakan-kebijakan ekonomi politiknya melayani kepentingan Modal.

Hari ini dan esok pagi SP-PLN tak boleh sendiri lagi berjuang melawan privatisasi. Sebab lawan semakin pandai berkelit dan tak tabu melanggar prinsip. Dibutuhkan kerjasama dari segenap organisasi rakyat pekerja, untuk memastikan Air, Bumi dan semua yang terkandung didalamnya masih menjadi milik kita, dan dipergunakan untuk kemakmuran rakyat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.