Peringatan 19 Tahun Reformasi : Bangun Demokrasi Rakyat! Lawan Kebangkitan Politik Orde Baru!

Rapat Akbar “Bangun Demokrasi Rakyat”

Gerakan rakyat tak boleh diam. Tepat 21 Mei 2017, sudah 19 tahun Presiden Soeharto lengser. Silih berganti presiden belum sepenuhnya mengemban amanah reformasi. Sebaliknya, karakter orde baru semakin menguat. Karakter itu terutama adalah rezim dengan kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat serta militeristik.
Peringatan terguling rezim otoriter sejak 19 tahun lalu dan memasuki babak reformasi, adalah ingatan kolektif rakyat yang senantiasa perlu dijaga dan lestari. Peringatan 19 tahun reformasi, adalah upaya mewaspadai segala bentuk praktek politik yang membawa karakteristik orde baru, di semua lini kebijakan negara dan pemerintahan hingga di masa-masa yang akan datang.

Untuk itu, berbagai elemen rakyat berabung untuk menyerukan pembangunan demokrasi rakyat. Demokrasi rakyat adalah tulang punggung membangun bangsa yang maju. Dalam demokrasi rakyat partisipasi melalui musyawarah mufakat bertujuan untuk menciptakan pembangunan yang tidak mengeksploitasi rakyat, membebaskan bangsa dari segala bentuk penindasan.

Seruan ini dilakukan dengan menggelar Rapat Akbar di pelataran Tugu Proklamasi pada Minggu, 21 Mei 2017. Sebanyak dua ribu rakyat diperkirakan hadir dalam acara peringatan ini.

Gerakan yang bergabung tersebut adalah Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI), Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Aliansi Gerakan Reforma Agraria, Komunitas Ciliwung Merdeka, dan Gerakan Buruh untuk Rakyat (GEBRAK). GEBRAK terdiri dari KPBI, SMI, SPBP, LMND, SP Jhonson, GPMJ, KPR, SGBN, PRP), KSN, SPMN, SP Danamon, FMK, Perempuan Mahardhika, Politik Rakyat, KPO-PRP, LBH Jakarta, Arus Pelangi, KPA, SGBM, PPAS, FKI
Kami menyadari sepenuhnya, kebangkitan politik orde baru muncul dalam praktik-praktif represif untuk mengamankan kebijakan yang tidak pro-rakyat. Kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat, seperti di zaman orde baru, semakin lama semakin gencar dipaksakan. Di antaranya adalah pencabutan subsidi listrik, pembangunan infrastruktur yang menggusur tanah rakyat, politik perburuhan (upah murah & sistem kerja kontrak/outsourcing), yang menurunkan daya beli buruh, dan hidup tanpa kepastian kerja.

Pencabutan subsidi listrik bertahap telah mengakibatkan kenaikan tagihan hingga 130 persen bagi pelanggan berdaya 900 va. Beban di pundak rakyat semakin berat,
Pembangunan infrastruktur terus menggusur ruang hidup rakyat. Proyek Semen Indonesia di pegunungan Kendeng, Jawa Tengah, sendiri diperkirakan akan berdampak pada 600 ribu warga di sekitarnya.

Di Jakarta, penggusuran-penggusuran bahkan tidak mempedulikan kedaulatan hukum. Pemerintah DKI Jakarta menggusur warga miskin di Bukit Duri sambil mengabaikan proses sengketa di pengadilan. Padahal, warga di situ juga ada yang memiliki sertifikat tanah.

Sementara itu, 19 tahun setelah reformasi menunjukan menguatnya praktik politik militerisme dalam kehidupan berdemokrasi. Praktik ini muncul ketika pemerintahan yang berkuasa memilih membungkam rakyat yang melakukan protes.
Represifitas di banyak diskusi publik di daerah, pembakaran buku sempat menyeruak. Di Gresik misalnya, negara memenjarakan aktivis KASBI Abdul Hakam dan Agus Budiono akibat membela buruh. PT Petrokimia mengadukan mereka karena menganggap unjuk rasa sebagai “perbuatan tidak menyenangkan.” Di Surabaya, pengurus FSPMI-KSPI Doni Ariyanto menjadi tahanan kota karena melakukan protes. Ia dijerat dengan pasal karet 335; sama dengan dua rekannya di Gresik.

Kriminalisasi pada petani bahkan sudah tidak lagi terhitung. Protes kaum tani dijawab senjata laras panjang di mana-mana. Teluk Jambe Karawang, Majalengka, di Sumatera, dan lainnya. Hingga terbunuhnya Salim Kancil.

Papua bahkan tampak tidak menikmati reformasi. Di sana, militerisme di mana-mana. Kebebasan berekspresi dan mengemukakan pendapat sungguh dibatasi. Bahkan, pulau yang kaya dengan sumber daya alam ini tertutup bagi pers.
Politik militerisme juga menguat dengan mengemukanya politik identitas yang menyeragamkan. Padahal, pembangun demokrasi rakyat salah satunya berpilar pluralistik. Tanpa gerakan-gerakan berbasis SARA.

Kami tak segan-segan mengungkap derita rakyat. Kami yang memeringati dan menyerukan agar rakyat bangkit melawan!

Pembangunan demokrasi rakyat mesti melibatkan peran rakyat yang meluas dan inklusif, dalam pengambilan keputusan-keputusan menyangkut hajat hidup rakyat di Indonesia.

Peringatan 19 tahun reformasi menuntut dan menyerukan :
1. Bangun Demokrasi Rakyat dan Lawan Politik Kebangkitan Orde Baru.
2. Hentikan represifitas yang menggunakan alat kekerasan negara dalam menciptakan ruang demokratis.
3. Rakyat Indonesia bangkit dan berjuanglah. Sebab nasib kita ditentukan oleh kekuatan perjuangan yang kita bangun selama ini!
Demikian pernyataan sikap kami. Atas pehatiannya, kami sampaikan terima kasih..

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.