Di tengah seratusan barisan buruh yang memprotes PHK sepihak itu terdapat tiga srikandi. Tiga pejuang perempuan itu dalam keadaan hamil, tapi tetap melawan. Salah satunya adalah Alita Marsha. Ketiganya sadar, langkah perusahaan percetakan PT Setia Usaha untuk memecat ibu hamil tidak dapat dibenarkan!
Berkali-kali, Hak Jadi Ibu yang Dirampas Perusahaan
Alita Marsha cepat dikenal ketika memulai bekerja di sebuah perusahaan percetakan di Jakarta Pusat, PT Setia Usaha karena riang dan rajin bekerja.
Namun, kegigihan bekerja tak selamanya berbanding lurus dengan hasil yang didapat. Perempuan asal Pondok Kopi tersebut tamat sekolah pada 2012 dan mulai bekerjasebagai assistant staf purchasing. Di 6 bulan pertama, ia dengan sabar menerima status sebagai buruh borongan yang dibayar per hari. Dengan cepat, karirnya melejit menjadi kepala purchasing. Sayangnya, jabatan dan beban kerja tak sebanding lurus dengan upah. Kenaikan jabatan tak membuat upahnya berhasil menembus Upah Minimum Provinsi.
Di tahun 2015, perempuan tersebut menemukan tambatan hati di tempat dia bekerja. Setelah beberapa bulan menikah, dia mengandung anak pertamanya. Dari situ ia mengalami betapa perusahaan merampas hak-hak untuk menjadi ibu (hak maternitas). Perusahaan tidak memberi kesempatan para pekerjanya untuk keperluan-keperluan melahirkan.
Di waktu masa usia kandungan memasuki Hari Perkiraan Lahir, dia meminta cuti hamil kepada manajemen. Adalah pengetahuan umum kalau di Indonesia perempuan berhak cuti, mendapatkan 100 persen gaji, selama tiga bulan ketika melahirkan.
Tapi, apa yang dia dapat tidak sebanding dengan kinerjanya selama ini. Sebab, semasa cuti hamil upahnya hanya dibayar 50% saja. Namun, ia tidak berontak dan protes pada manajemen. Ia tahu, perusahaan tetap tidak akan memberikan haknya tanpa perlawanan berarti. Ketika itu, para buruh belum memiliki wadah perlawanan.
Tapi, kesabaran semakin habis ketika ia mengalami perampasan hak untuk kedua kalinya. Ketika itu, kandungannya mengalami keguguran. Surat keterangan dokter yang ia berikan seolah-olah kertas tak bermakna bagi manajemen. Tanggapan dari pengusaha bagaikan tersambar petir di siang bolong, perusahaan tidak mau tahu dan tidak mau membayarkan upahnya.
Berjuang Demi Hak Menjadi Ibu di Jalan Serikat Buruh
Penindasan demi penindasan membuat para buruh PT Setia Usaha mencari jalan keadilan. Jalan itu mempertemukannya dengan Federasi Buruh Transportasi Pelabuhan Indonesia (FBTPI). Komisariat PT Setia Usahapun terbenuk di bawah naungan Serikat Buruh Aneka Industri.
Ternyata, bukan hanya dia korban perampasan hak-hak untuk menjadi ibu. Miris memang, ada beberapa orang pekerja perempuan yang bernasib sama. Perusahaan tidak memberikan hak cuti hamil.
Di serikat tersebut, ia mengikuti berbagai pendidikan. Pendidikan ini mengajarkan bahwa hak maternitas wajib diberikan perusahaan. Perempuan berhak menjadi ibu dan mendapatkan cuti tiga bulan. Lebih dari itu, ia mulai paham cara melawan, cara memperjuangkan hak-haknya. Sebanyak 88 dari 120an karyawan PT Setia Usaha ini mulai menghimpun kekuatan dalam seriakt buruh.
Namun, gelagat ini mulai dibaca manajemen. Manajemen mempreteli atau mulai memPHK satu-persatu para pekerja ( anggota serikat ). Alita Marsha adalah korban ketiga yang terkena PHK sepihak. PHK anggota serikat terus berlanjut sampai sekarang, ( total 83 pekerja, terdiri pengurus dan anggota ).
PHK itu sudah ia terima pada awal bulan. Namun, hingga kini Alita tak pernah surut semangat perlawanannya. Teman-teman segera menyikapi PHK sepihak dengan perlawanan. Sudah sejak Kamis lalu bersama FBTPI, mereka menggeruduk perusahaan dan melakukan perundingan.
Perundingan hingga kini belum menemukan titik terang. Namun, para buruh sudah membulatkan tekat untuk terus melawan. Kekecewaan para pekerja kepada perusahan memuncak bagaikan BOM yang siap meledak.”kesabaran ada batasnya “pekik para pekerja yang sering berkumandang, baik dalam pendidikan maupun aksi.