Stigma selalu melekat di tubuh pekerja migran Indonesia. Selain distigmakan sebagai orang yang mudah diperdaya, Pekerja Migran Indonesia (PMI) juga distigmakan sebagai pihak yang pembawa penyakit ke Indonesia. Dulu stigmanya sebagai pembawa virus AIDS, lalu SARS, dan kini stigma ini kembali terjadi, yaitu sebagai pembawa virus Corona.
Luviana- www.Konde.co
Jakarta, Konde.co- Stigmatisasi tak pernah lepas dari buruh migran. Stigma atau cap buruk yang dilekatkan pada orang lain, melekat di tubuh pekerja migran.
Wahyu Susilo, Direktur Migrant Care mencatat bahwa ketika ada penyakit yang berasal dari luar negeri, yang pertama terkena stigma sebagai pembawa penyakit dari luar adalah buruh migran.
“Dulu dituduh membawa AIDS, lalu SARS, kini Corona. Nanti apa lagi, selalu dikaitkan dengan pekerja migran ini.”
Stigma ini membuat PMI kemudian diperiksa secara ketat di bandara, dicurigai, ditatap tidak enak. Ketika virus SARS menyeruak, para pekerja migran kemudian dikarantina. Dan saat ini ada virus Corona (Wuhan) yang dikuatirkan kembali akan menstigmakan buruh migran sebagai pembawa virus.
Indonesia mempunyai sejarah panjang migrasi, bahkan sebelum Indonesia berdiri. Situasi ini tidak terlepas dari dinamika pasar dan politik global yang membuka ruang kebutuhan pemasokan tenaga kerja di lintas batas negara.
Stigma lain sebenarnya lebih dulu dilekatkan pada pekerja migran, misalnya sebagai orang yang dianggap bodoh, tak mengerti apa-apa. Ini bisa dilihat dari banyaknya pihak yang melakukan kejahatan, penipuan terhadap PMI, karena seolah olah menganggap PMI sebagai orang yang bisa diperdaya.
Dalam pemaparan catatan Migrant Care outlook 2020 yang dilakukan di Jakarta pada 27 Januari 2020 ,Wahyu Susilo yang ditemui Konde.co mengatakan bahwa kondisi PMI memang masih memprihatinkan, ada banyak pihak yang masih menjadikan PMI obyek, ini bisa saja dari preman, calo, sponsor penyalur tenaga kerja yang kental dengan iming-iming dan eksploitatif.
“Ini yang kami sebut sebagai rantai eksploitase yang terus terjadi,” kata Wahyu Susilo.
Hal lain, pemerintah yang belum melakukan pengawasan hingga lembaga-lembaga keuangan yang mengambil keuntungan dari PMI.
Data Migrant Care menyebut, rata-rata pendapatan remitansi pekerja migran Indonesia meningkat 25% atau sekitar Rp. 149 trilyun pertahun. Di tahun 2018 terkalkulasi sekitar 6,91% dari total Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) 2019.
Jumlah pekerja migran Indonesia dari tahun 2017-2019 seperti disebutkan catatan Migrant Care jumlahnya mencapai 1,1% setiap tahunnya.
Jumlah perempuan pekerja migran juga makin meningkat setiap tahunnya, dengan rata-rata prosentase 68% dalam tiga tahun terakhir. Para pekerja migran ini banyak yang menjadi pekerja rumah tangga yang tersebar di Hongkong, Malaysia, Singapura, Taiwan dan di negara-negara Timur Tengah.
Walaupun mendatangkan devisa yang sangat tinggi, namun kerentanan mereka sebagai pekerja yang harus dipenuhi haknya masih terus terjadi.
Yuniyanti Chuzaifah, mantan anggota Komnas Perempuan memetakan tentang kondisi PMI yang belum banyak berubah. PMI rata-rata berangkat keluar negeri karena ada persoalan konflik, perang, kemiskinan.
“Kemiskinan ini bisa macam macam, seperti PMI yang miskin ekonomi keluarganya sampai miskin karena suaminya yang tidak bertanggungjawab.”
Dari berangkat, obyektifikasi terhadap PMI seperti yang disebutkan Wahyu Susilo terus terjadi. Belum lagi PMI yang terkena pelecehan seksual, kekerasan dari majikan, paspor tak boleh dibawa PMI dan masih banyak lagi. Intinya dari berangkat dan sampai penempatan, selalu menyisakan persoalan tak enak yang menimpa PMI.
Pelecehan dan kekerasan seksual juga penipuan yang terjadi pada PMI juga sering mengakibatkan kematian PMI. Jika sudah ada kasus dan ramai diberitakan maka nasib PMI kembali diperhatikan, namun jika tidak obyektivikasi kembali dilakukan terhadap PMI.
Sebenarnya, awal Desember 2019 Indonesia telah memiliki preseden baik dalam upaya menuntaskan kasus perdagangan orang di Pengadilan Negeri Tangerang dengan menjatuhkan pidana penjara pada pelaku selama 11 tahun dan denda Rp. 200 juta serta membayar restitusi pada korban EH, perempuan korban yang dipekerjakan di daerah konflik, Suriah dan Irak Rp. 138 juta.
Namun di tahun 2019, Migrant Care juga menerima kasus 8 pekerja migran yang dideportase dari Malaysia, padahal ada beberapa pelanggaran kontrak kerja seperti penempatan yang tak sesuai oleh perusahaan Iclean Service Sdn BHD di Malaysia, pelanggaran pembayaran gaji dan besaran gaji yang tak sesuai.
Kematian 2 pekerja Tamam dan Ngatiyai pada Oktober dan November 2019 ketika mengantri pengurusan paspor di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Malaysia menambah panjang jerat kematian pekerja migran Indonesia.
Undang-Undang (UU) 18/2017 tentang Pekerja Migran Indonesia sebenarnya sudah mengatur tentang migrasi yang aman juga Peraturan Menteri tenaga Kerja atau Permenaker 18/ 2018 telah mengatur asuransi dan jaminan sosial buruh migran. Juga Permenaker 9/ 2019 tentang penempatan pekerja migran dan Permenaker 10/ 2019 tentang pemberian izin perusahaan penempatan pekerja migran Indonesia. Namun masih ada beberapa yang cacat hukum formal.
Hal lainnya adanya peraturan bagi pekerja migran Indonesia di Timur tengah yang tumpang tindih.
“Ini membuka ruang-ruang bagi jalur migrasi non prosedural yang tinggi di pasar gelap perekrutan tenaga kerja melalui modus perdagangan manusia,” kata Wahyu Susilo.
Anggota Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara menyatakan bahwa Komnas HAM selalu memastikan bahwa pekerja migran Indonesia mendapatkan haknya sebagai pekerja.
“Dalam konteks hak asasi manusia, Komnas HAM harus memastikan para pekerja migran tidak dilanggar hak-haknya sebagai manusia.”
Dan hingga sekarang ini masih menjadi pekerjaan rumah besar di Indonesia.