JAKARTA – Industri kreatif di Indonesia saat ini memiliki ekosistem yang belum berpihak pada pekerja. Padahal, industri kreatif meraup laba dari kreativitas tenaga kerja. Kondisi ini menuntut pekerja berserikat agar secara kolektif menciptakan ekosistem kerja manusiawi.
Isu tersebut dibahas dalam diskusi “Merdeka Berserikat, Merdeka Berkarya” yang digelar Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI), Sabtu (26/8) di Exhibition hall Produksi Film Negara (PFN), Jakarta. Pemantik dalam diskusi dalam Kongres Pembentukan SINDIKAI tersebut adalah Direktur PFN M Abduh Aziz, Peneliti The Institute of Southeast Asian Studies, Kathleen Azali, dan Ketua Presidium SINDIKASI Ellena Ekarahendy.
Peneliti Kathleen Azali, melalui sambungan panggilan video dari Singapura, menyebut Indonesia sebenarnya mengadopsi konsep ekonomi kreatif dari Inggris. “Pertengahan 2000an adalah masa di mana kebijakan ekonomi kreatif mulai masuk Indonesia, yang menyerap kebijakan di Inggris,” ungkapnya. Namun, ia mencatat ada kegagalan mengadopsi sistem tersebut.
Kegagalan itu terletak pada ketidakmampuan sistem menyediakan kesejahteraan bagi para pekerjanya. Ia menceritakan pernah melakukan penelitian di Surabaya, Jawa Timur. “Pekerja kreatif dibuat seolah-olah angka yang menjanjikan, tetapi angkanya dari mana? 40 persen lebih pekerja dibayar di bawah upah minimum,” rincinya.
Sementara, pegiat seni senior, Abduh Azis menyebutkan persoalan di industri seni, yang sekarang dikenal sebagai industri kreatif, sudah sejak dulu muncul. Menurutnya, banyak persoalan berakar dari tidak adanya kepastian kerja akibat sistem kerja lepas (freelance). “Pekerja kreatif adalah pekerja yang bahagia meskipun susah. Ke depan, harus ada upaya membangun ekosistem yang pengaruhi pekerja untuk kesejahteraan,” ujarnya.
Direktur Utama Perum Produksi Film Nasional tersebut mengungkapkan kesadaran membangun ekosistem kerja yang sehat lahir dari langkah konkret pekerja. Jika pemerintah abai, dia merekomendasikan pekerja yang harus mendesak. Namun, pekerja harus memiliki kesadaran kritis untuk menganalisis masalah sebelum mengadvokasi bahwa industri kreatif merupakan tulang punggung perekonomian ke depan. Kesadaran pekerja bisa dibangun secara kolektif lewat serikat. “Intinya dengan berserikat dan berorganisasi, suara kita bisa didengar lebih keras,” ungkapnya.
Berbagai sektor industri kreatif yang menurut Badan Ekonomi Kreatif mencakup 16 subsektor pun menjadi tantangan untuk para pekerja. Berbagai kerancuan dalam mengukur hasil kerja industri kreatif dikhawatirkan justru berpotensi meningkatkan kesenjangan. “Dalam pembahasan tenaga kerja, mereka yang tidak berserikat atau tidak punya federasi, isu mereka tak terangkat,” ujarnya.
Ketua Presidium SINDIKASI sekaligus perancang grafis, Ellena Ekamengakui sistem industri kreatif masih eksploitatif. Desainer grafis misalnya, menghadapi tantangan proses penciptaan yang dikesampingkan sehingga apresiasi penilaian produk desain minim. “Sebagai pekerja kebudayaan, pekerja mengalokasikan daya pikirnya dari manusia ke manusia lainnya. Kami dalam serikat ingin mendorong sistem kerja yang manusiawi,” ujarnya.
Pekerja kreatif yang bekerja mengatasnamakan kecintaan dan dedikasi, kata Ellena harus melihat kembali sistem kerjanya. Pekerja kebudayaan dinilainya harus memiliki tanggung jawab besar terhadap produk budaya yang dipublikasikan karena membentuk nilai di tengah masyarakat. “Namun sistem yang mengeksploitasi membuat pekerja budaya tercerabut dari makna kerja budaya itu sendiri,” ujarnya. Karena itu, serikat dinilainya harus bisa mendorong budaya tanding atau sistem alternatif terhadap sistem eksploitatif saat ini.