Analisa

Pasang Surut THR dan Perjuangan Buruh

 

Meme soal THR

Perputaran uang selama bulan Ramadhan dan idul Fitri 2017, menurut perkiraaan Bank Indonesia, melonjak hingga 14 persen. Bank Indonesia bahkan menggelontorkan tambahan Rp 147 triliun. Situasi ini mencerminkan tingginya pengeluaran masyarakat, terutama buruh di perkotaan dalam menyambut Idul Fitri. Pengeluaran kaum buruh di perkotaan membengkak karena kebutuhan mudik ke kampung halaman dan merayakan Idul Fitri.

Namun, penurunan daya beli buruh belakangan ini akibat Peraturan Pemerintah 78/2015 tentang Pengupahan memaksa buruh semakin berhitung untuk berkumpul bersama keluarga. Ini diperparah dengan lonjakan harga kebutuhan. Di sinilah, harapan terhadap Tunjangan Hari Raya (THR) menjadi semakin menguat. Bagaimana proses kelahiran THR yang memberi sedikit nafas bagi ekonomi kaum buruh di Indonesia? Apa yang bisa kita pelajari dari sejarah itu dan bagaimana relevansinya dengan situasi sekarang?

Ilustrasi Aksi Buruh Zaman Soekarno. Sumber:Berdiraionline

Cemburu, Protes Diperlakukan Tidak Adil

Mungkin sangat sedikit buruh yang tahu sejak kapan THR ini diterima. Ini karena buruh yang ada Indonesia tidaklah mendapatkan pendidikan sejarah menganai perjuangan kaum nya dalam memperjuangakan kesehjahteraan. Di sisi lain meski teknologi informasi sudah sangat berkembang namun minat baca buruh juga masih sangat rendah.

THR bermula dari kecemburuan kaum pekerja terhadap keistimewaan THR yang hanya diberika negara pada para pradja (sekarang PNS). Beberapa saat setelah dilantik pada April 1951, kabinet Soekiman Wirosandjojo memberikan THR ini di bagikan ke pegawai saat akhir bulan Ramadhan dengan nominal sebesar Rp 125 (setara Rp 1,1 juta) hingga Rp 200 (Setara 1,7 juta) (kabarburuh.com). Alasannya, untuk meningkatkan kesejahteraan. Padahal, selain uang, para pegawai juga mendapatkan beras dan tunjangan lainnya.

Bagi kaum buruh kebijakan ini dirasa sangatlah tidak adil dan diskriminatif. Kabinet Soekiman dianggap hanya mengistimewakan priyayi, yang ketika itu banyak menjadi pradja, dan mengabaikan rakyat jelata yang banyak sebagai buruh. hal ini lah yang melatar belakangi buruh lakukan protes kepada pemerintah saat itu. Terlebih, buruh ketika itu digembar-gemborkan sebagai soko guru pembanguan dan buruhlah yang memeras keringat menggerakan ekonomi melalui perusahan milik negara maupun swasta. Mereka merasa tidak diperhatikan soal kesehjahteraannya.

Sehingga di tahun 1950-an tuntutan tentang Tunjangan Hari Raya menjadi tuntutan bersama serikat buruh. Gelombang-gelombang protes yang semakin menguat akhirnya memaksa pemerintah pada 1954 mengeluarkan peraturan tentang persekot tunjangan hari raya no. 27 tahun 1954. Persekot ini lebih mirip utang piutang karena setelah menerima persekot THR pegawai wajib mengembalikan dengan memotong upah bulanan setelah sebulan persokot THR diterima pasal 6 PP no 27 tahun 1954. PP ini seperti sangat jauh dari apa yang diharapkan oleh para buruh sehingga perjuangan untuk tunjangan hari raya terus diperjuangakan baik secara demonstrasi maupun di tempuh dengan jalur hukum.

Semenjak kemunculan pp no 27 tahun 1954 ini banyak terjadi persoaln THR baik secara aksi demonstrasi maupun hingga di bawa pada perselisihan perburuhan. Melihat situasi ini menteri perburuhan Ahem Erningpradja di tahun 1959 mulai mengamati persoalan perburuhan ini hingga pada tahun 1961 mengukuhkan THR dalam peraturan menteri perburuhan no 1 tahun 1961 yang secara umum isinya adalah THR menjadi hak buruh swasta yang bekerja 3 bulan terus menerus tanpa putus’. Secara menyeluruh hak buruh terkait THR diatur cukup menyeluruh. Di tahun tahun berikutnya, pemerintah juga membuat peraturan yang lebih mengukuhkan THR sebagai hak buruh dan yang berbeda hanya nominalnya.

Dalam hal ini dengan konsistensi perjuangan kaum buruh Indonesia mampu membuat sejarah baru bagi buruh Indonesia. Sejarah itu adalah diakuinya THR sebagai Hak bagi buruh.

Buruh Kepung Istana pada 30 Oktober 2015 Tolak PP Pengupahan. Suber:Sindonews

Jalan Terjal THR

Namun perjalanan THR sebagai aturan tidaklah berjalan mulus seperti semestinya. Di zaman orde baru persoalan THR kembali menuai jalan terjal karena dianggap sebagai penghambat laju investasi. Menaker mengangap bahwa THR bukanlah hak bagi buruh. Baru lah pada tahun 1994 THR kembali di jadikan hak bagi buruh melalui peraturan menteri ketenagakerjaan NO.PER-04/1994 yang isinya kewajiban perusahan membayar THR sebesar 1kali upah dan di bayarkan selambat lambatnya di berikan 7 hari sebelum hari raya.

Namun, pada pelaksanaanya pemberian THR tidaklah berjalan mulus. Banyak perusahan yang tidak memberikan THR kepada buruhnya, meski dalam perturan di wajibkan namun ketika perusahan tidak memberikan THR kepada burunya tidak ada sangsi tegas di bagi pengusaha yang melanggar. Selain tidak ada sanksi tegas persoalan yang juga mendasar adalah tidak adanya sosialisasi dari pemerintah mengenai hak hak buruh. Sehingga karena ketidak tahuan ini banyak pelanggaran hak normatif buruh oleh pengusaha yang di diamkan oleh buruh.

Setelah orde baru tumbang gerakan buruh kembali menguat dan banyak persoalan perburuhan yang mencuat soal pelanggaran normative yang dilakukan oleh pengusaha. Soal THR banyak buruh atau serikat buruh membuat posko pengaduan THR hingga pada melakukan mogok kerja agar diberikan THR sebagaimana mestinya.

Setelah semakin tidak disukai buruh akibat PP Pengupahan 78/2015, pemerintaan Joko Widodo membuat kebijakan baru yang hanya sedikit lebih baik pada 2016 tentang THR. Permenaker 6/2016 tentang THR memberi hak buruh yang baru bekerja sebulan mendapat THR secara proporsional (1/12 gaji). Sebelumnya, hanya buruh dengan masa kerja tiga bulan yang bisa mendapatkan THR. Selain itu, revisi ini juga menegaskan kewajiban memberikan THR kepada buruh kontrak dan harian lepas secara proporsional. Perbedaat tipis ini terus digembar-gemborkan dan diiklankan oleh pemerintah seolah sebagai hadiah bagi buruh setelah menindas dengan PP Pengupahan.

Namun demikian, buruh tetap harus waspada karena belum ada ketegasan hukum bagi perusahaan yang bangkang tidak membayar THR. Artinya, gerakan buruh harus terus mengasah kekompakan dan terus belajar memperkuat diri. Perkakas berpikir harus terus dipertajam dan manajemen aksi ditingkatkan. Selain tidak ada sanksi tegas negara, perusahaan berpeluang membandel karena ketidaktahuan kita soal THR.

SALAM BELAJAR BERJUAG.

Sumberr ;

kabarburuh.com

jafar suryomenggolo ; hokum yang bergerak. sejengkal menjadi sehasta; THR dalam kajian hokum dan gerakan buruh indonesia

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Check Also
Close
Back to top button