Pandemi Berujung Resesi Ekonomi

Konferensi Pers Federasi Serikat Buruh Persatuan Indonesia (FSBPI-KPBI), Ki-Kanan (Sekjen Damar Panca, Ketua Umum Dian Septi, Wakil Ketua Jumisih)

DI SUSUN OLEH :

DEWAN PENGURUS NASIONAL

Bacaan Lainnya

FEDERASI SERIKAT BURUH PERSATUAN INDONESIA (FSBPI-KPBI)

Di penghujung tahun 2020 kita dapat menyaksikan letupan kemarahan gerakan rakyat yang terjadi di hampir seluruh wilayah di Indonesia, setidaknya ada 60 kota/kabupaten yang turut berkontribusi melakukan pergerakan melawan kebijakan pemerintah yang di nilai sangat merugikan rakyat dan hanya menguntungkan segelintir orang yang kita sebut Oligarki yang sejatinya mereka adalah sekelompok pemodal yang menguasai intitusi Negara.

Kebangkitan kemarahan gerakan rakyat yang terjadi di Indonesia maupun diluar negeri diiringi dengan krisis KAPITALISME yang hingga saat ini belum juga menemukan jalan keluarnya. Aksi-aksi yang melibatkan massa secara luas juga terjadi dibeberapa Negara, sebut saja Thailand, Hongkong, India dan bahkan juga terjadi di Negara KAPITALIS Amerika Serikat yang kemudian dikenal dengan gerakan Black Live Matter.

Dari sekian banyak aksi-aksi massa yang terjadi, tentunya tidak terlepas dari ketidakpuasan terhadap sistem tatanan ekonomi politik dunia yang berlaku saat ini yaitu sistem KAPITALISME. Sistem ini telah tebukti gagal membawa keberadaban umat manusia menjadi lebih baik. Ketidakadilan yang diciptakan oleh sistem kapitalisme telah menghantarkan kepada jurang pemisah yang cukup lebar antara si “kaya” dengan si “miskin”. Terlebih lagi kapitalisme hanya melahirkan krisis demi krisis yang semakin hari semakin mencekik kehidupan rakyat miskin.

Krisis berlapis sedang terjadi dihadapan rakyat indonesia, pertumbuhan ekonomi terjun bebas bahkan nyungsep hingga minus 5,32% dikuartal ke 2, meskipun laporan Menteri Keuangan sedikit memberikan angin segar dikuartal ke 3 yang mengalami kontraksi pertumbuhan menjadi sebesar minus 3,49%, namun tetap saja minus.Tidak ada perbaikan ekonomi  yang cukup signifikan dan secara teori ekonomi ketika pertumbuhan ekonomi mengalami minus dua kali secara berturut-turut, maka sudah bisa dipastikan kita masuk ke dalam kategori Resesi ekonomi.

Dampak Pandemi Covid 19

Pandemi covid 19 menyita perhatian masyarakat dunia, termasuk Indonesia. Berbagai lapisan masyarakat pun terdampak atas wabah ini, termasuk kaum buruh. Dalam dunia ketenagakerjaan, pemerintah berusaha untuk membuat berbagai kebijakan untuk penyelamatan dunia usaha. Dalihnya pun adalah untuk perlindungan tenaga kerja. Berikut dampak pandemi Covid 19 bagi kaum buruh selama kurun waktu 2020:

  1. Buruh Dipaksa Tetap Bekerja Dengan Resiko Terpapar Covid 19

Sejak pandemi Covid 19 merebak di Indonesia, buruh di beberapa sektor seperti manufaktur tetap diharuskan bekerja dengan fasilitas K3 yang terbatas. Berdasarkan penelitian Marsinah FM terhadap buruh di Jabotabek, Karawang dan Jawa Tengah, sebanyak 67,81% buruh masih harus berangkat bekerja, dengan 47,25% diantaranya tetap bekerja penuh seperti biasa, sementara sebanyak 17,12% menerima pengurangan jam kerja. Hal ini menunjukkan masih tingginya mobilitas kaum buruh sebagai manusia yang bisa berakibat menjadi inang serta carrier Covid 19,

Seharusnya, kaum buruh yang tetap diharuskan bekerja ini memperoleh fasilitas kesehatan yang memadai untuk melindungi mereka dari paparan Covid 19. Namun, faktanya, mayoritas justru tidak memperoleh fasillitas kesehatan yang memadai. Bahkan , 25,25% buruh bekerja tanpa sama sekali menerima fasilitas kesehatan dari perusahaan. Padahal, orang bisa terpapar covid tanpa menunjukkan gejala dan hal tersebut tampaknya tak membuat pengusaha tergerak untuk memberikan fasilitas kesehatan yang memadai. Bila pun ada, fasilitas kesehatan itu sangatlah minim sekali, sehingga buruh terpaksa merogoh kantong lebih dalam lagi untuk membeli sendiri fasilitas kesehatan yang dibutuhkan.

Ketidakseriusan perusahaan dalam mencegah penyebarluasan Covid 19 ini telah mengkonfirmasi logika efisiensi perusahaan yang sudah tumbuh secara destruktif. Setidaknya muncul dua kemungkinan, (1) kesehatan dan keselamatan kerja hanya dianggap sebagai penambah biaya produksi; (2) perusahaan sama sekali tidak peduli jika buruhnya meregang nyawa sembari ia terus mengumpulkan laba. Di tengah pandemi, eksploitasi buruh dipertontonkan secara kasat mata.

  1. Maraknya PHK Massal dan Pemangkasan Upah Dengan Dalih Pandemi

Krisis kesehatan yang dilahirkan dari pandemic covid 19 juga semakin menambah rentetan persoalan yang kemudian berdampak kepada semakin merosotnya perekonomian nasionaljustru dijadikan alasan bagi perusahaan dan para pengusaha untuk melakukan kebijakan efesiensi yang berujung pada semakin maraknya proses PHK massal terhadap kaum buruh di Indonesia. Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) mencatat hingga 31 Juli 2020, jumlah pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja ( PHK) maupun dirumahkan mencapai 3,5 juta lebih (Jakarta, kompas.com). Sementara, berdasarkan penelitian Marsinah FM terhadap buruh di Jabotabek, Karawang dan Jawa Tengah, 28,8% buruh dirumahkan dan sebanyak 65,85% diantaranya tidak diupah sama sekali selama dirumahkan. Tindakan merumahkan buruh, merupakan tindakan mencampakkan buruh setelah sekian lama memberi laba bagi kantong pengusaha

Maraknya PHK massal ini tak lepas dari dipermudahnya proses PHK tersebut oleh Menteri Tenaga Kerja dengan diterbitkannya Surat e Menaker Nomor M/3/HK.04/III/2020 Tahun 2020 tentang Pelindungan Pekerja/Buruh dan Kelangsungan Usaha Dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Covid-19. Alih – alih melindungi tenaga kerja, Surat Edaran ini justru memberikan lampu hijau bagi pengusaha untuk mempermudah buruh dirumahkan, di PHK semena – mena. Meski sudah memperoleh ragam stimulus fiskal, tidak lantas membuat perusahaan tergerak melindungi buruh pada situasi sulit. Padahal di tengah pandemi, buruh tidak hanya butuh sekedar kenyang, namun juga nutrisi yang cukup supaya terhindar dari paparan Covid 19, di samping kebutuhan lainnya seperti sewa hunian, kebutuhan pendidikan anak yang melonjak dan banyak lagi. Sementara, pilihan pulang ke kampung halaman pasca dirumahkan, juga bukan tanpa resiko karena bisa berpotensi menjadi carrier Covid 19 bagi keluarga dan masyarakat di kampung halaman. Sebaliknya, di masa pandemi perusahaan semakin leluasa mengeksploitasi buruh demi meraup untung dengan perlindungan penuh dari negara.

Pandemi seolah menjadi pembenar untuk tidak menaikkan upah buruh. Kebijakan kemenaker dengan menyerahkan penentuan upah pada perundingan antara buruh dan pengusaha, sesungguhnya merupakan tindakan melepas tanggung jawab negara. Dengan bersembunyi di balik kalimat “kesepakataan antara buruh dan pengusaha” yang seolah demokratis, sebenarnya merupakan strategi licik yang bersembunyi dibalik alasan menurunnya permintaan pasar. Padahal, menurunnya permintaan pasar selama pandemi tidak serta merta membuat kas perusahaan kosong. Tidak cukup sampai di situ, Surat Edaran Menaker Nomor M/11/HK.04/X/2020 tentang Penetapan Upah Minimum Tahun 2021 pada Masa Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19), Menteri Tenaga Kerja, Ida Fauziah, menyerukan kepada para Gubernur untuk tidak menaikkan upah pada 2021 dengan alasan untuk pemulihan kondisi ekonomi akibat pandemi. Kebijakan tersebut, meski bersifat himbauan, menjadi landasan bagi gubernur – gubernur di daerah untuk tidak menaikkan atau memberi kenaikan dalam nominal sangat kecil. Akibatnya, kenaikan upah buruh semakin terjun bebas di banding tahun – tahun sebelumnya, yang sebenarnya sudah diperparah dengan PP 78/2015 yang melegalkan politik upah murah. Dengan upah yang semakin kecil, diperparah dengan dipangkasnya upah atas nama pandemi, buruh beserta keluarganya baik di sektor formal, yang diinformalkan, perkebunan, transportasi dan ragam sektor lainnya, semakin dimiskinkan secara sistematis.

  1. Ketiadaan Kepastian Kerja

Pandemi telah membawa situasi tidak menentu dan ketidakpastian masa depan. Buruh harus menerima kenyataan pahit bisa kehilangan pekerjaan sewaktu – waktu, penghasilan tidak menentu dan kejelasan masa depan kerja yang kian buram.

Bagi buruh di sektor transportasi yang tak pernah diakui sebagai pekerja, dengan dalih kemitraan, situasi pandemi justru mempertegas ketidak jelasan hubungan kerja tersebut. Status mitra selama ini telah menghilangkan hampir semua hak yang melekat pada diri mereka, mulai dari hak normatif seperti upah, jam kerja, jaminan sosial dll. Di masa PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar), sektor transportasi menjadi salah satu sektor yang tetap diperbolehkan beroperasi. Selama bekerja di jalanan, buruh transportasi nyaris tidak dibekali sama sekali dengan fasilitas K3 untuk mencegah penyebaran Covid. Sementara, transportasi di sektor online (Ojek Online) terpaksa harus menerima kenyataan pahit menurunnya jumlah customer yang berdampak pada terjun bebasnya penghasilan.

Situasi ini erat kaitannya dengan ketidakpastian kebijakan pemerintah dan pengusaha terkait keberlangsungan kerja dan pemenuhan upah bagi buruh di masa darurat pandemi Covid 19. Sementara, ketersediaan lapangan kerja kian tergerus dengan hadirnya pandemi. Pun, solusi memperluas kemudahan bagi investor demi terbukanya lapangan kerja, pada kenyataannya tidak linear dengan penyerapan tenaga kerja. Masa depan kerja tak pasti, nasib buruh makin suram.

  1. Bansos Tak Sampai, Program Kartu Pra Kerja Tak Tepat Sasaran

Selama pandemi yang berdampak pada berkurangnya penghasilan memaksa buruh mengurangi nutrisi makanan yang dikonsumsi keluarganya. Program Bansos yang diharapkan bisa meringankan beban hidup, mengganjal perut lapar, faktanya banyak tidak sampai dengan beragam alasan. Salah satu penyebabnya adalah tidak terdata sebagai warga setempat karena dianggap pendatang sehingga tidak memiliki KTP setempat. Padahal sebagian besar buruh merantau ke kota dan telah berkontribusi pada berjalannya roda ekonomi. Buruknya data pemerintah terkait penerima bansos hanya menunjukkan buruknya sistem jaminan sosial pemerintah.

Berdasarkan temuan Marsinah FM di lapangan, buruh harus aktif mempertanyakan dan memperjuangkan haknya terhadap bansos terlebih dahulu baru kemudian mendapatkan jatah distribusi bansos. Itu pun, tidak semua mendapatkan secara penuh karena bansos yang tersedia harus dibagi rata kepada warga. Artinya, ketersediaan bansos di wilayah Jabodetabek yang dianggarkan sebesar Rp 6,49 trilliun tidak sepenuhnya dinikmati oleh warga, termasuk diantaranya kaum buruh. Belakangan, diketahui dana tersebut telah dikorupsi dan Menteri Sosial Juliari Batubara, terduga telah menerima suap bansos dengan nilai kurang lebih Rp 5,9 tirliun. Di dalamnya, terdapat total 272 kontrak dan dilaksanakan sebanyak 2 periode.

Selain program bansos, pemerintah menggelontorkan Program kartu prakerja yang mengundang kontroversi. Program kartu pra kerja ini telah terealisasi sebesar Rp 19,87 triliun atau setara dengan 99,4% dari total anggaran Rp 20 triliun. Kartu Prakerja ini juga telah disalurkan hingga sekitar 5,59 juta peserta. Pihak swasta dan BUMN pun dilibatkan untuk melakukan pelatihan dan peningkatan kapasitas bagi para pemegang kartu pra kerja. (nasional.kontan.co). Sejalan dengan besarnya imbas wabah COVID-19 terhadap ekonomi nasional, pemerintah pun mengalihkannya menjadi program bantuan biaya pelatihan dan insentif bagi para pekerja, pencari kerja, serta pelaku Usaha Mikro dan Kecil (UMK) yang kehilangan pekerjaan dan/atau mengalami penurunan daya beli akibat pandemi virus corona. Selain diharapkan membantu meningkatkan keterampilan, program ini diharapkan dapat membantu meringankan beban hidup para pekerja. Benarkah demikian?

Dalam penerapan program kartu Pra Kerja ternyata tidak efektif menekan angka pengangguran seperti yang diharapkan, apalagi menciptakan wirausaha. Karena Peserta tidak diarahkan ke industri unggulan, seharusnya pemerintah memberikan informasi terkait industri spesifik yang dibutuhkan oleh pasar untuk industry jangka pendek dan panjang, terlepas peserta juga mempunyai peminatan tersendiri; Pemerintah juga tidak memberikan informasi kepada peserta mengenai keahlian apa yang dibutuhkan oleh industri potensial; dan desain dan konten pelatihan belum memastikan terpenuhinya ketrampilan yang dibutuhkan. Alhasil, ketidakpastian kerja semakin menjadi belenggu bagi buruh terdampak pandemi di 2020 ini.

 

  1. Gelombang Pengusiran Buruh Migran Tak Berdokumen

Hadirnya pandemi semakin meningkatkan gelombang pengusiran buruh migran Indonesia tak berdokumen yang bekerja di luar negeri, terutama buruh migran yang bekerja di perkebunan Sabah, Malaysia. Sejak 1 Januari 2020, pemerintah Malaysia mengeluarkan kebijakan razia  PATI (Penghuni Asing Tanpa Identitas). Kebijakan ini disusul dengan pemberlakuan pembatasan mobilitas atau Perintah Perkawalan Pergerakan untuk membendung penularan Covid 19. Kegiatan warga dibatasi, perbatasan antar negara ditutup.

Segera setelah proses razia dan perbatasan tersebut, Gubernur Kalimantan Utara meminta penundaan pemulangan buruh migran Indonesia karena minimnya fasilitas di provinsi tersebut. Akibatnya, ribuan buruh migran tertahan dan terlantar di Sabah, Malaysia. Mereka ditempatkan di Pusat Tahanan Sementara dan mendapat perlakuan tidak manusiawi.

Menyusul pandemi Covid 19 yang kian parah, pemerintah Malaysia menghentikan aktivitas kerja perkebunan sawit, buruh diliburkan hingga April 2020. Selama diliburkan, mereka tidak memperoleh hak dan terpaksa bertahan di Pusat Tahanan Sementara.

 

  1. Kian Massifnya Eksploitasi Buruh Perkebunan

Dampak wabah Covid 19 tanpa bisa dibendung telah meluas ke berbagai sektor industri, termasuk sawit. Eskpor CPO dari Indonesia ke beberapa negara seperti China, India, Uni Eropa telah mengalami penurunan signifikan. Hal ini dikarenakan negara – negara importir sawit masih dalam situasi karantina.

Menurunnya permintaan sawit berakibat pada melambatnya ekonom global yang mengancam buruh, terutama di sektor hulu. Ancaman tersebut muncul dalam bentuk efisiensi, dimana buruh sawit banyak ter PHK, pengurangan upah dan tidak dibayarkannya THR. Mayoritas buruh sawit yang berstatus buruh harian lepas menjadi kelompok yang paling rentan karena kondisi kerja yang lebih buruk. Dari 20 juta buruh sawit, 60% diantaranya adalah buruh harian lepas, yang mayoritas adalah perempuan.

Di tengah makin sulitnya hidup di tengah pandemi, kita semua dikejutkan dengan temuan VOA Indonesia terkait maraknya kekerasan seksual terhadap buruh perempuan sawit. Temuan itu menunjukkan bagaimana Buruh perempuan sawit dieksploitasi baik secara kerja maupun seksual. Sebuah eksploitasi kerja dan seksual yang keji sekaligus primitif

 

  1. Buruh di sektor pekerjaan yang diinformalkan dan PRT makin terpinggirkan

Ketidak pastian kerja membuat buruh dengan usia yang tidak lagi muda terdesak ke sektor informal dengan kondisi kerja yang jauh lebih buruk. Mayoritas buruh yang ter PHK di masa pandemic terpaksa bekerja di sektor pekerjaan yang diinformalkan. Buruh garmen di KBN Cakung  Jakarta Utara misalnya yang tidak punya pilihan lapangan kerja, terpaksa bekerja di konveksi dengan jam kerja lebih panjang dan upah jauh lebih kecil dari bekerja di perusahaan, pun tak luput dari pengurangan upah.

Sistem pengupahan berdasarkan satuan hasil dan satuan waktu membuat pengurangan upah semakin mungkin terjadi di sektor pekerjaan yang diinformalkan. Sementara, ketiadaan perlindungan hukum bagi buruh di pekerjaan yang diinformalkan semakin menutup ruang bagi mereka untuk menegosiasikan hak.

Di sisi lain, PRT (Pekerja Rumah Tangga) yang masih jauh dari pengakuan sebagai pekerja dan bekerja di area rumah yang juga tak dianggap sebagai tempat kerja menempatkan PRT di posisi yang sangat lemah, rentan dan karenanya sangat beresiko. Paradigma PRT sebagai abdi yang harus mengabdi pada majikan menjauhkan mereka dari hak yang seharusnya mereka miliki sebagai pekerja. Di tengah pandemi, ketika setiap warga negara diharuskan bekerja di rumah, memperbesar potensi kekerasan kepada PRT, pun menambah frekuensi pekerjaan dan memperpanjang jam kerja nyaris tanpa jeda. Di situasi yang demikian parah, negara masih menunda pengesahan RUU PRT yang kini sudah mangkrak selama 16 tahun. Ketimpangan gender dalam struktur sosial masyarakat berkontribusi besar pada diskriminasi dan kekerasan kepada PRT yang mengerjakan pekerjaan reproduksi sosial (perawatan) yang meski menjadi tumpuan sistem ekonomi yang kini berlangsung, tapi tidak pernah diakui sebagai kerja. Pertarungan dalam pengesahan RUU PRT, pada akhirnya merupakan pertarungan menentang ideologi ekonomi politik kapitalisme yang berwatak patriarkal.

  1. Pandemi Memiskinkan Buruh Perempuan Secara Sistematis

Sistem ekonomi politik kapitalisme yang berwatak patriarkal, tidak pernah menghargai  perempuan sebagai pekerja sehingga mengabaikan kerja perempuan yang berkontribusi besar pada laju perekonomian dunia. Kerja di area reproduksi sosial atau kerja perawatan di area domestik telah menjadi tumpuan bagi kerja produksi yang memunculkan nilai lebih dan memberikan profit berlimpah bagi pemilik modal.

Diabaikannya kerja reproduksi perempuan berimbas pada pengabaian kesehatan reproduksi perempuan. Kapitalisme melihat produktivitas tenaga kerja dalam kaca mata patriarkal sehingga proses reproduksi seksual pada buruh perempuan sering kali dianggap sebagai hambatan produktifitas. Hal ini secara sistematis diterapkan dalam proses produksi yang kerap tidak memperhitungkan kesehatan reproduksi perempuan yang membutuhkan fasilitas khusus, baik dalam masa haid, hamil, melahirkan maupun menyusui. Sistem kerja berdasarkan target merupakan contoh paling konkrit pengabaian kesehatan reproduksi perempuan, dimana target ditempatkan di atas segalanya hingga buruh dilarang ke toilet sebelum target yang tak masuk akal itu tercapai. Kita bisa membayangkan bagaimana buruh ibu harus bekerja dalam kondisi tersebut dengan kesehatan dirinya dan janin sebagai taruhan.

Di masa pandemi, perhitungan upah berdasarkan target atau hasil dan per satuan waktu, kian menjadi dengan alasan supaya terhindar dari rugi dan pemulihan ekonomi. Pertanyaannya, sistem ekonomi macam apa yang menempatkan buruh ibu dan janin dalam pertaruhan antara hidup dan mati?

Pengesahan UU Cilaka dan Gelombang Perlawanan Rakyat

Di tengah kecarut-marutan situasi ekonomi dan politik nasional, pemerintah dan DPR RI yang seharusnya fokus terhadap penanggulangan pandemic covid 19 yang sudah banyak merenggut nyawa rakyat Indonesia, justru malah mengeluarkan satu kebijakan UU Cilaka Omnibus Law yang kemudian berpotensi menambah persoalan bagi rakyat. UU ini secara isi berpeluang merampas kesejahteraan kaum buruh, mempermudah perampasan tanah yang dilakukan oleh korporasi terhadap kaum tani, merampas masa depan kaum pemuda dan pelajar, merusak lingkungan dan semakin mempersempit ruang-ruang demokrasi, termasuk diskriminasi terhadap kaum perempuan.

Dari sejak awal digulirkan, UU Cilaka sapu jagad Omnibus Law sudah mengundang banyak kontroversi karena sarat kepentingan bisnis – politik dan tidak transparan. Satgas Omnibus Law yang dibentuk tak satupun mengikutsertakan elemen masyarakat terdampak seperti masyarakat adat, petani, buruh dan lainnya. Dalam perkembangannya, pemerintah mengundang perwakilan SP/SB agar tampak demokratis, padahal forum tersebut hanyalah forum untuk memberi legitimasi bagi rejim penguasa untuk mengesahkan UU Cilaka. Jelas, proses pengesahan UU Cilaka tidak demokratis.

Pemerintah menyampaikan UU Ciptaker adalah untuk menarik investasi, mengatasi problem over-regulasi dan membuka lapangan pekerjaan bagi tujuh juta pengangguran di Indonesia saat ini. Namun, banyak pihak menilai bahwa keberadaan UU Ciptaker akan berdampak merugikan bagi rakyat Indonesia dan lingkungan. Sementara dari aspek formil, UU Ciptaker dinilai inkonstitusional oleh para pakar hukum. Proses perencanaan, penyusunan, pembahasan dinilai tidak demokratis, tidak transparan dan tidak akuntabel. Pembahasannya cenderung ugal-ugalan dan karena terburu-buru tidak akan bisa mengatasi over regulasi. Hal tersebut disampaikan oleh M. Nur Sholihin, dosen bidang perburuhan pada Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera dan peneliti di Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK).

Nuansa kepentingan oligarki bahkan terlihat kental dalam proses pengesahan UU Cilaka yang akhirnya terjadi pada 5 Oktober 2020 dan ditandatangani presiden Jokowi pada 2 November 2020. Para oligarki ini lah yang diuntungkan dengan hadirnya UU Cilaka. Mayoritas dari mereka duduk dalam gedung senayan dan kabinet Jokowi. Berdasarkan laporan TEMPO pada tahun 2019 sebanyak 262 orang (45,5%) dari total 575 anggota DPR adalah para direksi dan komisaris di lebih 1000 perusahaan ternama, yang diantaranya bekerja di sektor padat modal, perkebunan, kehutanan, tambang.

Dalam isu ketenagakerjaan, UU Cilaka telah melucuti hak buruh demi kepentingan akumulasi kapital. Fleksibilitas ketenagakerjaan menjadi tema utama UU Cilaka yang menghasilkan fleksibilitas jam kerja, upah, status kerja yang artinya buruh bisa sewaktu – waktu dipekerjakan dan di PHK atau dengan kata lain ‘easy firing, easy hiring’.

Selain itu, UU Cilaka berpotensi menghilangkan hak buruh perempuan dengan diterapkannya upah per satuan hasil dan waktu. Dalam prakteknya, hal ini sebenarnya sudah diberlakukan dalam bentuk kerja target dan no work no pay yang dalam situasi pandemi justru semakin menemukan landasannya. Dengan sistem upah per satuan waktu dan hasil, buruh perempuan diabaikan kesehatan reproduksinya atas nama produktivitas. Hal ini membuat upah buruh perempuan terancam tergerus, pun membahayakan kesehatan reproduksi perempuan yang membutuhkan waktu khusus di sela jam kerja untuk beristirahat. Buruh perempuan terancam bekerja tanpa istirahat yang bisa membahayakan kesehatan reproduksi, pun bila memanfaatkan waktu untuk beristirahat berpotensi dipotong upahnya karena upah dihitung berdasarkan satuan hasil dan waktu.

Dengan semangat fleksibilitas tenaga kerja, UU Cilaka berpotensi menempatkan buruh sebagai buruh kontrak seumur hidupnya. Jauh sebelum disahkannya UU Cilaka mayoritas buruh terjebak dalam sistem kontrak yang panjang. Meski UU Ketenagakerjaan No. 13 menyebutkan bahwa buruh hanya bisa dikontrak selama 3 tahun, namun fakta di lapangan mereka bisa bekerja dengan status kontrak belasan tahun atau seumur hidup. UU Cilaka menguatkan pelanggaran ini dan melegalkan status buruh kontrak seumur hidup, dengan menghapuskan batasan kontrak selama 3 tahun, serta menghapus syarat – syarat melakukan syarat kerja pemborongan, bentuk kerja yang bisa diserahkan ke perusahaan lain, penghapusan larangan penyerahan kegiatan pokok atau proses produksi kepada perusahaan penyedia jasa pekerja berdampak pada maraknya penerapan sistem kerja outsourcing karena berbiaya murah.

UU Cilaka juga melegalkan perpanjangan waktu kerja dengan memperbolehkan pengusaha mempekerjakan buruh di sektor usaha tertentu selama 40 jam/1 minggu dan menambah waktu kerja lembur yang semula diatur 3 jam/hari dan 14 jam/1 minggu menjadi 4 jam/hari dan 18 jam/minggu. Perpanjangan jam kerja ini merupakan eksploitasi tenaga kerja buruh karena buruh menjadi berkurang waktu istirahatnya dan semakin tak memiliki waktu berharga untuk pengembangan diri sebagai manusia.

UU Cilaka menghapus hak cuti panjang bagi buruh yang telah bekerja selama 6 tahun berturut – turut. Berkurangnya waktu istirahat bagi buruh berpotensi menurunkan kesehatan mental dan fisik buruh yang setiap harinya sudah bekerja di bawah tekanan target. Hilangnya hak cuti panjang ini bisa menurunkan kualitas hidup buruh sebagai manusia .

Selain memperburuk nasib buruh, UU Cilaka ini berpotensi merusak alam dan lingkungan, mengancam kehidupan masyarakat adat, kaum tani dan masyarakat kecil lainnya. Orientasi UU Cilaka pada investor telah mengorbankan nasib rakyat banyak dan melanggengkan pemiskinan sistematis. Derita selama pandemi dan ketidakpedulian pemerintah pada rakyat kecil yang berjibaku dengan dampak pandemi ditambah pengesahan UU Cilaka yang tidak mempedulikan situasi rakyat di kala pandemi mendorong gelombang perlawanan yang tidak kecil.

Pada tgl 8 Oktober 2020, gelombang perlawanan rakyat membesar dan meluas di 60 kota mencakup ragam sektor mulai dari kelompok buruh, tani, mahasiswa, pelajar hingga rakyat miskin kota. Protes besar pada 8 Oktober 2020 banyak disokong oleh spontanitas massa dan menjadi puncak perlawanan Omnibus Law. Karakter gerakan spontan yang  singkat dan cepat menghilang merupakan batasan dari gerakan spontan. Gerakan serupa pernah terjadi di tahun sebelumnya, pada September 2019 dengan durasi gerakan perlawanan yang sangat pendek.

Tekhnologi informasi memiliki peran cukup signifikan dalam memperbesar atmosfir perlawanan. Tagar mosi tidak percaya dan cabut omnibus law menjadi trending topik dan mampu menjaga api perlawanan hingga letupan terjadi. Dikerahkannya UU ITE sebagai peluru bagi rejim penguasa untuk menghabisi perlawanan ini cukup bisa membuktikan besarnya kekuatan media sosial dalam kancah perlawanan. Kaum muda merupakan digital native yang terpolisasi dengan derasnya informasi yang mereka konsumsi melalui tekhnologi informasi. Suara perlawanan itu meluas dari akun media sosial, nyaring melalui grup – grup WAG dan akhirnya meluap di jalanan meski masih sangat spontan dan berlangsung dalam durasi singkat.

Berang dengan perlawanan yang massif terjadi pemerintah Jokowi segera melakukan framing, bahwa pihak yang menolak Omnibus Law menyebarkan hoax, bahwa demonstrasi bukan tindakan intelektual, tidak demokratis, rusuh, padahal demonstrasi adalah bagian demokrasi, konstitusional dan dijamin serta dilindungi oleh UU.

Tak hanya itu, pemerintah melalui aparat bersenjatanya melakukan represifitas berupa penangkapan – penangkapan bahkan sebelum aksi demonstrasi terjadi (pada aksi 8 Oktober 2020, sekitar 5000 peserta aksi ditangkap). Di beberapa daerah kelompok mahasiswa ditangkap ketika melakukan rapat persiapan aksi, saat berangkat demonstrasi. Bentuk represifitas lainnya adalah dengan serangan digital seperti doxing, penyadapan dll.

Saatnya Memimpin Perjuangan dan Membangun “Persatuan Nasional” Gerakan Rakyat

Karakter perlawanan yang masih spontan, dengan durasi perlawanan yang sangat pendek harus menjadi perhatian lebih bagi gerakan buruh. Karakter aliansi perlawanan yang basih bersifat komite aksi dan bersifat kedaerahan sebaiknya dimajukan kapasitasnya menjadi “Persatuan Nasional” yang lebih startegis, terorganisir secara nasional dan memiliki visi perjuangan yang bisa menjadi amunisi perlawanan jangka panjang.

Tidak menutup kemungkinan, letupan perlawanan serupa bisa kembali terjadi mengingat makin beringasnya rejim dalam memukul mundur gerakan rakyat, sehingga penting untuk menjaga aliansi – aliansi di tingkat kota/kabupaten yang sudah terbangun dengan ikatan program kerja yang lebih politis dan berjangka menengah maupun panjang.

Ikatan program bersama yang serius dalam mengolah issue perjuangan rakyat dengan target kemenangan di tingkat tertentu yang jelas dan terukur, harapannya bisa mejadi amunisi bagi “Persatuan Nasional” yang kedepannya akan menjadi alat PERSATUAN dan PERJUANGAN bersama untuk menghadapi dengan lebih kuat kebijakan penguasa Oligark yang menyerang sendi – sendi  kehidupan rakyat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.