Paruh pertama tahun 1916, tiba saatnya bagi Syarif Husain melantamkan pembangkangan kepada Ustmaniyah. Untuk kali kesekian, seperti sebelum dan sesudahnya, kepingan bangsa Arab silih berganti menolak menjadi bagian dari anatomi kekuasaan Ustmaniyah.
Mereka boleh memiliki satu kiblat dan syahadat. Bait Adzan yang mereka lantunkan sama persis, pun posisi sujud tak ada beda, namun Tuhan pun tak pernah sanggup mengatur manusia bila menyangkut kekuasaan. Penguasa Arab tak suka meja makannya diambil rivalnya dari Turki. Mereka ingin memamah kurmanya sendiri.
Dan Syarif Husain tentu bukan sembarangan orang. Di darahnya mengalir trah penguasa. Ada silsilah kenabian pula yang melekat di denyut nadinya. Syarif Husain seorang Hasyimiyah. Orang Mekkah sungguh paham, Hasyimiyah merupakan keluarga tua terpandang dan kelewat berpengaruh.
Hasyim darimana nama marga ini diambil, tak lain kakek buyut dari Muhammad. Nama terakhir ini merupakan sosok penerima wahyu, mahluk yang diciptakan Tuhan secara spesial, oleh siapa kemudian Islam dihantarkan menjadi agama paling dominan di kawasan tersebut.
Kakek Hasyim sendiri, Qusai bin Kilab, pemegang kunci Kabah, yang lantas otoritas ini secara turun-menurun diwariskan kepada anak cicitnya. Maka, pembangkangan Syarif Husain jelas bukan masalah sepele.
Yang dihadapi Kostantinopel ialah wajah klasik penguasa kota suci. Sebelum Islam terbit, -ketika Latta dan Uzza masih menjadi centrum keillahian-, pun setelah Islam dilanjutkan pasca Muhammad, keluarga ini adalah protagonis dalam masalah-masalah politik.
Dimana saja, seorang pembangkang yang serius mula-mula wajib mengukur persoalan legitimasi yang dimilikinya. Dan Syarif Husain mempunyai seluruh legitimasi yang dibutuhkan, bahkan nyaris sempurna. Silsilah keturunan, kultur, reputasi serta jejak kenabian, dia ada semua. Ditambah satu lagi: dukungan Inggris.
Sejarah mengetahui, satu tahun sebelum Syarif Husain melontarkan pembangkangannya, Inggris tengah kepayahan menghadapi Ustmaniyah dan Jerman di Gallipoli. Dunia kala itu memang tengah menyelenggarakan Perang Dunia-nya yang pertama dengan meriah.
Di tahun yang sama dengan kewalahan Inggris, tepatnya Juli 1915, Syarif Husain
mulai menjalin kontak dengan Komisaris Tinggi Inggris di Mesir, Sir Henry McMahon. Berlangsunglah korespondensi panjang, delapan bulan lamanya. Ini adalah percakapan tingkat tinggi yang akan menentukan warna sejarah kawasan.
Apa yang terjadi selanjutnya sungguh mudah ditebak. Inggris butuh Syarif Husain, pun sebaliknya. Begitulah biasanya persengkongkolan bermula, ketika kepentingan para pihak bersua. Inggris menjanjikan pengakuan bagi kerajaan Arab merdeka dimana Syarif Husain dan Bani Hasyimiyah akan menjadi penguasanya.
Apa yang harus ditunaikan Syarif Husain sebagai timbal baliknya? Syarif Husain mesti menggasak Turki Ustmani, salah satu musuh Inggris di palagan Perang Dunia. Inggris akan berbaik hati menyediakan senjata, dana dan gandum demi melancarkan maksud-masud itu.
5 Juni 1916, pembangkangan Syarif Husain dengan cepat berubah menjadi pemberontakan bersenjata. Ustmaniyah harus dipreteli persis di kota sucinya, pikir Inggris. Khilafah Turki mesti dipotong kuku-kuku kekuasaannya di tanah Arab, niat Syarif Husain. Dalam seminggu Mekkah pun jatuh ke tangan Hasyimiyah.
Pelabuhan Laut Merah di Jeddah dalam waktu singkat telah pula diambil alih. Posisi-posisi pemerintahan Khilafah diberangus di Hijaz. Rel kereta api sepanjang 1.300 km di Gurun Suriah disabotase. Bahkan serangan menyusur hingga Aqobah, dimana Faisal, putera Syarif Husain memimpin dan memenangkannya.
Syarif Husain benar-benar serius menjalankan niatnya.
Islam melawan Islam, baku bunuh diantara mereka, adalah sejarah dari Islam itu sendiri. Tapi kali ini Dunia Arab hanyalah ceruk dalam peta kekuasaan global. Syarif Husain tak akan pernah tiba ke tujuannya, kecuali cuma menjadi daki di ketiak Inggris, seperti sebelumnya di tumit Turki.
Abdullah puteranya itu, kelak hanya menjadi gedibal atau kepanjangantangan Inggris di TransJordania dalam ancaman tekanan militer. Sementara Faisal, puteranya yang lain, ketika dilantik menjadi raja Irak, 23 Agustus 1921, lagu yang mengiringinya tak lain “God Save The King”, versi lain “God Save The Queen”, tembang nasional Inggris dan persemakmurannya.
Arab yang kusam dalam cengkeraman imperialisme Barat. Syarif Husain pernah memainkan opera yang buruk. Berjabat tangan dengan agresor dalam teater kekuasaan. Perangai semacam ini hanya mungkin berakhir dalam dua takdir: menjadi kacung atau dipancung. Hasyimiyah memilih yang pertama.
Referensi
Dari Puncak Khilafah, Eugene Rogan, 2017
The Fall of Khilafah, Eugene Rogan, 2016
History of The Arabs, Philips K. Hitti, 2016
Artikel:
Bani Syaibah Pemegang Kunci Ka’bah: https://m.republika.co.id/amp/osvi9t313
Mengenal Keluhuran Bani Hasyim:
https://m.republika.co.id/amp/orxrtd313