(Pertama kali diterbitkan pada 2016, dimuat ulang untuk tetap mawas tentang kampanye pemerintah yang terus dan konsisten untuk menurunkankan mobilisasi (kekuatan) gerakan buruh)
Sebelum hari buruh atau May Day pada 2016, berbagai kepala daerah dan pejabat kepolisian menyampaikan pesan yang sama. Intinya, “Jangan demo, bikinlah acara apapun, nanti kami sponsori.”
Mereka yang menekankan hal itu terutama Menteri Tenaga Kerja, Hanif Dhakiri, dengan pesan, “sebaiknya bakti sosial dan donor danar.” Hasutan para pejabat itu bermuara pada apel siaga Polda Metro Jaya yang memutuskan melarang buruh melakukan unjuk rasa di Bundaran HI hingga Patung Kuda Indosat di Jalan Merdeka Barat dengan alasan Hari Bebas Kendaraan Bermotor (Car Free Day). Di lain sisi, sejumlah gerakan buruh menolak tegas ajakan itu. Di sini, kita melihat ada serangan narasi dari pemerintah dan upaya bertahan dari gerakan buruh.
Narasi merupakan sebuah upaya untuk membangun ideology. Pierre Macherey menyebutkan, sebagaimana dikutip dalam The Postcolonial Studies Readers ideology terbangun dari, “apa yang tidak disebutkan. Ideologi ada karena ada hal-hal yang harus tidak boleh disebutka.” Meskipun begitu, seperti disebutkan Slavoj Zizek berulang kali, ideology adalah unkwon known. Kita mengetahuinya tapi tidak menyadarinya.
Narasi Pemerintah: Gerakan Buruh Tidak Berguna dan Anti-Rakyat
Pemerintah jelas paham, unjuk rasa kelas pekerja dan para pendukungnya pada Hari Buruh tidak mungkin dibendung. Terlebih, UUD45 dan UU no 9/1998 tentang kebebasan berpendapat memberi payung hukum. Menyadari hal ini, pemerintahan Joko Widodo mencoba membangun narasi bahwa demonstrasi tidak baik dan tidak memiliki faedah.
Dalam melakukan politik Public Relation, beberapa kegiatan yang berhasil dijalankan pemerintah menjadi alasan mereka membangun narasi meminggirkan demonstrasi. Di Karawang, LKS Tripartit dan sebuah konfederasi buruh mengadakan pengajian akbar menghadirkan Rhoma Irama. Hadiahnya, sepeda motor. Pemerintah ingin kegiatan-kegiatan itu membangun pendapat di masyarakat dan terutama media massa.
Setiap sebelum aksi, sebenarnya buruh sudah biasa melakukan doa bersama. Begitu juga pada aksi 30 Oktober 2015 di depan Istana. Pada aksi penolan PP Pengupahan itu, para buruh melakukan sholat jumat di depan Istana. Seperti ditulis dalam tajuk kabarburuh.com, Buruh juga tidak anti terhadap aksi solidaritas seperti bakti sosial dan membantu sesama warga.
Membangun narasi bahwa demonstrasi tidak berguna dan tidak baik pada ujungnya merupakan upaya untuk membunuh karakter gerakan buruh. Pembunuhan karakter ini paling kuat tersampaikan dalam larangan unjuk rasa di jantung kota Jakarta dengan alasan Hari Bebas Kendaraan Bermotor. Kepolisian mencoba membangun narasi bahwa buruh dan rakyat saling meniadakan dengan mengadu domba dalam larangan itu. Seolah-olah, kehadiran buruh adalah perusuh dan pengganggu hak-hak masyarakat. Jika nantinya rusuh, saya yakin pemerintah akan menarasikan diri sebagai pelindung hak masyarakat dari ancaman kaum buruh.
Larangan itu jelas tidak berdasar. Pemerintah tahun lalu saja meniadakan Hari Bebas Kendaraan Bermotor dua kali. Pertama, ketika tamu KAA mulai berdatangan. Kedua, ketika Jakarta menggelar lomba lari maraton.
Narasi Gerakan Buruh: Demo Berguna dan Buruh bagian Rakyat
Jelas gerakan buruh menentang narasi itu. Berbagai meme dan seruan-seruan berbagai aktivis buruh menyatakan demonstrasi jelas memiliki makna politis berbeda. May Day sendiri adalah peringatan atas tewasya 4 buruh dalam unjuk rasa di Chicago menuntut 8 jam kerja.
Dalam demonstrasi, ribuan orang berkumpul memiliki kekuatan politis lebih terutama ketika ia diorganisir dengan baik. Penguasa menyadari demonstrasi semacam itu memiliki daya desak kuat karena peserta memiliki kesadaran dari hasil pembelajaran, bukan sekedar karena latah isu Internet. Di lain sisi, unjuk rasa besar membangkitkan perasaan kolektif kelas buruh. Sejarawan Eric Hobsbawm menyebutkan, “Setelah seks, kegiatan yang menggabungkan pengalaman jasmani dan emosi mendalam hingga tingkat tertinggi adalah turut serta dalam aksi demonstrasi ketika massa rakyat meluap. Tidak seperti seks, yang pada dasarnya individual, demonstrasi jelas kolektif..dan bisa berlangsung berjam-jam.”
Buruh juga tak henti-hentinya mengkampanyekan bahwa hak-hak buruh hanya dapat direbut dengan kegiatan yang memiliki daya desak tinggi seperti unjuk rasa ribuan buruh. Hak-hak itu tidak akan pernah bisa direbut dengan bakti sosial. Meme berbunyi, “Nggak suka buruh demo tapi kerja 8 jam sehari? Terima THR? Cuti Hamil? Itu hak didapat karena buruh berjuang demo,” di fanspage Suara KPBI dibagikan 99 kali dan dilihat setidaknya 13,218 pemilik akun.
Gerakan buruh juga menyerukan bahwa buruh merupakan bagian dari rakyat. Jika buruh bagian dari rakyat, kenapa buruh tidak boleh mengakses Hari Bebas Kendaraan Bermotor? “Kami mau jalan sehat di Bundaran HI-Patung Kuda. Hanya bawa bendera, spanduk, dan poster,” begitu kurang lebih candaan yang beredar.
Perang Narasi dan PR Gerakan Buruh
Apa yang bisa ditarik dari perang narasi ini? Pertama, penguasa jelas menyadari tingginya daya desak unjuk rasa ribuan buruh yang berkumpul. Itulah kenapa tempat yang memungkinkan unjuk rasa ribuan buruh berkumpul di Bundaran HI menjadi tabu untuk dilakukan. Ini akan menunjukan pada masyarakat kesatuan dan kekuatan gerakan buruh. Ketakutan pemerintah, yang terdiri dari partai-partai politik, bertambah setelah para buruh dan petani menyatakan akan membentuk partai politik sendiri dan bertarung dengan mereka di pemilu. Padahal, jalan menuju kemenangan pemilu bagi partai yang masih embrio ini jelas masih jauh dan terjal. Namun, partai-partai konservatif terbukti lebih suka memberangus partai buruh sebelum dia besar.
Sejarah di Korea Selatan juga menunjukan kecenderungan pemberangusan itu. Pada 2014, Mahkamah Konstitusi membubarkan Partai Persatuan Progresif dengan alasan bersekongkol dengan Korea Utara. Partai Persatuan Progresif merupakan gabungan dari Parai Pekerja Demokratik yang dibidani konfederasi serikat pekerja KCTU yang terkenal kritis pada pemerintah dan unsur demokratik lainnya. Partai Persatuan Progresif itu sudah menunjukan taring ketika berada di posisi ketiga meski hanya meraup 8 dari 300 kursi dalam pemilu 2012.
Kedua, buruh masih memiliki tugas besar untuk mendekatkan diri dengan gerakan rakyat di sektor lain. Di Indonesia yang relatif dinamis pergerakan masyarakat sipilnya, gerakan buruh bukanlah satu-satunya elemen masyarakat yang bergerak. Gerakan rakyat miskin kota, gerakan kelas menengah seperti dalam gerakan lingkungan serta pecinta satwa, dan gerakan lainnya mesti turut dirangkul.
Buruh jelas menyadari ini dan mulai merangkul gerakan-gerakan lain terutama gerakan petani dan miskin kota. KSPI menyatakan kecaman dan penolakan terhadap penggusuran. Federasi Serbuk KPBI akrab dengan Serikat Petani Karawang. KPBI juga menyampaikan penolakan terhadap pelarangan Belok Kiri Fest. Namun, pekerjaan ini harus lebih dihebatkan lagi. Masih banyak kelompok sosial terpinggirkan yang perlu dirangkul gerakan buruh dan persatuan itu perlu lebih dekat dari sekedar peryataan saling mendukung. Jika persatuan itu muncul dan buruh berhasil mengkonsolidasikan diri dalam sebuah gerakan rakyat, saya yakin tidak akan mudah gerakan buruh diadu domba dengan elemen-elemen masyarakat lainnya.
1 Komentar