Kemarin saya datang lebih awal di Aksi Kamisan. Belum pukul empat, saya telah tiba di lokasi. Sore itu, jalanan tampak lengang. Payung-payung hitam belum dikembangkan. Dan terlihatlah seorang ibu. Berdiri tenang. Sendirian. Memegang payung. Di seberang istana.
Benar, dia adalah ibu Sumarsih. Perempuan yang dikenal teguh memperjuangkan keadilan bagi mereka yang menjadi korban pelanggaran HAM berat. Seperti biasa, beliau tiba paling awal.
Sumarsih adalah ibu Bernardinus Realino Norma Irmawan alias Wawan. Satu dari sekian korban penembakan Tragedi Semanggi I pada 11-13 November 1998. Tentu, kiprah beliau tak layak dibandingkan dengan segerombolan petualang politik yang menggoreng isu HAM hanya ketika musim Pemilu tiba.
Kata orang, kasih ibu sepanjang masa. Semua itu tak terbantahkan kebenarannya ketika melihat sosok ibu Sumarsih. Dua puluh satu tahun sudah Ibu Sumarsih berjuang mencari keadilan bagi puteranya. Dua belas tahun sudah, tiap Kamis, kecuali sakit atau ada halangan serius, beliau berdiri di seberang istana.
Dari sekian banyak aksi-aksi perjuangan rakyat menuntut hak dan keadilan, setidaknya ada dua aksi yang menurut hemat saya patut kita tauladani. Pertama Aksi Kamisan ini, dimana ibu Sumarsih menjadi salah satu simbolnya.
Aksi Kamisan sudah berlangsung lebih dari satu dekade. Aksi dihelat oleh korban pelanggaran HAM, barisan keluarga, beserta pendampingnya. Aksi bergulir konsisten hingga hari ini. Beberapa dari keluarga korban yang biasa ikut aksi bahkan sudah meninggal. Aksi Kamisan kemudian tahun menular ke berbagai kota di Indonesia.
Diantara rambut ibu Sumarsih yang seluruhnya telah berwarna perak itu, kita bisa belajar banyak. Belajar tentang daya tahan untuk menyakini bahwa yang benar adalah benar. Kebenaran tidak berubah hanya karena uban mu mulai bertambah. Rakyat tidak sepatutnya menyerah, tak pantas patah arang, sampai tujuan keadilan ditegakkan.
Aksi kedua yang layak ditauladani adalah aksi Awak Mobil Tangki (AMT). Perjuangan AMT telah bergulir selama dua tahun. Perjuangan berawal dari tuntutan dijalankannya nota pemeriksaaan dan nota penetapan yang di keluarkan oleh pengawas Suku Dinas Tenaga Kerja (Sudisnaker) Jakarta Utara.
Nota pertama terkait status hubungan kerja. Hubungan kerja AMT seharusnya beralih dari vendor outsourcing (penyedia tenaga alih daya) menjadi pekerja tetap di Pertamina Patra Niaga (PPN). Nota kedua berkait penetapan upah lembur, PPN diperintahkan untuk membayar upah lembur AMT sejak tahun 2011.
Alih-alih menjalankan nota Sudisnaker Jakarta Utara, PPN malah mengganti vendor outsourcing-nya. Vendor baru ini yang kemudian melakukan PHK massal. Ratusan korban PHK diantaranya pekerja di Depot Plumpang, tempat Nuratmo dan kawan-kawannya (yang sekarang ditahan pihak kepolisian) berada.
PHK massal menyulut api protes AMT di berbagai depot, berujung perlawanan di tujuh depot pada tahun 2017. Hampir tanpa jeda, protes-protes AMT terus bergulir. AMT melakukan long march, -berjalan kaki-, dari Gedung Sate Bandung ke Istana negara. Jarak yang sungguh tak pendek.
Di seberang Istana mereka melakukan aksi kubur diri. Pada suatu malam rombongan kendaraan Presiden Jokowi mereka cegat pula demi meminta kejelasan penyelesaian kasus. Sampai kemudian pekan ini kabar penangkapan AMT menghiasi laman media-media nasional, buntut aksi membawa mobil tangki ke muka istana.
Melihat sosok Ibu Sumarsih dengan Aksi Kamisan-nya serta semangat berlawan AMT, kita seperti diajak memahami mentari. Mentari tak pernah mengkhianati bumi, setia bersinar hingga pangkal kehidupan tiba. Persis disana, kita bisa memetik ketauladanan.
Perjuangan pembebasan rakyat ialah tugas sejarah. Disana kita akan melihat segolongan kampiun dan segerombolan pengkhianat. Ada yang datang, tak sedikit pula yang pergi. Ada yang bersetia, tak jarang yang mangkir. Pada akhirnya perjuangan rakyat; mula-mula adalah gagasan, selanjutnya konsistensi.
***