MELAWAN MITOS: MISKIN? KERJA DONG!

Pamflet kemiskinan

Kemiskinan mungkin adalah kondisi yang sudah setua peradaban itu sendiri. Kemiskinan bisa kita temui hampir di setiap sudut kota hingga tepi desa. Dalam masyarakat hari ini, kemiskinan dipandang sebagai sebuah hal yang “normal” dan bisa diterima. Cara pandang masyarakat terhadap kemiskinan juga sangat beragam. Tapi, pada umumnya kemiskinan dipandang sebagai sebuah “hukuman” atas apa yang dilakukan. Entah malas, bodoh, sampai dosa.

Supriatna (1997:90) menyatakan bahwa kemiskinan adalah situasi yang serba terbatas yang terjadi bukan atas kehendak orang yang bersangkutan. Suatu penduduk dikatakan miskin bila ditandai oleh rendahnya tingkat pendidikan, produktivitas kerja, pendapatan, kesehatan dan gizi serta kesejahteraan hidupnya, yang menunjukkan lingkaran ketidakberdayaan. Kemiskinan bisa disebabkan oleh terbatasnya sumber daya manusia yang ada, baik lewat jalur pendidikan formal maupun nonformal yang pada akhirnya menimbulkan konsekuensi terhadap rendahnya pendidikan informal. Dari pernyataan ini, kita melihat bahwa tanda-tanda kemiskinan bukanlah sebuah hal asing dalam lingkungan sekitar kita.

Bacaan Lainnya

Karakteristik Kemiskinan
Emil Salim (dalam Supriatna, 1997: 82) mengemukakan lima karakteristik penduduk miskin. Kelima karakterisktik penduduk miskin tersebut adalah: 1) Tidak memiliki faktor produksi sendiri, 2) Tidak mempunyai kemungkinan untuk memperoleh aset produksi dengan kekuatan sendiri, 3) Tingkat pendidikan pada umumnya rendah, 4) Banyak di antara mereka yang tidak mempunyai fasilitas, dan 5) Di antara mereka berusia relatif muda dan tidak mempunyai keterampilan atau pendidikan yang memadai. Berdasarkan karakteristik ini kita bisa sedikit berasumsi bahwa masyarakat miskin memiliki masalah dalam mengakses sumber daya. Baik untuk produksi, kebutuhan fisiologis dan kebutuhan psikologis.

Penyebab Kemiskinan
Banyak sekali teori yang menyatakan asal mula dan penyebab kemiskinan. Tapi saya lebih ingin menunjukkan muara dari penyebab kemiskinan: teori lingkaran setan kemiskinan (vicious circle of poverty) oleh Nurkse. Teori ini menunjukkan sumber kemiskinan: adalah adanya keterbelakangan, ketidaksempumaan pasar, dan kurangnya modal menyebabkan rendahnya produktifitas. Rendahnya produktivitasnya mengakibatkan rendahnya pendapatan yang mereka terima. Rendahnya pendapatan akan berimplikasi pada rendahnya tabungan dan investasi. Rendahnya investasi berakibat pada keterbelakangan, dan seterusnya.

Apakah anda melihat apa yang saya lihat dari teori ini? Karena saya melihat kunci dari masalah kemiskinan adalah: modal. Ya, modal menjadi masalah karena modal menjadi syarat dalam mengakses sumber daya. Baik sumber daya alam sampai manusia. Masalah modal ini erat kaitannya dengan kepemilikan dan penimbunan. Kepemilikan terhadap sumber daya tentu akan menyebabkan sumber daya tersebut hanya dapat diakses oleh segelintir individu. Penimbunan akan menyebabkan sumber daya terkumpul tanpa dapat dimanfaatkan oleh individu yang membutuhkan. Apa yang terjadi ketika dua hal diatas terjadi?

Akan ada (banyak) individu yang tidak dapat mengakses sumber daya dan tidak dapat memenuhi kebutuhannya. Kondisi inilah yang disebut kemiskinan. Disinilah sumbernya! Ketika kita bicara kemiskinan diakibatkan karena malas, bodoh, dosa, takdir, dan lain sebagainya, sebenarnya kita hanya bicara satu helai rambut dari monster kemiskinan.

Mitos 1: Kerja agar tidak miskin
Biasanya kata-kata ini dikeluarkan oleh mereka yang sudah memiliki pekerjaan yang layak dan mapan. Kenyataanya, sebagian besar orang miskin adalah para pekerja. Pekerjaan yang dilakukan orang miskin ini seringkali lebih berat dibandingkan pekerjaan lain yang memiliki penghasilan baik. Belum lagi jika kita bicara penghisapan dan pemerasan yang terjadi. Baik dari tengkulak, mandor, sampai boss.

Mitos 2: Pintar agar tidak miskin
Biasanya kata-kata ini disampaikan para pekerja dengan pendidikan tinggi dan minimal S1. Kenyataannya, sekolah sendiri juga tidak mudah diakses. Pendidikan tetaplah sebuah industri yang menimbun pengetahuan. Dan seperti yang sudah disampaikan, penimbunan menyebabkan hanya sedikit orang yang bisa mengakses. Orang tersebut harus memiliki modal cukup sebagai jalan mengakses sumber daya ilmu ini. Yang kedua, banyak ilmu non praktis yang dijejalkan oleh institusi pendidikan. Sepintar apapun dalam ilmu ini, tetaplah tidak berguna saat penerapan dalam kehidupan. Yang terakhir, institusi pendidikan menerapkan metode dogmatis yang dimana membunuh pemikiran kreatif dan kritis. Pada akhirnya, semua kembali pada ijazah sebagai pernyataan kualitas tanpa melihat kemampuan kerja setiap individu adalah unik.

Mitos 3: Usaha sendiri agar tidak miskin
Ini adalah argumen paling memuakkan yang pernah saya dengar. Saya cukup mengingatkan perkara 1 hal: Modal. Modal disini tidak melulu berupa uang. Modal berupa pengetahuan, ruang, peralatan, sampai kondisi sosial sangat mempengaruhi kemampuan usaha. Dan usaha tetaplah bukan solusi ketika membicarakan kemiskinan. Karena, akar mula permasalahannya bukan bekerja pada boss atau usaha sendiri, melainkan tidak dapat diaksesnya sumber daya untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Sebenarnya, masih banyak “mitos” perkara kemiskinan ini. Tapi tanpa melihat mitos-mitos tadi, akan lebih sederhana jika kita melihat alasan sebenarnya. Puncak masalahnya lebih sederhana dari semua kata-kata motivator dan tokoh publik. Kepemilikan dan penimbunan sumber daya.

Bagaimana solusinya? Masalah yang sederhana punya solusi yang sederhana juga. Tapi apakah banyak yang berani menyetujuinya?

-camarhitam-

Sumber https://www.facebook.com/anarchosarchia/posts/446085142789886?__tn__=K-R

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.