Sedulur Kendeng yang terus berlawan–juga Rakyat di hampir semua tempat yang berlawan–Baik buruh, petani, nelayan, kaum miskin kota, ataupun kalangan pelajar-intelektual; Sebenarnya sedang menggugat satu hal yang sama.
Satu narasi besar, dibalik begitu banyak persoalan rakyat yang seolah tidak saling terkait; Rakyat sedang menggugat pembangunan.
Pembangunan untuk pertumbuhan ekononi (demi profit bagi segelintir orang, dan menyingkirkan serta memiskinkan mayoritas rakyat lainnya pada saat bersamaan juga merusak lingkungan hidup), dengan berbasis Hutang Luar Negeri dan Investasi.
SBY dengan MP31, Jokowi dengan RPJMN, hanyalah pergantian nama–sementara isinya, subtansinya tetap sama, yaitu profit (bagi segelintir orang) dan neraka bagi mayoritas rakyat, plus kerusakan lingkungan, bahkan jika ditarik jauh ke jaman Soeharto, tak berbeda dengan apa yang dulu dikenal dengan Trilogi Pembangunan ( Pertumbuhan Ekonomi, Stabilitas Politik dan Pemetaraan).
Tak susah untuk menjabarkan apa yang didapatkan mayoritas Rakyat Indonesia dari pembangunan model sekarang ini—Kaum buruh akan teriak “Upah kami murah ! Kerja kontrak seumur hidup ! Kami di outsourcing ! Jam kerja kami panjang dan segala penderitaannya. ”
Kaum tani? Tak susah untuk mendengar dan melihat “Tanah-Air kami dirampas ! Hasil pertanian kami, dihargai murah! Tak ada bantuan modal ! Tak ada teknologi murah ! Pupuk mahal dan merusak lingkungan kami ! dan segala jeritan penderitaan. Begitu juga nelayan, begitu juga kaum miskin perkotaan, begitu juga kaum perempuan….Begitulah Mayoritas Rakyat.
Berbanding terbalik dengan yang didapat Koorporat–Perusahaan Raksasa (Yang dalam negeri maupun asing, yang swasta maupun bumn—pun para pejabat; Mereka sangat menikmati pembangunan model sekarang). Ya, hanya merekalah yang menikmatinya—bahkan sampai diluar batas.
Rasanya, sekarang ini, sudah saat yang tepat untuk menyatukan kekuatan Rakyat dalam satu gerak dan koordinasi perlawanan dalam satu narasi perlawanan yang sama “Gerakan Rakyat Menggugat Pembangunan”
Tentu tidak hanya berhenti dalam menggugat, namun juga menjadi keharusan bagi Gerakan Rakyat untuk melahirkan tandingan model pembangunan yang lain, yang benar-benar baru, yang 180 derajad berbeda dengan modal pembangunan sekarang ini, yakni pembangunan untuk memenuhi kebutuhan manusia (baik secara bersama maupun secara personal), dengan berlandaskan pada solidaritas luas antar rakyat, kesetaraan laki-laki dan perempuan, penghargaan atas keberagaman , partisipasi luas dan kolektifitas.
Dan begitulah,akankah MAY DAY tahun ini, menjadi “Ajang Penyatuan Antar Rakyat dalam Gerakan Perlawanan yang lebih menukik pada gugatan terhadap pembangunan model sekarang, atau masih dalam narasi perlawanan terhadap dampak-dampak pembangunan, yang terpisah satu dengan lainnya.
Atau dalam bahasa lain, MAY DAY hanya menjadi hari buruh saja, dengan tuntutan-tuntutan seputar dampak pembangunan di bidang perburuhan, sementara petani berjuang sendiri, nelayan berjuang sendiri, kaum miskin kota berjuang sendiri, pun perempuan dan masyarakat adat juga berjuang sendiri—menghadapi dampak pembangunan di sektornya masing-masing, yang semakin hari semakin besar dampaknya.
(Opini oleh Sekjen Politik Rakyat, Budi Wardoyo, dimuat ulang untuk tujuan pendidikan)