May Day 2018, Gerakan Buruh untuk Rakyat Serukan Pembangunan Kekuatan Politik di luar Parpol Peserta Pemilu

Para pimpinan Gerakan Buruh untuk Rakyat
Para pimpinan Gerakan Buruh untuk Rakyat

Gerakan Buruh untuk Rakyat (Gebrak) menyerukan gerakan-gerakan rakyat untuk bangkit membangun kekuatan politik alternatif untuk mewujudkan Indonesia berkadilan. Unjuk rasa peringatan Hari Buruh Internasional akan menjadi momentum bagi gabungan kekuatan gerakan rakyat menyerukan pembangunan kekuatan politik tersebut.

Gerakan Buruh untuk Rakyat merupakan gabungan berbagai elemen yang tidak menyampaikan dukungan politik pada kandidat dari partai manapun. Gebrak terdiri dari di antaranya gerakan buruh nasional (KPBI, KASBI, KSN, SGBN, dan Jarkom SP Perbankan), gerakan mahasiswa dan pemuda (LMND, SMI, FMK, dan KPOP), kelompok minoritas, pimpinan NGO skala nasional (YLBHI, LBH Jakarta, KontraS, KPA, TURC) dan berbagai organisasi rakyat lain.

Bacaan Lainnya

Juru Bicara Gebrak Sunarno menyebutkan, Gebrak akan mengerahkan 150 ribu massa di 18 provinsi untuk berunjukrasa dalam May Day sebagai bentuk keseriusan terhadap seruan tersebut. “Untuk Jabodetabek, perkiraan ada 30 ribu massa akan berunjukrasa di depan istana negara,” ungkapnya.

Gebrak memutuskan mobilisasi besar-besaran pada May Day 2018 sebagai tanggapan atas seruan pemerintah, melalui Kementerian Tenaga Kerja, bahwa May Day is Fun Day. “Hiburan, olahraga, memancing dll yang diserukan pemerintah adalah upaya pembelokan makna bersejarah kemenangan 8 jam kerja, 8 jam sosialisasi, dan 8 jam istirahat,” kata Juru Bicara Gebrak M. Yahya.

Ia menegaskan Hari Buruh adalah peringatan kemenangan buruh di Haymarket, Chicago, yang memangkas jam kerja menjadi hanya 8 dari semula yang bahkan mencapai 20 jam. “Kegiatan kegiatan hiburan dll akan tepat dilakukan jika kondisi nasib jutaan kaum buruh indonesia sudah sejahtera tanpa eksploitasi dan penindasan,” serunya.

MENYERUKAN PEMBANGUNAN KEKUATAN POLITIK ALTERNATIF
Seruan untuk membangun kekuatan politik altnernatif menyeruak untuk menanggapi kemelut perpolitikan nasional. Tahun 2018 disebut sebagai tahun politik karena suhu yang memanas akibat pilkada serentar Juni 2018 di 171kepala daerah dan pemilu nasional (presiden dan legislatif) pada April 2019.

Gebrak menilai kancah politik itu jauh dari memperjuangkan kepentingan rakyat. “Kelompok elit yang mengaku oposisi lebih banyak bertujuan untuk memperkuat posisi tawar di hadapan elit pemerintah. Tak ada dari kelompok ini memobilisasi besar-besaran untuk isu rakyat,” kata Juru Bicara Gebrak Ilhamsyah. Meski para elit berseteru, mereka tetap sepakat untuk membiarkan penguatan militerisme, fundamentalisme, patriarki, korupsi, dan kapitalisme-neoliberalisme.

Dalam militerisme, rakyat melihat partai-partai penguasa dan oposisi membisu ketika militer campur tangan kehidupan sipil. Selain menjauhkan dari cita-cita reformasi, militerisme ini akan senantiasa berbuah kekerasan pada rakyat. Menurut Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), kriminalisasi dan kekerasan kerap terjadi dalam konflik agrarian dan TNI menjadi salah satu aktor kekerasan tersebut, disamping Polisi dan preman. Tercatat Sepanjang tahun 2017 ini, 13 warga negara tewas, 6 orang tertembak dalam konflik agraria. Kemudian, sebanyak 612 warga negara menjadi korban kekerasan dalam peristiwa konflik agraria, dan dari jumlah tersebut sebanyak 369 diantaranya ditahan (kriminalisasi) dan sebanyak 224 orang dianiaya. Di pilkada 2018, lima jenderal aktif dari TNI dan Polisi bahkan maju dalam pilkada. Juga, ada penandatangan MoU antara tentara dan polisi yang jelas-jelas akan memformalkan keterlibatan tentara dalam merepresi buruh. “Fungsi sosial-politik TNI itu tidak bisa lagi karena ia adalah orang bersenjata. Ia tidak boleh terlibat dalam ranah sipil, tidak boleh jadi alat kekuasaan, tapi alat negara,” ungkap Ilhamsyah.

Partai-partai yang duduk dan tidak duduk di pemerintahan juga mengabaikan menguatnya patriarki. Partai-partai tak memperdebatkan rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang berpotensi memenjarakan perempuan dan memperkuat diskriminasi. RUU itu juga akan semakin memperlemah posisi perempuan dalam melawan kekerasan seksual, alih-alih malah rentan disalahkan meskipun menjadi korban.

Begitu juga dengan korupsi, gerakan rakyat tidak lagi percaya pada partai-partai yang ada saat ini. Tidak ada satupun partai di parlemen yang bebas dari noda korupsi. Bahkan, partai-partai baru tidak lebih dari pengejawantahan partai lama. Laporan Jaringan Advokasi Tambang menyebutkan sepanjang 2017 dan 2018, ketika ramai pilkada, ada 170 izin tambang dikeluarkan yang patut dicurigai berhubungan dengan ijon politik. Di jawa barat, ada 34 izin tambang muncul pada 13 Februari 2018 atau dua pekan sebelum penetapan calon kepala daerah, di Jawa Tengah ada 120 izin tambang diterbitkan 30 januari 2018.

Kedua kekuatan politik yang ada saat ini, baik oposisi maupun penguasa, juga terus memperdalam agenda-agenda neoliberalisme-kapitalisme ke bumi Indonesia. Bahkan, kesediaan Indonesia menggelontorkan sumber daya untuk menjamu pertemuan 15 ribu delegasi IMF dan Bank Dunia pada Oktober 2018 merupakan dukungan nyata. Rancangan World Development Report Bank Dunia sendiri, seperti diberitakan The Guardian pada Jumat 20 April 2018, malahan merekomendasikan penurunan upah minimum dan mempermudah pemecatan buruh. Laporan itu rencananya akan diluncurkan pada 2019. “Rakyat harus melawan agenda-agenda yang mengutamakan modal semata dan menindas buruh tersebut,” tegas Ilhamsyah.

Setelah menggelar Konferensi Gerakan Rakyat, Gebrak akan memperingati 25 tahun kasus marsinah yang tak kunjung tuntas. Marsinah tewas di tangan militer pada 8 Mei 1993 ketika memperjuangkan kenaikan upah. Tidak hanya itu, Gebrak akan menyerukan kembali cita-cita reformasi yang agenda-agendanya tak kunjung tuntas meski sudah dua dasawarsa.

Oleh karena itu, Gerakan Buruh untuk Rakyat akan terus mengorganisir sebuah konsolidasi besar Gerakan Rakyat Indonesia–yang melibatkan seluas-luasnya kaum tani, masyarakat adat, nelayan, kaum buruh, kaum muda, perempuan, para pejuang lingkungan, pejuang HAM, kelompok-kelompok minoritas–sebagai langkah untuk memantapkan pembangunan kekuatan politik rakyat sebagai tandingan dari semua kekuatan politik elit.

Tujuan konsolidasi tersebut adalah untuk menghasilkan gagasan-gagasan tentang Indonesia berkeadilan yang non kapitalistik, berdaulat-merdeka, yang mempidanakan kejahatan HAM di masa lalu, yang mengembangkan kapasitasnya berdasarkan kemampuan rakyatnya dan potensi alamnya dalam kerja sama Internasional yang setara, yang mengambil peran dalam mendorong perdamaian dunia dan penghargaan sepenuhnya atas kedaulatan tiap negara.

Indonesia berkeadilan yang sepenuhnya terbuka bagi partisipasi rakyat luas dalam proses perencanaan, pengambilan keputusan, pengawasan keputusan-keputusan negara, hingga penyusunan konstitusinya. Indonesia berkeadilan yang menghargai kemajekukan tanpa diskriminasi, yang memberi ruang yang sama bagi kelompok perempuan dalam politik-hukum-ekonomi dsb

Dan juga, Indonesia berkeadilan yang memberi kesempatan sekolah inklusif hingga perguruan tinggi dan layanan kesehatan gratis universal, bukan lagi berdasarkan asuransi sosial seperti BPJS, juga perlindungan pada kaum buruh, nelayan, pengusaha kecil, dan tani dalam memperjuangkan hak-hak ekonomi serta Indoensia berkeadilan yang memberikan ruang bagi kelompok marjinal.

Jakarta, 27 April 2018
Hormat Kami,
Gerakan Buruh untuk Rakyat (GEBRAK)

Gerakan Buruh Untuk Rakyat (GEBRAK) Terdiri dari:

1. KPBI
2. KASBI
3. KSN
4. SGBN
5. GSBM
6. GSPB
7. FKI
8. JARKOM SP PERBANKAN
9. FSPM INDEPENDENT
10. SP. JHONSON
11. SPM. PT. PAS
12. LMND JAKARTA-BEKASI
13. SMI
14. FMK
15. GPMJ
16. AKMI
17. GPPI
18. FRONT NASIONAL
19. SEMAR UI
20. GMNI JAKTIM
21. POLITIK RAKYAT
22. KPO PRP
23. PRP
24. MAHARDIKA
25. YLBHI
26. LBH JAKARTA
27. KONTRAS
28. KPA
29. TURC
30. KIARA
31. API
32. SPI
33. LIPS
34. KPR
35. PPI (PELAUT)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

1 Komentar