Peringatan Hari HAM Sedunia di tahun 2020 dilakukan di tengah kondisi yang memprihatinkan. Pengakuan terhadap Hak Asasi Manusia ternyata hanya disuarakan sebatas jargon kampanye biasa. Namun dalam praktik bernegara, Hak Asasi Manusia justru dilupakan atau malah dipakai untuk membela setiap keputusan yang diambil oleh Pemerintah. Tidak peduli apakah keputusan tersebut baik untuk rakyat atau tidak.
Setelah 10 bulan dilanda pandemi Covid-19, belum terbukti langkah konkrit yang ditempuh pemerintah dalam mengatasi pandemi tersebut. Hingga release ini dibuat pada tanggal 6 Desember 2020, tercatat 570 ribu kasus dengan jumlah pasien sembuh sebanyak 470 ribu orang dan 17.589 orang meninggal dunia. Setiap pertambahan kasus tersebut terdapat tanggungjawab pemerintah yang tidak mampu dipenuhi di dalamnya. Hal tersebut bersamaan dengan ketidaksiapan pemerintah dalam menghadapi kemungkinan terburuk dalam kondisi pandemi. Kondisi diperparah dengan adanya resesi ekonomi yang terjadi pada tahun ini sehingga masyarakat saat ini dihadapi dengan krisis yang terjadi pada skala nasional maupun internasional.
Di sela krisis ekonomi dan kondisi pandemi global, pejabat pada lingkup pemerintahan masih dapat melancarkan langkah-langkah dalam menghimpun kekayaan pribadi. Hal tersebut dibuktikan dengan kasus korupsi Kementerian Sosial yang turut melakukan korupsi dana Bantuan Sosial sebesar 20,2 miliar. Sebelumnya, Kementerian Kelautan dan Perikanan juga terlibat dalam kasus korupsi ekspor benih lobster. Melalui dua kasus yang terjadi secara beruntun tersebut, sudah terlihat posisi pemerintah yang tidak menaruh empati kepada masyarakat di tengah kondisi krisis ekonomi dan pandemi global ini. Selain itu, disahkannya Undang-Undang Cipta Kerja Omnibus Law juga menunjukkan keberpihakan rezim hari ini yang menghamba kepada investor demi kesejahteraan segelintir orang tanpa mempedulikan kondisi alam dan lingkungan Indonesia yang saat ini semakin rusak.
Di tengah kondisi krisis ekonomi dan pandemic Covid-19, pemerintah mengilusi masyarakat dengan bantuan sosial yang tidak tepat sasaran dan tidak menyelesaikan masalah utama yaitu ketimpangan, kemiskinan, dan ketidakadilan. Tidak ada perlindungan untuk rakyat yang ter-PHK, malah isi dari setiap peraturan terkait ketenagakerjaan ditujukan hanya untuk melindungi pengusaha. Bahkan, pemeriksaan Covid-19 dengan pelayanan cepat dan terbaik hanya dapat dinikmati oleh orang yang mampu membayar karena biaya yang sangat tinggi dan sulit diraih oleh mayoritas masyarakat miskin di Indonesia.
Di wilayah pedesaan, pesisir dan pinggiran perkotaan, nasib rakyat tidak kalah buruk. Mereka tidak hanya terancam oleh krisis ekonomi dan pangan akibat pandemi Covid-19, namun juga terancam kehilangan rumah, tanah garapan dan ruang hidup mereka akibat aktivitas korporasi swasta dan negara yang terus melakukan penggusuran dan perampasan tanah-tanah rakyat semasa pandemi. Sejak Maret-November 2020, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat sedikitnya telah terjadi 192 letusan konflik agraria yang berdampak kepada 122.260 KK. Letusan-letusan konflik tersebut diikuti kekerasan dan kriminalasi yang dilakukan aparat keamanan dengan catatan 14 orang tewas, 95 orang dikriminalisasi dan 17 orang mengalami penganiayaan.
Situasi di atas menambah daftar hitam pemerintahan Jokowi dalam menangani berbagai persoalan HAM di sektor agraria. KPA mencatat, selama lima tahun periode pemerintahan pertama Jokowi (2014-2019), telah terjadi 2047 letusan konflik agraria dengan catatan 55 orang tewas, 1248 dikriminalisasi, 757 dianiaya, dan 75 ditembak.
Kondisi di atas tentu sangat bertolak belakang dengan kebijakan dan kampanye pemerintah dalam mengatasi penyebaran Covid-19. Saat rakyat diminta untuk di rumah saja, aparat-aparat mereka di lapangan justru semakin gencar mengawal korporasi swasta dan negara dalam menggusur pemukiman dan tanah garapan rakyat.
Kondisi krisis hari ini memaksa masyarakat dari berbagai elemen untuk melakukan protes secara massif. Berbagai aksi turun ke jalan telah dilancarkan dan tentu saja dibarengi dengan tindakan represif yang dilakukan oleh aparat terhadap massa aksi.
Tindakan repsesif tersebut menambah deretan kasus kekerasan yang dilakukan oleh aparat terhadap masyarakat. KontraS mencatat terdapat 76 kasus kekerasan yang melibatkan Tentara Nasional Indonesia dalam satu tahun terakhir. Kekerasan tersebut tentu saja merupakan pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia. Selain itu, selama 4 bulan terakhir selama masa penolakan Undang-Undang Omnibus Law, terdapat 1.500 kasus aduan yang melibatkan kepolisian. Terdapat penangkapan terhadap 6.658 massa aksi dan 18 jurnalis yang dibebaskan dalam jangka waktu yang berbeda. Kekerasan dan kriminalisasi yang dilakukan oleh aparat menyasar pada berbagai elemen masyarakat. Pun begitu pula aksi daring yang juga dipenuhi oleh intimidasi melalui UU ITE.
Secara khusus, kasus kekerasan, pelanggaran hak asasi, dan pembungkaman terhadap demokrasi masyarakat sipil juga menyasar pada bidang pendidikan. Dalam krisis ekonomi saat ini, banyak pelajar dari unit pendidikan menengah dan tinggi yang menuntut pembebasan Uang Kuliah Tunggal (UKT) dan biaya pendidikan di sekolah. Namun yang didapat hanya pemotongan sebesar 300 dalam kurun waktu 6 bulan dan bantuan subsidi kuota yang tidak merata serta tidak menjawab pokok persoalan, yakni ekonomi yang dilanda krisis dan ketidakmampuan dalam memenuhi biaya pendidikan akibat orang tua yang secara ekonomi terdampak langsung Covid-19 (PHK, bangkrut, dsb).
Atas dasar hal tersebut, satuan pelajar mahasiswa melakukan aksi demonstrasi yang dilakukan secara daring maupun aksi langsung turun ke jalan bersama dengan elemen masyarakat lainnya. Apa yang dilakukan pemerintah dalam merespon aksi tersebut adalah tindakan represif yang tiada henti dilakukan. Begitu pula instansi pendidikan seperti halnya universitas yang merupakan lembaga pemerintah banyak melayangkan sanksi dropout kepada mahasiswa selama aksi berlangsung. Misalnya saja dropout yang terjadi di Universitas Nasional beberapa waktu lalu atau layangan surat peringatan pembatasan aktivitas mahasiswa di lingkungan kampus UIN Sultan Maulana Hasanudin Banten.
Skema liberalisasi dan komersialisasi pendidikan yang diperkuat oleh Omnibus Law semakin menjauhkan jangkauan masyarakat atas hak menempuh pendidikan. Biaya yang kian sulit dijangkau dan orientasi pendidikan yang berpusat pada skema pasar mengharuskan masyarakat untuk terjun ke dalam skema politik upah murah dan pasar tenaga kerja murah. Pendidikan semakin jauh dari sifat seharusnya, yakni pendidikan yang gratis, ilmiah, demokratis dan mengabdi kepada rakyat.
Menurut data Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan, di sektor pendidikan dasar dan menengah, angka putus sekolah selama satu tahun terkahir mencapai angka 4,5 juta jiwa. Sistem Pembelajaran Jarak Jauh yang selama masa pandemi ini dilakukan justru menjadi beban bagi masyarakat kurang mampu. Keterbatasan akses terhadap teknologi yang memadai untuk mendukung kegiatan belajar mengajar menjadi hambatan baru bagi mereka. Hal tersebut dikhawatirkan akan menambah angka putus sekolah di Indonesia.
Karena kesadaran masyarakat yang sudah mulai pelan-pelan terbangun atas apa yang dialami mereka saat ini membuat mereka lambat laun tersadarkan, bahwa kondisi hari ini sedang tidak baik-baik saja. Krisis yang terjadi dimana-mana, PHK massal, kematian yang terjadi karena tidak mampunya masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, terus berjatuhan korban akibat virus covid-19 yang akhirnya membuat ketakutan diseluruh elemen masyarakat.
Hal tersebut lah yang membuat rakyat hari ini sudah jelas posisinya tidak dapat bergantung kepada rezim saat ini. Maka, hal yang harus dilakukan ditengah kondisi situasi seperti ini adalah: Terus Membuat dan Membangun Seruan Solidaritas Bagi Rakyat Tertindas!
Dalam Peringatan Hari HAM Sedunia 2020, GEBRAK mengajak seluruh elemen rakyat untuk terus menyuarakan Hak Asasi Manusia yang sejati dan menolak lupa atas seluruh peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia. Gerakan Buruh Bersama Rakyat (GEBRAK) dengan tegas:
1. Menolak Omnibus Law UU No.11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Menyerukan penghentian Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sepihak terhadap buruh.
2. Menyerukan penghentian perampasan tanah rakyat oleh Pemerintah dan investor, serta mendorong penyelesaian konflik agraria dengan keterlibatan masyarakat sepenuhnya.
3. Mengecam setiap tindakan represifitas aparatus negara dan kriminalisasi terhadap gerakan rakyat (buruh, petani, pemuda, pelajar, mahasiswa, perempuan, LGBT, rakyat miskin kota, penyandang disabilitas, minoritas kepercayaan, dan kelompok rentan lainnya) yang terus berlawan. Bebaskan tanpa syarat massa aksi yang ditangkap sepanjang gerakan penolakan terhadap omnibus law!
4. Tuntaskan setiap kasus pelanggaran HAM masa lalu dan berhenti menambah angka kasus pelanggaran HAM!
Hentikan seluruh upaya pembungkaman hak demokratis dalam dunia Pendidikan!
5. Segera sahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dan berikan perlindungan dan ruang yang aman untuk perempuan dan minoritas gender lainnya!
Demikianlah release ini kami sampaikan, agar menjadi hal yang kita sadari bersama-sama. Bahwasanya kekuatan kolektif antara seluruh elemen masyarakat tertindaslah yang menjadi kunci utama dalam melawan sistem yang menindas hari ini, demi mewujudkan kesejahteraan masyarakat yang sejati.
SUMPAH RAKYAT TERTINDAS!
Ibu pertiwi telah memanggil, kami mengajak anda semua yang berada di sini untuk bersama-sama mengucapkan sumpah Rakyat Tertindas:
1. Dengan segenap kesadaran, kami rakyat tertindas bersumpah, menjunjung tinggi persatuan, persatuan atas nama tegaknya keadilan.
2. Dengan seluruh keberanian, kami rakyat tertindas bersumpah, menyerukan sikap perlawanan, perlawanan akan culasnya kekuasaan.
3. Dengan sepenuh keyakinan, kami rakyat tertindas bersumpah, akan terus berjuang, demi lenyapnya kesewenang-wenangan.
Semoga Tuhan menyertai perjuangan kita, semoga rakyat lekas merdeka!
Jakarta, 10 Desember 2020
Gerakan Buruh Bersama Rakyat (GEBRAK) – Komite Revolusi Pendidikan Indonesia (KRPI)