Dalam upaya untuk meningkatkan pemahaman kebudayaan dan perjuangan kelas pekerja, Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI) menggelar Diskusi Publik dan Malam Kebudayaan Bertajuk ‘Hak Berkebudayaan dan Perjuangan Kelas Pekerja’, pada Kamis, (23/5/2024), di Cafe Clay, Jl. Jatinegara Kaum, Pulo Gadung, Jakarta Timur.
KPBI menilai, bahwa hak berkebudayaan adalah hak asasi manusia yang penting dalam memastikan kesejahteraan komprehensif bagi seluruh anggota masyarakat, termasuk kelas pekerja. Mengingat kelas pekerja sering sekali terdiri dari beragam latar belakang budaya, etnis, dan agama.
“Kita yang merupakan bagian dari kelas pekerja ada di posisi yang tidak menguntungkan. Dan tidak mudah untuk melahirkan budaya khas dari kelas pekerja, karena kapitalisme tidak membiarkan itu tumbuh karena dianggapnya sebagai sebuah ancaman,” ujar Ketua Umum KPBI, Ilhamsyah.
“Solidaritas contohnya, sebagai salah satu kebudayaan bagi kelas pekerja. Tapi ketika kita bersolidaritas justru kita mendapatkan intimidasi. Sehingga sulit untuk mengembangkan budaya yang paling dasar, dan karenanya budaya kelas pekerja harus kita perjuangkan,” sambungnya.
Di sisi lain, hak berkebudayaan juga membuat keberadaan kelas pekerja menjadi manusia seutuhnya, karena melalui kerja kebudayaan, pekerja didorong untuk bebas secara individu dan kelompok untuk mengekspresikan diri mereka sendiri melalui berbagai bentuk kreativitas, termasuk seni, musik, dan literatur. Sehingga akan muncul ide dan gagasan yang variatif, dalam upaya menuntut perjuangan.
“Selama ini kita hanya berjuang dalam metode aksi massa, tapi di saat yang berlainan, juga berjuang lewat karya dan kesenian. Sehingga aksi tersebut akan menjadi lebih kaya dan perjuangan kelas pekerja dapat dimunculkan ekspresinya dalam bentuk lain.”
“Karenanya kita harus mengembangkan bakat seni budaya dari kelas pekerja, di mana budaya perlawanan yang ada nantinya akan lebih kreatif.”
Lebih lanjut, Bung Boing sapaan akrabnya, mengharapkan, dengan adanya dukungan dari ragam pihak, acara seperti Working Class Festival (WCF) nantinya bisa dimasifkan. Dengan harapan dapat mengakomodir kreasi dari kelas pekerja dalam menyampaikan realita hidupnya.
“Kita ingin ekspresi tersebut ada tempat, saluran, sehingga nantinya budaya kelas pekerja dapat dimunculkan. Seperti yang selama ini sudah dilakukan dalam Working Class Festival (WCF), dalam menyampaikan realita hidupnya. Dengan harapan tidak hanya budaya luar saja yang bisa muncul tapi budaya kelas pekerja juga mendapat tempat di media. Baik lewat lagu, lukisan, dll. Dan ini harus dimasifkan.”
“Dengan adanya dukungan dari teman-teman dan juga Dirjen Kebudayaan diharapkan bisa menjadi lebih massif, tidak hanya setahun sekali, namun juga diselenggarakan di berbagai macam daerah industri. Karena ekspresi yang akan dilahirkan menjadi kelas budaya tersebut dapat disinergikan dengan perjuangan ekonomi politik kita ke depan untuk mewujudkan kesejahteraan.”
Adapun acara sendiri terbagi ke dalam 2 sesi, yakni sesi pertama diskusi publik dari pukul 15.00 – 18.00 WIB. Dengan beberapa narasumber seperti Dirjen Kebudayaan Kemdikbudristek RI, Hilmar Farid, Ketua Umum KPBI, Ilhamsyah, Ketua Bidang Infokom dan Propaganda Partai Buruh, Kahar S. Cahyono, Direktur Jatiwangi Art Factory, Ismail Muntaha, dan Aktivis Kebudayaan, Arimbi Heroepoetri (melalui aplikasi Zoom).
Dan dilanjutkan sesi kedua, yakni malam kebudayaan dari pukul 19.00 – 21.00 WIB, dengan penampilan Pentas Seni Kebudayaan Kelas Pekerja: Musikalisasi Puisi, Theater Marsinah, Musik anak-anak jalanan, Tari Kretek, Red Flag dan Tunas Muda.