Hari Tani Nasional (HTN) tahun ini jatuh dalam situasi yang berbeda. Sejak bulan Maret, Indonesia memasuki periode pandemi. Belakangan waktu, persoalan pandemi Covid-19 bergerak ke titik yang paling mengkhawatirkan sejak 7 bulan terakhir. Penambahan kasus positif Corona telah memasuki rekor baru, yaitu kisaran 4000 kasus per hari dengan jumlah kematian di atas 100 jiwa. Indonesia kini dengan sedemikian menyeramkannya berubah menjadi salah satu hotspot pandemi Covid-19 di Benua Asia, sebuah predikat horor yang harus ditanggung rakyat dengan suram. Seluruh strata masyarakat terjangkiti virus, dari jajaran menteri kabinet, anggota KPU, sekda prov, hingga ratusan buruh pabrik Epson di Bekasi. Apa yang terjadi di Epson, hanyalah satu dari sebaran masif virus di 46 perusahaan di Bekasi.
Di HTN kali ini, selain derasnya pandemi, serangan terhadap kehidupan kaum tani juga dilakukan oleh tangan-tangan penguasa secara seksama. Omnibus Law menjadi palu godam yang diayunkan dengan bengis oleh tangan-tangan kelas penguasa untuk memukul traktor, gubuk, lumbung dan sendi-sendi kehidupan petani. Berbagai pasal dalam RUU Cipta Kerja digunakan untuk mencekik leher kaum tani dan sekaligus memberikan udara segar bagi modal dan investasi. Pengadaan tanah untuk kepentingan bisnis tambang, KEK dan wisata semakin dipemudah dan dipercepat. Kepentingan korporasi dipaksakan menjadi bagian dari kepentingan publik.
Melalui Omnibus Law, pemerintah diberikan kewenangan untuk menentukan secara sepihak tanah-tanah yang akan dijadikan objek pembangunan atau bisnis tanpa persetujuan masyarakat. Beleid penyediaan tanah untuk kepentingan bisnis ini berdiri di atas penghilangan kajian kelayakan dan penyediaan tanah pengganti.
Omnibus Law juga menegaskan keberadaan lembaga bernama Bank Tanah. Bank Tanah adalah lembaga profit yang sumber pendanaannya tidak hanya berasal dari APBN namun juga dapat berasal dari penyertaan modal, kerjasama pihak ketiga, pinjaman, dan sumber pendanaan lain. Sedari awal semangat yang dihembuskan dari keberadaan Bank Tanah tak lain menjadikan Indonesia sebagai pasar tanah (land market) bagi kepentingan bisnis. Bank Tanah akan menjadi fitur tambahan yang memperparah situasi ketimpangan kepemilikan lahan, mempertajam konflik agraria dan menstimulus perampasan tanah (land grabbing) lebih hebat dari yang sudah kita saksikan di tahun-tahun sebelumnya. Pada Bank Tanah pula, aktivitas spekulan dan praktik mafia tanah akan tumbuh subur, gemercing uang akan menggendutkan rekening segelintir orang dan penderitaan akan dialihkan ke mayoritas penduduk.
Lewat Omnibus Law, monopoli tanah ditegaskan dengan cara yang banal dan tak tau malu. Jangka waktu hak pengelolaan tanah alias Hak Guna Usaha (HGU) diperpanjang menjadi 90 tahun. Ini adalah durasi waktu yang bahkan melampaui imajinasi barbar pemerintahan kolonial dalam mengeksploitasi sumber kehidupan tanah jajahan. Statement Jokowi yang menyerang kepemilikan HGU Prabowo dalam Pilpres lalu hanyalah slip lidah belaka, yang karena telah menyinggung perasaan koleganya itu, maka sebagai ganti ketersinggungan tersebut diberikanlah kado istimewa ini. Bersama dengan HGU baru ini kita akan menyusun dongeng satu abad penguasaan tanah oleh perkebunan-perkebunan luas, korporasi agrikultur dan elite-elite monopolis yang sudah familiar kita kenal.
Lonceng nyaring bagi kematian Reforma Agraria kini dibunyikan lebih keras dari istana dan gedung parlemen. Bunyi lonceng itu membuyarkan semua ilusi yang sempat dikunyah oleh sebagian kalangan perihal apa yang dipromosikan Jokowi sebagai Reforma Agraria versinya. Kepalsuan Reforma Agraria ala Jokowi, yang hakekatnya sekedar bagi-bagi sertifikat, menujukkan tidak adanya upaya mengatasi ketimpangan penguasaan lahan dan redistribusi tanah sebagai tindakan lanjutan. Tentu kita pahami dengan sesadar-sadarnya, semua tagline Reforma Agraria adalah bohong belaka, sepanjang tidak diikuti tindakan melikuidasi kepemilikan tanah yang berlebih dari tuan tanah dan korporasi. Hanya orang-orang yang paling linglung yang mensejajarkan proses pendaftaran dan pencatatan tanah menjadi sinonim dengan Reforma Agraria.
Gerakan buruh harus menunjukkan sikap yang seterang-terangnya untuk mendukung perjuangan menuju Reforma Agraria sejati yang dikobarkan sekutu mereka yaitu kaum tani. Reforma Agraria adalah dasar bagi apa yang kelak secara strategis disebut sebagai industrialisasi nasional. Tanpa perubahan struktur penguasaan tanah di pedesaan, kelas buruh secara konstan juga akan mendapati dirinya berada dalam pasar tenaga kerja yang murah. Urbanisasi anak-anak petani miskin dan buruh tani ke kota secara reguler, menyediakan angka pencari kerja yang membengkak di sentra-sentra industri, darimana politik upah murah dan praktek outsourcing mendapatkan dasar-dasar hukum permintaan dan penawarannya. Dari proses ini juga lahirlah ‘cadangan pasukan pekerja’. Industri membutuhkan pasukan cadangan pekerja dalam jumlah besar. Buruh menjadi komoditi yang murah, terutama jika pasokan komoditi ini berlimpah ruah.
Dalam HTN tahun ini selain memberikan dukungan tanpa syarat kepada perjuangan Reforma Agraria, kelas buruh juga sepatutnya terpanggil untuk memperjuangkan ruang hidup yang lebih adil di perkotaan. Jutaan kelas buruh sedemikian lama hidup dalam kawasan hunian yang kusut, kumuh, tidak sehat dan bahkan abai pada kebutuhan kemanusiaan yang beradab. Kawasan perkotaan bukan saja mempertunjukkan persoalan teknokratis terkait tata ruang, namun juga mempertontonkan pertentangan kelas yang tajam, perihal dominasi kaum kaya dalam menguasai ruang hidup. Segelintir kaum kaya mendiami perumahan-perumahan bagus, dilengkapi pendirian mall-mall baru, tempat wisata dan hiburan berbanderol mahal, sementara kaum miskin dilempar ke pojok-pojok hunian kumuh (slum area), lengkap dengan problem sosial yang menumpuk-numpuk.
Selama ini negara tidak pernah menunjukkan minat untuk membangun kawasan industri yang terintegrasi dengan kebutuhan dasar buruh. Kawasan industri tidak dibangun untuk sekaligus memenuhi kebutuhan pekerja, seperti hunian dan fasilitas publik lainnya. Kawasan industri hanya berisi pabrik-pabrik, deretan perkantoran dan bangunan-bangunan bisnis. Ribuan hektar tanah yang ada tidak sedari awal direncanakan untuk dialokasikan (sebagian diantaranya) demi pembangunan perumahan buruh. Tanah di perkotaan tidak dibagi secara adil untuk digunakan penduduknya. Tanpa kecuali hal yang sama berlaku pula pada kelas buruh.
Komitmen negara dalam memenuhi hunian yang layak bagi rakyat terlihat sangat tipis dan rapuh. Postur anggaran menegaskan asumsi tersebut, angka-angka menjadi validatornya. Berdasarkan data tahun 2019, kapasitas fiskal negara hanya menyediakan 2% dari total APBN untuk membangun rumah bagi rakyat. Angka tersebut sekedar menjangkau 30 % dari nilai kebutuhan perumahan subsidi bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) dan Masyarakat Pra Sejahtera (MPS). Demikian juga akses masyarakat terhadap pembiayaan perumahan terbilang sangat rendah. Ratio outstanding KPR terhadap GDP masih sekitar 2,9%. Bandingkan dengan Thailand yang mencapai 22,3 % dan Malaysia sebesar 38,4 %.
Data defisit perumahan di tahun 2019 mencapai 7,63 juta unit dan sebanyak 2,38 juta unit rumah tidak layak huni. Untuk angka terakhir, kenyataannya bisa jadi jauh lebih besar dari data yang dipaparkan pemerintah. Data tahun yang sama menyebutkan, pemukiman kumuh sekurang-kurangnya telah mencakup 10.000 Hektar. Pemukiman kumuh inilah tempat dimana tidak sedikit kelas buruh bersama kaum miskin kota hidup dan menjalani kesehariannya yang penat. Setidaknya dibutuhkan 700.000 unit rumah baru per tahun bagi rakyat, termaksud mencakup rumah tangga baru, dan kita tidak melihat bagaimana negara akan menyediakan ini semua dengan baik. Persoalan perumahan buruh dan rakyat secara umum, tentu tidak bisa dilepaskan dari bagaimana ketersediaan tanah di perkotaan dikelola secara adil dan mendahulukan kepentingan rakyat mayoritas.
Kita sekarang telah memasuki periode resesi ekonomi. Kurva ekonomi jatuh dalam desimal pertumbuhan yang minus sepanjang dua kuartal beruntun. Hingga semester pertama tahun ini lebih dari 6 juta buruh di-PHK dan dirumahkan. Konsumsi rumah tangga anjlok, menghasilkan peragaan deflasi selama bulan Juli dan Agustus direntang 0,10 dan 0,05 persen. Semua fitur yang dibutuhkan untuk menakar malapetaka ekonomi telah disediakan dengan komplit. Tanpa perlu memelototi IHSG, kalangan paling awan pun dengan bernas bisa mengisahkan kondisi hidup yang makin hari hari makin sulit serta membelit. Di saat seperti ini, pengertian politik yang paling jernih harus segera dipegang gerakan rakyat. Satu dari pengertian itu ialah pentingnya menyatukan kekuatan buruh dan tani dalam gagasan dan laku perjuangan yang tepat. Bukan seperti gagasan dan laku yang sudah-sudah, yang mandul dan jalan di tempat.
Oleh karenanya, berdasarkan uraian yang kami jelaskan di atas, dalam peringatan Hari Tani Nasional tahun 2020, Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI), menyatakan sikapnya sbb:
1. Mendukung diteruskan dan diperhebatnya perjuangan Reforma Agraria sejati oleh kaum tani. Sebuah perjuangan yang disasarkan untuk memberangus kepemilikan lahan yang dimonopoli segelintir pihak.
2. KPBI menyediakan dirinya tanpa syarat untuk melakukan kerjasama yang progresif kepada pihak manapun atas tuntasnya agenda Reforma Agraria sejati. Komitmen KPBI dalam hal ini tidak terbatas waktu dan kondisi.
3. Menolak Omnibus Law yang merugikan kehidupan kaum tani dan kelas buruh. Seluruh pasal-pasal yang memberatkan sendi peri kehidupan rakyat sepatutnya dihapus.
4. Menuntut pengelolaan ruang hidup di perkotaan yang lebih adil dan perikemanusiaan dengan menghentikan dominasi kepentingan bisnis dan hak-hak istimewa (privelege) kaum kaya.
5. Menuntut penyediaan perumahan buruh terintegrasi yang layak dan modern. Pembangunan kawasan industri baru harus memperhatikan aspek hunian buruh sebagai bagian dari rencana pengembangan kawasan.
6. Menyerukan untuk mempererat pembangunan aliansi buruh dan tani sebagai pondasi gerakan rakyat di Indonesia. Melakukan koreksi atas praktek perjuangan yang telah ada, memunculkan gagasan yang tepat dan praktek perjuangan yang benar.
Demikian pernyataan ini kami buat dengan sadar dan penuh martabat.
Jakarta, 23 September 2020