Pemerintahan Joko Widodo tidak jauh berbeda dengan pendahulunya, SBY. Pemerintahan ini mengasumsikan sistem ekonomi menetes ke bawah (trickle down economy) dan menjadikannya dalih untuk mati-matian membela investasi; baik asing maupun lokal. Kepemimpinan Presiden Joko Widodo bagaimanapun tampak lebih jumawa dengan popularitas yang tinggi. Ia adalah pemimpin yang tampak populis dan memiliki para pengikut organik/alami yang, entah direkayasa atau tidak, senantiasa muncul untuk membela kebijakan-kebijakannya. Dengan modal itu dan menguatnya militerisme, ia terus mempersempit ruang demokrasi untuk melanggengkan investasi. Berbagai persoalan sengkarut seperti pilkada bahkan tidak menjadi aral. Lantas, bagaimana gerakan buruh mesti menyikapi?
Sistem ekonomi menetes ke bawah adalah anggapan bahwa pertumbuhan ekonomi akan membawa kemakmuran bagi semua masyarakat. Dengan angka Produk Domestik Bruto yang bagus, investasi dan iklim usaha yang dinamis, kelompok sosial menengah ke bawah akan secara otomatis mendapatkan tetesan-tetesan kue ekonomi dari para pemodal-pemodal besar. Sistem ini terus menjadi tumpuan Jokowi yang sering ia katakan sebagai, “investasi adalah motor pertumbuhan ekonomi.”
Membaiknya predikat investasi indonesia di mata lembaga rating investasi memang membuahkanhasil. Pada 2017, total investasi mencapai Rp 692 triliun; melampaui target Rp 678 triliun. Tahun 2018, target pertumbuhan investasi bahkan ditargetkan naik 13 persen menjadi Rp 765 triliun. Perusahaan berbasis di Singapura, Jepang, Cina, dan Hong Kong berturut-turut menjadi sumber investasi asing di Indonesia. Di era Jokowi juga, tren pertumbuhan ekonomi yang melambat dapat dibalik menjadi 5,07 persen.
Namun, kita tahu kelemahan sistem ini. Memperbaiki iklimi bisnis dan investasi untuk menggenjot modal masuk tidak serta merta berujung pada kesejahteraan buruh-buruhnya dan lingkungan di sekitar perusahaan. Berbagai sistem hubungan industrial, outsourcing, kontrak, upah murah, tidak adanya jaminan sosial yang memadahi, dan lingkungan kerja yang tidak aman membuat iklim bisnis kondusif tapi hasil kerja buruh terus terenggut oleh para pemilik modal. Titik gelap inilah yang tidak pernah disingkap oleh pemerintah dan sengaja tidak digubris.
Berbagai perangkat hukum diciptakan untuk memperkuat sistem yang menghalang-halangi buruh mendapatkan nilai kerjanya. Sistem ini dirancang melalui produk hukum di antaranya sistem pemagangan, pengawasan ketenagakerjaan yang sengaja tumpul, dan PP Pengupahan serta aturan turunannya yang menjadi alibi upah murah.
Tidak puas, Presiden Jokowi tengah berupaya menghancurkan pasal-pasal menguntungkan buruh di UU 13/2003 dengan menghapus pesangon, melanggengkan outsourcing di semua jenis pekerjaan, dan mempermudah pemecatan. Tripartit Nasional tengah menggodok revisi UU 13.
Sistem ini ditegakan dengan tangan besi yang bersifat legalistik. Pemerintah membuat pasal-pasal karet untuk memungkinkan membredel pergerakan buruh; mulai dari rancangan KUHP yang anti-kritik, PERPPU Ormas, hingga UU ITE. Pemerintah saat ini juga pemerintah yang selalu menggunakan perangkat hukum untuk menghapus ruang-ruang demokrasi. Tapi kita tahu, pasal-pasal itu hanyalah ciptaan belaka untuk memuluskan kehendak politik pro-investasi.
Berbeda dengan SBY, Jokowi memiliki sejumlah barisan “jokowers” atau “kecebong” yang cakupannya mulai media mainstream (Metro TV), buzzer, hingga para pendukung fanatik yang terus ia rawat. Alhasil, kritik-kritik pada kebijakan Jokowi dijawab dengan tidak rasional, seperti kasus kartu kuning Bem UI. Kritikan itu dibalas dengan menyerang sosok, bukan argumen.
Pemerintahan Jokowi juga tampak tersandera dengan militer yang semakin ingin bangkit mengembalikan orde baru. Menghadapi tekanan militer pada pemerintahannya, Presiden Jokowi menggunakan juga tokoh militer sebagai peseimbang. Menunggangi gerakan agama radikal, tentara terus menyerukan kembalinya dwifungsi abri dan melalui struktur formal ia perlahan memulihkan peran tentara di ranah sipil. Padahal, tentara seharusnya terjun ke ranah sipil di saat darurat luar baisa seperti bencana alam.
Langkah perlahan ini muncul dengan perangkat hukum yang dipaksakan seprti MoU Polisi dan Tentara. Begitu juga dengan jendral-jendral aktif yang semakin giat berpolitik. Ingat, ketua PSSI Edy Ramayadi adalah jendral aktif.
Di satu sisi, pertarungan Pilkda dan Pilpres pada 2018 rentan semakin melemahkan gerakan buruh. Partai-partai akan berjuang mati-matian karena sejumlah provinsi kunci, seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur akan sedikit banyak menentukan hasil pilpres.
Tanpa kendaran politik sendiri, buruh berpeluang terjebak pada politik dukung mendukung partai-partai yang jelas punya rekam jejak berkhianat pada janji kampanye. Begitu juga energi buruh menjadi terbajak untuk menguntungkan musuhnya, para politisi yang pro-modal.
Pertarungan nanti jelas akan menghalalkan segala cara. Isu-isu agama akan digoreng dan sentimen identitas diletupkan. Buruh juga berpotensi terseret dengan termakan propaganda-propaganda yang intens, sistematis, dan lincah tersebut.
Bagaimana buruh mesti bersikap? Berbagai upaya legal tampak tak kunjung membuahkan hasil. SPKAJ membutuhkan lebih lima tahun untuk menyeret direktur sebuah perusahaan outsourcing, Yudi Setiawan, menjadi terdakwa. Kasus Pertamina Patra Niaga dan Elnusa Petrofin juga menunjukan bagaimana perangkat-perangkat hukum dapat dengan mudah dikangkangi perusahaan.
Di sini tampak, buruh meski melanjutkan perjuangan melampaui ruang-ruang hukum. Kenapa buruh mesti tunduk ketika hukum tidak memberi keadilan atau malahan menciptakan ketidakadilan? Bukankah keadilan ada dan lebih tinggi dari hukum? Langkah ini bisa berupah membangun kekuatan politik maupun aksi-aksi penuh keberanian. Sebagai catatan, sweeping semakin menurun dengan propaganda “pidana memasuki pekarangan lain”
Gerakan buruh juga perlu untuk memperkuat perspektifnya dan mendidik akar rumput untuk tidak terseret pada politik pilkada dan pilpres. Pendidikan-pendidikan politik menjadi semakin diperlukan untuk sarana menciptakan buruh cerdas.
Gerakan buruh juga perlu untuk melihat persoalan secara lebih luas dengan mengkaitkan represi, penutupan ruang demokrasi, menguatnya militerisme, sebagai bagian tak terpisahkan dari rezim pro-investasi yang memiskinkan buruh. Oleh sebab itu, melakukan perlawanan yang keluar dari sekat-sekat unionisme menjadi keniscayaan yang semakin kuat. Alhasil, kerjasama dengan gerakan rakyat lain menjadi keniscayaan.