Apa yang menjadi mengemuka dalam diskusi yang dihelat Konfederasi persatuan Buruh Indonesia (KPBI), tidak bisa dianggap mimpi di siang bolong. Kesimpulan yang muncul, bahwa buruh dan organisasi sektoral seperti nelayan, kaum tani, gerakan perempuan, dan lainnya untuk menyatukan diri membentuk sebuah alat perjuangan politik, merupakan kebutuhan yang tidak bisa ditunda lagi. Beberapa yang meragukan ide besar tersebut, bisa jadi pernah mengalami kegagalan dalam prosesnya atau malah belum pernah sekalipun terlibat dalam upaya penyatuan gerakan rakyat. Tetapi, sebuah ide, sebuah gagasan, sebuah cita-cita, harus senantiasa dirawat.
Sekretaris Jenderal Federasi SERBUK Indonesia, Khamid Istakhori, pernah melakukan sebuah riset terkait reformasi partai politik di Indonesia. Dalam risetnya, Khamid menemukan fakta bahwa pembentukan partai politik, setidaknya akan terganjal oleh dua undang-undang. Pertama, Undang-Undang Partai Politik yang memberikan persyaratan yang sangat berat bagi upaya pendirian partai politik. Kedua, setelah partai politik sudah didirikan, hadangan kedua untuk berlaga di pemilihan umum datang dari Undang-Undang Pemilu.
“Seperti makan buah simalakama,semua pilihan tak ada yang mudah”, ujarnya.
Meskipun saat ini yang berkuasa dan berlaga dalam perhelatan politik nasional adalah partai-partai yang jauh dari kehendak rakyat dan dikuasai oligarki, dalam risetnya Khamid menemukan peluang besar yang membuka kesempatan bagi alat politik yang digagas oleh gerakan buruh untuk merebut simpati rakyat secara luas. Khamid menyebutkan, sebenarnya partai-partai yang sekarang berkuasa tersebut juga semakin hari mengalami penurunan popularitas yang kian tajam.
Sebut saja, hasil survey yang dilakukan oleh Indobarometer. Lembaga ini menyebut bahwa saat ini, popularitas partai politik di Indonesia hanya sebesar 51,3% saja. Hasil riset lain, yang dilakukan oleh Lembaga Survei Nasional (LSN) justru menunjukkan angka yang lebih kecil, hanya 42,6 persen yang masih mempercayai partai politik. Penegasan serupa, juga disampaikan oleh Direktur Utama Saiful Mujani Researceh and Consulting (SMRC) Djayadi Hanan. Dia menjelaskan hanya 11,7 persen warga Indonesia yang secara emosional berhubungan dekat dengan partai. Artinya, jika dilakukan perbandingan langsung, hanya ditemukan satu dari sepuluh pemilih di Indonesia memiliki memiliki loyalitas dengan partai pilihannya. Dibanding dengan negara lain, tingkat kedekatan emosional atau biasa disebut Party Identificiation (party ID) masih sangat rendah dibanding Belgia, Australia, Israel, Selandia Baru, Amerika Serikat, Inggris, Jepang, dan Korea Selatan.
SMRC dan LSN menyebutkan alasan-alasan mendasar yang mengakibatkan kepercayaan publik terhadap partai politik terjun pada level terendah, antara lain karena: partai politik korup; partai tidak peduli kepada rakyat; pengurus partai pragmatis; pengurus partai terjerat skandal moral; partai politik tidak transparan; partai hanya fokus pada kekuasaan; dan undang-undang yang dihasilkan kualitasnya buruk.
Terkait dengan partai politik yang tidak berpihak kepada arus bawah, Advocacy Officer ASEAN SOGIE Caucus, Lini Zurlia, mengatakan bahwa hingga saat ini belum ada partai politik yang secara khusus menggandeng kelompok rentan untuk menjadi kader bagi mereka, pun jika ada hanya digunakan sebagai simpatisan saat pemilihan umum. Lini, yang aktif dalam gerakan menolak Omnibus Law bersama Gerakan Buruh bersama Rakyat (GEBRAK) secara tegas menyatakan semua partai politik hanya mau bertemu rakyat menjelang pemilu saja.
“Keberpihakan mereka pada minoritas tidak pernah kami dengar”, tuturnya.
Senada dengan Lini, Pengacara Publik LBH Jakarta, Aprillia Lisa Tengker, menyebutkan bahwa saat ini tidak ditemukan partai politik yang peduli terhadap isu-isu yang bersinggungan dengan Hak Asasi Manusia.
“Partai politik enggan mengusung isu HAM karena hal tersebut sangat sensitif, elit-elit partai juga akrab dengan pelanggaran HAM masa lalu”, tegas April.
Temuan-temuan penting dalam riset mengenai reformasi partai politik, seharusnya dijadikan peluang bagi gerakan rakyat untuk kembali mendiskusikan ide besarnya dalam membangun alat perjuangan politik. Ketua Umum KPBI Ilhamsyah menyatakan bahwa kegagalan demi kegagalan yang dialami gerakan rakyat, tidak seharusnya membuat langkah menjadi surut, tapi justru sebaliknya.
“Kekalahan demi kekalahan dalam berjuang, seharusnya membekali kita dengan pengalaman untuk menjadi lebih baik di waktu mendatang,” kata Ilhamsyah.
***